Terungkap! Dampak Politik Abolisi dan Amnesti: Dari Pahlawan Hingga Potensi Utang Budi
Pengamat Unej paparkan dampak politik abolisi dan amnesti yang diberikan Presiden Prabowo, memunculkan persepsi pahlawan namun juga potensi utang budi dan preseden buruk bagi penegakan hukum.

Pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember (Unej), Dr. M. Iqbal, baru-baru ini memaparkan analisis mendalam mengenai dampak politik dari pemberian abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto. Kebijakan ini, menurut Iqbal, berpotensi menciptakan resonansi kuat dalam komunikasi politik, membentuk persepsi publik bahwa Presiden Prabowo Subianto adalah sosok pahlawan dan negarawan.
Pemberian kebijakan ini dilakukan di tengah dugaan bahwa kasus-kasus yang menjerat Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto sarat dengan nuansa kriminalisasi politik. Hukum, dalam pandangan Iqbal, disinyalir telah digunakan sebagai senjata politik, yang pada akhirnya meruntuhkan penegakan keadilan demi kepentingan politik tertentu. Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar mengenai integritas sistem hukum di Indonesia.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas sebelumnya menjelaskan bahwa pertimbangan utama di balik pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada 1.178 orang, termasuk Hasto Kristiyanto, adalah demi tujuan rekonsiliasi dan persatuan bangsa. Presiden Prabowo Subianto, melalui kebijakan ini, berkeinginan agar seluruh komponen bangsa bersatu dan berpartisipasi aktif dalam membangun Indonesia, menegaskan bahwa semua anak negeri harus bersama-sama.
Persepsi Publik dan Tujuan Rekonsiliasi Nasional
Pemberian abolisi dan amnesti oleh Presiden Prabowo Subianto telah menciptakan narasi politik yang kuat di mata publik. Menurut Dr. M. Iqbal, langkah ini secara efektif membangun citra Presiden sebagai figur yang berorientasi pada persatuan dan keadilan, terutama mengingat dugaan kriminalisasi politik yang melatarbelakangi kasus-kasus tersebut. Hal ini dapat memperkuat legitimasi kepemimpinan Presiden di awal masa jabatannya.
Dari sisi pemerintah, seperti yang disampaikan oleh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, kebijakan ini adalah upaya nyata untuk mencapai rekonsiliasi. Presiden Prabowo ingin merangkul semua elemen bangsa, termasuk mereka yang sebelumnya berseberangan secara politik, untuk bersama-sama fokus pada pembangunan. Ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengakhiri polarisasi dan membangun harmoni nasional.
Namun, di balik tujuan mulia rekonsiliasi, muncul pula pertanyaan mengenai implikasi jangka panjang dari kebijakan ini. Bagaimana persepsi 'pahlawan' ini akan bertahan di tengah dinamika politik yang terus berkembang? Dan apakah tujuan rekonsiliasi ini benar-benar dapat tercapai tanpa menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan?
Dampak Spesifik Terhadap Dinamika Politik Nasional
Bagi Tom Lembong dan jaringan politik Anies Baswedan, pemberian abolisi ini berpotensi menciptakan apa yang disebut Dr. M. Iqbal sebagai 'politik utang budi'. Kondisi ini bisa saja menekan daya kritis mereka terhadap pemerintahan saat ini, mengurangi peran oposisi yang sehat dalam sistem demokrasi. Ketergantungan politik semacam ini dapat melemahkan mekanisme kontrol dan keseimbangan kekuasaan.
Sementara itu, pasca-pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto, PDI Perjuangan diperkirakan akan diperintahkan oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri untuk mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran. Jika PDI Perjuangan benar-benar totalitas membersamai kepemimpinan dan kebijakan Prabowo hingga akhir periode 2029, maka politik parlemen berpotensi menjadi absolut tanpa adanya oposisi yang kuat. Situasi ini dapat mengarah pada kurangnya pengawasan dan kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Ketiadaan oposisi yang efektif dapat berdampak pada kualitas kebijakan publik dan akuntabilitas pemerintah. Dalam jangka panjang, hal ini bisa mengikis prinsip-prinsip demokrasi yang membutuhkan checks and balances. Oleh karena itu, penting untuk mengamati bagaimana dinamika politik ini akan berkembang dan apakah akan ada kekuatan politik lain yang mampu mengisi kekosongan peran oposisi.
Ancaman Preseden Buruk bagi Penegakan Hukum
Pakar komunikasi politik Dr. M. Iqbal juga menyoroti efek domino politik dan hukum yang krusial ke depan terkait kebijakan abolisi dan amnesti ini. Ia khawatir bahwa kebijakan tersebut bisa menjadi preseden buruk, terutama dalam kasus-kasus korupsi atau pelanggaran hukum lainnya. Adanya skema pembebasan melalui abolisi atau amnesti dapat memberikan harapan palsu bagi politisi yang terlibat korupsi.
Iqbal memperingatkan bahwa siapapun politisi yang terjerat kasus korupsi dapat berharap untuk dibebaskan oleh presiden melalui skema serupa, seperti abolisi, amnesti, bahkan grasi atau rehabilitasi. Hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan penegakan hukum di Indonesia. Integritas hukum menjadi taruhan jika mekanisme pembebasan semacam ini dianggap sebagai jalan keluar bagi pelaku kejahatan.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa pemberian abolisi dan amnesti dilakukan dengan sangat hati-hati dan transparan, serta tidak menjadi celah bagi impunitas. Penegakan hukum harus tetap menjadi prioritas utama untuk menjaga keadilan dan mencegah praktik korupsi merajalela. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa kebijakan ini adalah pengecualian untuk tujuan rekonsiliasi, bukan sebagai alat untuk menghindari proses hukum yang seharusnya.