Sri Mulyani Waspadai Dampak Ekonomi Global terhadap Transisi Energi
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengantisipasi dampak gejolak ekonomi global terhadap transisi energi di Indonesia, yang terhambat oleh disrupsi rantai pasok dan membutuhkan solusi segera.

Jakarta, 11 Mei 2024 - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan kekhawatirannya terhadap dampak ekonomi global terhadap implementasi transisi energi di Indonesia. Permasalahan ini dibahas dalam diskusi beliau dengan Perwakilan Khusus Inggris untuk Iklim, Rachel Kyte. Diskusi tersebut menyoroti kompleksitas perubahan iklim dan transisi energi di tengah dinamika global yang penuh tantangan.
Sri Mulyani menekankan bahwa disrupsi rantai pasok global turut menghambat proses transisi energi. Beliau menyatakan, "Jika negara kehilangan investasi terhadap energi hijau karena kondisi ekonomi yang lemah, artinya proses transisi energi juga akan melambat dan penggunaan energi tak terbarukan seperti batu bara akan semakin panjang, sementara dampak perubahan iklim sendiri tidak terhindarkan." Pernyataan ini disampaikan melalui akun Instagram resmi beliau, @smindrawati.
Oleh karena itu, Sri Mulyani menegaskan urgensi untuk segera mengatasi permasalahan ini. Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya percepatan transisi energi, namun tantangan ekonomi global mengharuskan strategi yang tepat dan terukur untuk memastikan keberlanjutan program ini.
Langkah Pemerintah Mengatasi Hambatan Transisi Energi
Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmennya terhadap transisi energi melalui alokasi anggaran yang signifikan. Kementerian Keuangan mencatat bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah mengalokasikan dana sebesar Rp610,12 triliun untuk aksi iklim sejak tahun 2016 hingga 2023. Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Boby Wahyu Hernawan, merinci bahwa rata-rata pendanaan per tahun mencapai Rp76,3 triliun, atau sekitar 3,2 persen dari total APBN.
Meskipun demikian, Boby menambahkan bahwa angka tersebut baru mencakup 12,3 persen dari total kebutuhan pembiayaan iklim hingga tahun 2030. Hal ini menunjukkan bahwa dibutuhkan upaya yang lebih besar dan kolaboratif untuk mencapai target transisi energi.
Pemerintah terus berupaya mengoptimalkan pembiayaan publik dan mendorong partisipasi aktif sektor swasta. Berbagai insentif pajak telah diberikan, termasuk untuk sektor pembangkit listrik terbarukan dan kendaraan listrik. Sejak tahun 2019 hingga 2024, insentif fiskal yang telah diberikan mencapai Rp38,8 triliun, dan diperkirakan akan mencapai Rp51,5 triliun hingga akhir tahun 2025.
Skema Pembiayaan Inovatif dan Peran Swasta
Selain insentif pajak, pemerintah juga mengembangkan skema pembiayaan inovatif seperti green sukuk, SDG bonds, dan penerapan taksonomi keuangan berkelanjutan. Penerapan blended finance, yang menggabungkan pembiayaan publik dan swasta, juga diterapkan untuk mempercepat transisi energi.
Pemerintah juga mendorong peran aktif sektor swasta dalam mengurangi emisi karbon. Pelaku usaha didorong untuk menerapkan praktik berkelanjutan, berinovasi dalam teknologi ramah lingkungan, dan melakukan pelaporan jejak karbon produk. Inisiatif seperti climate budget tagging dan kebijakan nilai ekonomi karbon juga didukung untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas.
Kebijakan ini terbuka untuk pasar domestik dan internasional, menunjukkan komitmen Indonesia dalam berkontribusi pada upaya global dalam mengatasi perubahan iklim. Dengan menggabungkan pembiayaan publik dan swasta serta mendorong inovasi teknologi, pemerintah berharap dapat mengatasi hambatan transisi energi dan mencapai target yang telah ditetapkan.
Tantangan global yang dihadapi Indonesia dalam transisi energi memerlukan strategi komprehensif dan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Komitmen dan langkah-langkah konkret yang telah diambil menunjukkan upaya serius Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim dan mencapai masa depan yang berkelanjutan.