73 Tahun HMI, Diantara Euforia History Keemasan Dan Optimisme
Penulis : Amiruddin/Shompak
4 Februari 2020 17:15
Opini yang Ditulis Oleh Adhi Riadi Kader HMI Cabang Manakarra, Sulawesi Barat
OPINI - Rabu, 5 Februari 2020 usia Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) kini 73 Tahun, ini mengisyaratkan bahwa organisasi yang digagas oleh Lafran Pane dkk telah menapaki perjalan panjang di Republik ini. Jika sejenak kita mencoba merefleksi history berdirinya HMI, dimana ia dilatar belakangi oleh kondisi kebangsaan, HMI berada dalam pusaran dinamika pergolakan untuk mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kemudian diidentikkan sebagai sebuah komitmen kebangsaan, setelah itu, HMI mencoba mengembalikan ajaran Islam sebagai sebuah sumber nilai dan ispirasi dalam dunia kemahasiswaan saat itu yang mengalami satgnasi dan dekadensi moral, lalu kemudian HMI mempertegas eksistensinya sebagai sebuah gagasan keummatan dan keislaman.
73 Tahun tentu bukanlah usia yang muda, HMI tampil memberikan kontribusi pada setiap fase perjalan sejarah bangsa Indonesia, itu dapat dilihat dari sejumlah kadernya yang mampu memberikan kontribusi pemikiran keIslaman di Indonesia, ia tampil sebagai penggas intelektualisme pembaharuan pemikiran keislaman seperti yang dilakukan oleh Nurcholis Madjid.
HMI tampil menjadi basis gerakan intelektual dan berkarya diberbagai segmen kehidupan sosial,mengisi ruang- ruang politik pemerintahan dengan kemampuan intelktual dan spritual yang mumpuni, melahirkan para cendikiawan. Namun, tentu kita juga tak harus terjebak dalam sebuah pusaran nostalgia history keemasan HMI semata. Jika harus jujur mengakui sejumlah kader HMI saat ini masih terjebak dalam sebuah kejumudan berpikir , betapa tidak, kita tentu tak dapat mengelak saat arus kepentingan elite politik sudah merasuki pemikiran dengan mudahnya membuat nalar kritis kadernya pun mulai tumpul.
Ada hal yang kemudian menarik untuk kita telaah secara kritis,ditengah euforia histori keemasan pada pendahulu HMI. Gesekan diinternal organisasi ini seoalah menjadi tontonan yang menarik meskipun harus dianggap tanpa tuntunan. Sebuah pertunjukan yang ditampilkan saat perebutan posisi ketua umum PB HMI dengan menampilkan akrobat keegoan masing – masing hingga berujung pada dualisme kepemimpinan yang berefek hingga ke level Badko, Cabang dan ikut menjadi contoh buruk hingga ke level komisariat, lalu kemudian dengan lantang dan bangganya mereka menyebut itu adalah sebuah dinamika organisasi.
Fakta lain yang tak dapat kita sembunyikan adalah buramnya nilai intelektual dalam tubuh HMI, hal itu ditandai dengan budaya membaca dan transformasi pemikiran melalui diskusi ilmiah kini mulai redup, hingga bukan tidak mungkin akan membuka kran prakmatisme yang kemudian berimplikasi pada gagapnya kader dalam menganalisa proses perkembangan zaman saat ini.
Pengejewantahan Nilai Dasar Perjuangan HMI sebagai spirit dan lokomotif pergerakan juga kian sepi,betapa tidak, aktivis HMI yang semestinya berjibaku dengan buku – buku sebagai nutrisi dalam membangun kerangka epistemik pun kini jarang terlihat, hampir mereka telah disibukkan dengan aktivitas yang serba formalitas semata. Belum lagi semakin diperparah atas hadirnya kepentingan sejumlah senior yang terlibat dalam politik praktis yang menyeret juniornya keruang kepentingan elite.
