Tiga Kasus Leptospirosis di Tulungagung, CFR Mencapai 66,67 Persen!
Dinas Kesehatan Tulungagung melaporkan tiga kematian akibat leptospirosis di awal 2025, dengan angka kematian yang mengkhawatirkan, mendorong peningkatan sosialisasi dan pencegahan.

Tulungagung, Jawa Timur, 25 Maret 2025 – Tiga warga Tulungagung meninggal dunia akibat leptospirosis sejak awal tahun 2025. Ketiga kasus ini dilaporkan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, menunjukkan angka kematian yang mengkhawatirkan akibat penyakit yang disebabkan bakteri Leptospira ini.
Dua kasus pertama terjadi pada Januari, dan satu kasus lainnya pada Februari 2025. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Tulungagung, Desi Lusiana Wardani, mengungkapkan bahwa seluruh pasien meninggal dunia setelah mendapatkan perawatan di fasilitas kesehatan. Kondisi mereka yang sudah kritis saat dirujuk ke rumah sakit menjadi faktor utama penyebab kematian.
"Saat tiba di fasilitas kesehatan, kondisi mereka sudah sangat parah sehingga tidak dapat tertolong," ungkap Desi. Tingginya angka kematian ini menunjukkan tingginya tingkat keparahan leptospirosis di Tulungagung, dengan Case Fatality Rate (CFR) mencapai 66,67 persen.
Leptospirosis: Penyakit yang Berkembang Cepat dan Berbahaya
Leptospirosis merupakan penyakit yang berkembang dengan cepat. Gejala awal seringkali hanya berupa demam, sehingga banyak penderita tidak menyadari infeksi yang telah terjadi. Namun, perubahan warna bola mata menjadi kuning dapat menjadi ciri khas yang membedakannya dari demam biasa.
"Kondisi pasien bisa memburuk dalam waktu singkat, sehingga penting untuk segera membawanya ke fasilitas kesehatan agar mendapat penanganan yang tepat," tegas Desi. Dalam tiga kasus yang terjadi, pasien awalnya berobat ke puskesmas dan dianjurkan pemeriksaan lanjutan, tetapi baru kembali ketika kondisi sudah kritis, sehingga upaya penyelamatan gagal.
Keterlambatan penanganan menjadi faktor utama kematian. "Obat yang diberikan puskesmas hanya berfungsi memperlambat penyebaran infeksi, bukan menyembuhkan sepenuhnya," jelas Desi. Hal ini menekankan pentingnya deteksi dini dan penanganan cepat leptospirosis.
Hasil penyelidikan epidemiologi menunjukkan bahwa para korban berusia antara 50 hingga 60 tahun dan bekerja sebagai petani, sehingga berisiko tinggi terpapar bakteri Leptospira yang berasal dari urine tikus.
Upaya Pencegahan dan Sosialisasi
Untuk mencegah kasus serupa, Dinkes Tulungagung telah meningkatkan sosialisasi kepada puskesmas agar lebih cepat mengidentifikasi leptospirosis. Edukasi juga diberikan kepada masyarakat agar lebih waspada terhadap gejala awal penyakit ini.
Namun, upaya pencegahan tidak hanya menjadi tanggung jawab Dinkes. "Untuk pengobatan memang menjadi tugas Dinkes, tetapi dalam upaya pencegahan, kami memerlukan peran Dinas Pertanian karena penyakit ini berkaitan dengan populasi tikus di area pertanian," ujar Desi. Kerjasama antar instansi pemerintah sangat diperlukan untuk menekan angka kasus leptospirosis di Tulungagung.
Langkah-langkah pencegahan leptospirosis meliputi peningkatan sanitasi lingkungan, pengendalian populasi tikus, dan edukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan dan menghindari kontak langsung dengan air yang terkontaminasi.
Dengan CFR yang tinggi, penanganan leptospirosis di Tulungagung membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak. Deteksi dini, penanganan cepat, dan kerjasama antar instansi menjadi kunci dalam menekan angka kematian akibat penyakit ini.