Waspada 'Brain Rot': Ancaman Otak di Era Digital
Artikel ini membahas fenomena 'brain rot' atau pembusukan otak akibat paparan digital berlebihan, menjelaskan mekanisme ilmiah, dampak sosial-psikologis, serta solusi untuk mengatasi masalah ini.

Jakarta, 28 Januari (ANTARA) - Di tengah derasnya arus informasi digital, muncul fenomena yang mengkhawatirkan: brain rot atau pembusukan otak. Istilah ini menggambarkan kondisi di mana kemampuan berpikir kritis dan konsentrasi menurun akibat paparan berlebihan terhadap media digital. Artikel ini akan mengeksplorasi fenomena ini dari berbagai sudut pandang.
Brain rot, bukan sekadar metafora. Ini merupakan dampak nyata dari kehidupan digital yang serba cepat dan instan. Informasi, yang seharusnya menjadi nutrisi otak, justru menjadi banjir yang merusak jika dikonsumsi secara berlebihan dan tanpa filter. Kita akan mengulas bagaimana hal ini terjadi dan bagaimana solusinya.
Mekanisme Brain Rot: Pandangan Neurosains
Otak manusia memiliki neuroplastisitas, kemampuan beradaptasi. Namun, paparan terus-menerus terhadap konten dangkal dan cepat—seperti video pendek berdurasi singkat—membuat neuron terbiasa dengan pola rangsangan instan. Sistem dopamin, yang terkait dengan rasa senang, menjadi terlalu aktif. Setiap scroll media sosial memicu pelepasan dopamin, menciptakan siklus kecanduan.
Ini yang disebut dopamine hijacking: otak lebih terfokus pada kepuasan instan daripada pemikiran mendalam. Akibatnya, kemampuan fokus menurun, muncul kesulitan menyelesaikan tugas kompleks, dan kelelahan mental.
Dampak Sosial Brain Rot
Dari perspektif sosiologi, brain rot mencerminkan budaya konsumsi informasi yang tidak sehat. Attention economy membuat perusahaan teknologi bersaing merebut perhatian pengguna. Perhatian menjadi komoditas, dan eksploitasinya menyebabkan dampak destruktif.
Nilai-nilai seperti kesabaran dan pemikiran kritis terpinggirkan. Opini dangkal lebih dominan daripada analisis mendalam. Kita lebih mudah terjebak dalam echo chambers, memperkuat bias dan prasangka. Interaksi sosial menjadi dangkal dan terbatas pada like dan komentar singkat.
Parahnya, hal ini menjadi parameter kesuksesan bagi sebagian netizen. Semakin banyak like, dianggap semakin populer dan ahli, sebuah fenomena yang mengkhawatirkan.
Efek Psikologis dan Implikasi Pendidikan
Brain rot juga berdampak signifikan pada kesehatan mental. Burnout digital, kecemasan, dan depresi dapat muncul akibat paparan teknologi berlebihan. Comparison culture di media sosial memperparah kondisi ini, membuat kita merasa tidak puas dengan diri sendiri.
Di dunia pendidikan, brain rot terlihat dalam kesulitan siswa berkonsentrasi dan memahami ide-ide kompleks. Sistem pendidikan terbentur dengan pendekatan pembelajaran yang dangkal, siswa cenderung memilih jawaban cepat daripada pemahaman mendalam, menghambat perkembangan kognitif.
Mencari Solusi: Digital Detox dan Mindfulness
Meski tampak suram, ada solusi. Digital detox, mengurangi atau menghilangkan penggunaan perangkat digital untuk sementara, dapat membantu otak ‘reset’. Mindfulness, hadir sepenuhnya di setiap momen, membantu membangun hubungan sehat dengan teknologi.
Namun, solusi ini butuh komitmen individu dan masyarakat. Kita perlu menciptakan budaya yang menghargai kedalaman dan kualitas informasi. Brain rot mengingatkan kita bahwa kemajuan teknologi tidak selalu berarti kemajuan manusia.
Tantangannya adalah memilih, memahami, dan menggunakan informasi dengan bijak. Seperti ladang yang butuh irigasi tepat, otak butuh keseimbangan stimulasi dan ketenangan untuk tetap sehat dan produktif.
*) Dokter Dito Anurogo MSc PhD, alumnus PhD dari IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University Taiwan, dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar Indonesia, peneliti Institut Molekul Indonesia, penulis puluhan buku
Oleh Dokter Dito Anurogo, M.Sc., Ph.D. *)
Editor : Slamet Hadi Purnomo