Universitas Columbia Usir Mahasiswa Pro-Palestina, Picu Kontroversi di Tengah Tekanan Pemerintahan Trump
Universitas Columbia mengusir dan menangguhkan sejumlah mahasiswa pro-Palestina pasca-pendudukan Hamilton Hall, memicu kecaman serikat mahasiswa dan kontroversi di tengah tekanan pemerintahan Trump.

Universitas Columbia di New York telah mengeluarkan dan menangguhkan sejumlah mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi pro-Palestina, termasuk aksi pendudukan Hamilton Hall pada musim semi 2024. Keputusan ini diumumkan pada Kamis (13/3), memicu kontroversi dan kecaman dari berbagai pihak. Aksi tersebut terjadi sebagai respons atas pembunuhan brutal Hind Rajab, seorang gadis berusia 6 tahun, oleh pasukan Israel, dan hubungan finansial Columbia dengan kebijakan Israel yang dianggap kontroversial.
Dewan Yudisial Universitas Columbia menjatuhkan sanksi yang beragam, mulai dari penangguhan beberapa tahun hingga pencabutan gelar dan pengusiran. Jumlah mahasiswa yang terkena dampak tidak diungkapkan secara resmi. Salah satu mahasiswa yang dikeluarkan adalah Grant Miner, presiden Student Workers of Columbia (SWC), sebuah serikat pekerja yang mewakili instruktur dan peneliti di universitas tersebut. SWC mengecam keras keputusan tersebut, mengatakan bahwa Miner dikeluarkan tanpa bukti yang cukup atas partisipasinya dalam aktivisme solidaritas Palestina.
Pengusiran ini terjadi kurang dari 24 jam sebelum sesi perundingan yang dijadwalkan antara SWC dan pihak universitas, menimbulkan kecurigaan akan adanya motif terselubung. Universitas Columbia membela tindakannya dengan menyatakan komitmen mereka untuk menegakkan aturan dan kebijakan universitas. Namun, waktu pengusiran yang berdekatan dengan sesi perundingan tersebut menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan proses yang adil.
Kontroversi di Tengah Tekanan Pemerintahan Trump
Keputusan Universitas Columbia ini terjadi di tengah pengawasan ketat dari pemerintahan Donald Trump. Pemerintahan Trump sebelumnya telah membatalkan pendanaan federal senilai 400 juta dolar AS (sekitar Rp6,5 triliun) untuk Universitas Columbia, dengan alasan universitas tersebut gagal menangani insiden antisemit. Penindakan terhadap mahasiswa pro-Palestina ini dianggap oleh sebagian pihak sebagai bagian dari tindakan keras yang lebih luas terhadap aktivisme pro-Palestina di Amerika Serikat.
Pengusiran mahasiswa juga terjadi setelah penangkapan Mahmoud Khalil, seorang aktivis pro-Palestina terkemuka dan lulusan Columbia, oleh Penegakan Imigran dan Bea Cukai (ICE) AS. Penangkapan Khalil dilakukan setelah perintah eksekutif Trump yang menargetkan 'aktivitas pro-teroris, anti-Semit, dan anti-Amerika' di kampus-kampus. Pernyataan resmi dari pemerintahan Trump menyebut penahanan Khalil sebagai 'penangkapan pertama dari banyak penangkapan lainnya,' mengindikasikan rencana tindakan keras yang lebih besar terhadap aktivisme pro-Palestina.
"Kami tahu ada lebih banyak mahasiswa di Columbia dan universitas lain di seluruh negara yang terlibat dalam aktivitas pro-teroris, anti-Semit dan anti-Amerika, dan Pemerintahan Trump tidak akan menoleransinya," kata seorang pejabat pemerintahan Trump (kutipan tersebut tidak menyebutkan nama pejabat). Pernyataan ini semakin memperkuat dugaan adanya kaitan antara pengusiran mahasiswa dan tekanan politik dari pemerintahan Trump.
Tanggapan dan Analisis
SWC mengecam keras keputusan universitas tersebut, menyebutnya sebagai tindakan yang tidak adil dan tidak berdasar. Mereka menuduh universitas tersebut tunduk pada tekanan politik dari pemerintahan Trump dan mengabaikan hak-hak mahasiswa untuk melakukan aktivitas politik. Banyak pihak menilai bahwa tindakan universitas tersebut merupakan bentuk pembungkaman terhadap suara-suara kritis terhadap kebijakan Israel dan pemerintahan AS.
Pengusiran mahasiswa ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kebebasan akademik dan hak-hak mahasiswa untuk berekspresi di kampus-kampus Amerika Serikat. Aksi ini juga memicu perdebatan yang lebih luas tentang peran universitas dalam konteks politik dan hubungan internasional. Kejadian ini menjadi sorotan penting tentang bagaimana tekanan politik dapat memengaruhi keputusan institusi pendidikan tinggi.
Situasi ini juga menyoroti kompleksitas isu Palestina-Israel dan bagaimana isu tersebut berdampak pada kehidupan mahasiswa dan aktivis di Amerika Serikat. Kejadian ini menunjukkan bahwa perdebatan mengenai isu Palestina-Israel tidak hanya terjadi di Timur Tengah, tetapi juga bergema di berbagai belahan dunia, termasuk kampus-kampus universitas di Amerika Serikat.
Ke depan, perkembangan kasus ini patut untuk terus dipantau. Reaksi dari berbagai pihak, termasuk mahasiswa, serikat pekerja, dan organisasi hak asasi manusia, akan menentukan dampak jangka panjang dari keputusan Universitas Columbia ini. Kasus ini juga akan menjadi preseden penting dalam menentukan batas-batas kebebasan berekspresi di kampus-kampus Amerika Serikat dalam konteks isu-isu politik yang sensitif.