Ada kegamangan inteltualitas dalam HMI itu sendiri,upaya menjaga marwah dan roh organisasi sebagai organsiasi perkaderan dan perjuangan kini mulai digilas oleh kepentingan pragmatisme dan sikap oportunis, hingga komitmen kebangsaan yang dipertegas dalam keislaman dan keummatan hanya merupakan bacaan magis belaka yang kemudian minim pengejewantahan dalam diri setiap kader. Hingga tentu bukan tanpa alasan jika HMI yang selama ini disebut sebagai harapan masyarakat Indonesia hanya akan menjadi catatan sejarah jika organisasi ini tidak bangun dari tidur panjangnya. Dari fakta ini mengantarkan kita sampai pada sebuah pemikiran seorang Filsuf asal Jerman G.W.F. Hegel (1770 -1831) yang mengatakan bahwa perlakuan paling konyol yang sering diterima sejarah dimana manusia tak pernah mau belajar darinya.
Kita cukup meyakini bahwa dalam setiap rentetan peristiwa yang kemudian kita sebut sejarah adalah guru bagi setiap individu, maka sejarah HMI juga harus menjadi cermin sekaligus guru bagi seluruh kader – kadernya untuk menghadapi arus perkembangan zaman. Meski demikian, ini juga tentu tak menyokong bagi HMI diusianya yang sudah cukup tua ini hanya berkutat pada kebesaran dimasa lampau semata, namun dia harus punya kemampuan dan inovasi untuk menciptakan sejarah sendiri yang kemudian akan tertulis dengan tinta emas.
Dimomentum 73 Tahun HMI ini, kita menaruh optimisme besar kepada kader HMI untuk tetap menelaah secara kritis Nilai Dasar Perjuangan sebagai sebuah pandangan dunia (Konsep Teoritis)sekaligus mengembalikan khittah perjuangan HMI agar tidak terdepak dari perkembangan zaman, selain itu HMI harus mampu menjadi pabrik generasi intelektual , para cendikiawan, menjadi centra cordinat pergerakan sosial yang berpihak pada kaum mustad’afin serta tetap konsisten pada upaya menjalankan amanah perkaderan yang termaktub dalam lima kualitas insan cita yaitu, terbinanya Insan akademis,pencipta,pengabdi,yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhAi Allah SWT.
Pada akhir catatan ini, tentu kami melihat beban dan tanggung jawab bagi seorang kader dalam mengaktualisasikan amanah perkaderan diatas bukanlah hal yang mudah,namun HMI harus punya kehendak kuat dalam melakukan perubahan dengan dibekali ikhtiar dan ilmu pengetahuan yang mumpuni.
HMI harus mampu Mengembalikan culture yang selama ini mulai redup yakni berjibaku dengan buku, diskusi ilmiah dan kemampuan mentransformasi ilmu pengetahuan melului tulisan.
Hingga pada momentum milad HMI yang ke 73 Tahun secara pribadi saya mengucapkan Selamat Milad Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang ke 73 Tahun, semoga menjadi organisasi yang mampu melakukan perubahan kearah yang lebih baik, menjadi pabrik inteletual generasi muda, memegang teguh nilai idealisme seperti yang digemakan oleh Tan Malaka ‘’ Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda’’ .
Billahi Taufiq Walhidayah
Wassalamu Alaikum Wr – Wb.
Mamuju, 4 Februari 2020.
- Merdeka.com tidak bertanggung jawab atas hak cipta dan isi artikel ini, dan tidak memiliki afiliasi dengan penulis
- Untuk menghubungi penulis, kunjungi situs berikut : amiruddinshompak
KOMENTAR ANDA
Artikel Lainnya
-
Kisah Khalifah Ali bin Abi Thalib Dalam Kepemimpinan Islam
13 Januari 2022 08:45 -
Peristiwa G30S PKI Menjadi Trending Topic, Netter: Sejarah Kelam Jangan Sampai Terulang
30 September 2021 15:27 -
Alasan Orang-orang Zaman Dulu Tidak Pernah Senyum ketika Berpose
21 September 2021 15:18 -
Trimurti Mengungkap Kekejaman Penjara Wanita Zaman Belanda, Tahanan Disiksa Sampai Gangguan Jiwa
16 September 2021 18:03 -
Ini Dia Barisan Pahlawan di Pinggiran Arus Besar Sejarah
20 Agustus 2021 20:34 -
Siapakah Gumiho, Siluman Rubah yang Terkenal di KDrama?
10 Juni 2021 22:25
Merdeka.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaksana dan etislah dalam menyampaikan opini. Pendapat sepenuhnya tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.