Filsafat Barat Kontemporer
Penulis : fauzani fikri ihsan
12 Januari 2022 13:39
FILSAFAT BARAT KONTEMPORER
FILSAFAT BARAT KONTEMPORER
M.FAUZANI FIKRI IHSAN NASUTION,RAPIDA TIJA,SUHARDI S.PdI MA
PENDAHULUAN
Bangunan filsafat abad 20 tidak lepas dari abad 19. Pada abad 19 tidak lepas dari tokoh-tokoh Kierkegaard, Marx, Peirce, Nietzsche, Frege, Freud dan Einstein sedangkan aliran-aliran filsafatnya/ yang melingkupinya; filsafat eksistensialisme, marxisme, analisis konsep logis dan bahasa pragmatis, dan juga kritik peradaban dan moral, psikoanalisa dan teori relativitas. Tokoh-tokoh itulah yang telah memberikan pendasaran atas pergeseran paradigma dan memperjuangkan revolusi berpikir serta di picu juga perubahan radikal pada bidang sosial, budaya, teknologi, ilmu pengetahuan dan gambaran diri manusia.
Perubahan radikal pada abad 20 yang terakhir dalam ilmu pengetahuan lainnya dalam sejarah filsafat ialah pemisahan ilmu sosiologi dan psikologi dari disiplin ilmu filsafat. Zaman modern yang menuntut manusianya bisa bekerja lebih mekanik dengan seluruh problematika nya dan kejiwaan manusia yang dituntut lebih real dengan tetap tidak mengabaikan hakikatnya (jiwa, roh, masyarakat dan komunitas) memaksa untuk lepas dari filsafat dan mempertanyakan sesuatu yang benar-benar baru. Dan filsafat bisa selalu actual bila selalu mengikuti perubahan sosiologi dan psikologi masyarakat. Max Weber berusaha memberikan dasaran dalam bidang sosiologi tentang “tipe-tipe ideal” dalam bidang ekonomi, hukum, negara, dan kekuasaan digali lewat studi-studi lintas dan perbandingan budaya. dia menggambarkan sekulerisasi dunia yaitu rasionalisasi yang konstitutif bagi orang modern yang terjadi diseluruh ranah kehidupan akibat masyarakat industrial dan ini terdapat dalam karya utamanya Wirtschaft und Gesellschaf.
PEMBAHASAN
1. PRAGMATISME
Secara etimologis, kata pragmatisme berasal dari bahasa Yunani “pragma”, adapula yang menyebut dengan istilah “pragmatikos”, yang berarti tindakan atau aksi. Pragmatisme berarti filsafat atau pemikiran tentang tindakan (Keraf,1987:15). Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibatakibatnya yang bermanfaat secara praktis. Di Amerika Serikat Pragmatisme mendapat tempatnya yang tersendiri di dalam pemikiran filsafati. William James (1842-1910) orang yang memperkenalkan gagasan-gagasan pragmatisme kepada dunia. Pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat yang praktis. Pengalamanpengalaman pribadi diterimanya, asal bermanfaat, bahkan kebenmmaran mistis dipandang sebagai berlaku juga, asal kebenaran mistis itu membawa akibat praktis yang bermanfaat (Hadiwijono, 1980:130).Filsafat ini menyatakan bahwa benar tidaknya suatu teori bergantung pada berfaedah tidaknya teori itu bagi manusia dalam penghidupannya. Dengan demikian, ukuran untuk segala perbuatan adalah manfaatnya dalam praktek dan hasil yang memajukan hidup. Benar tidaknya sesuatu hasil pikir, dalil maupun teori, dinilai menurut manfaatnya dalam kehidupan atau menurut berfaedah tidaknya teori itu dalam kehidupan manusia. Atas dasar itu, tujuan kita berfikir adalah memperoleh hasil akhir yang dapat membawa hidup kita lebih maju dan lebih berguna. Sesuatu yang menghambat hidup kita adalah tidak benar. Aliran filsafat ini mencuat ke permukaan selama seratus tahun terakhir dan dikaitkan dengan nama-nama berikut: Charles Sanders Peirce (1839-1914), William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).3 Filsafat-filsafat tradisional bersifat statis dan cenderung melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Pada paruh terakhir abad XIX terlihat adanya perubahan yang tak terduga setelah revolusi industri meluncur dengan cepat. Industrialisasi, urbanisasi, dan migrasi penduduk secara besar-besaran merupakan faktor sentral dalam alam kehidupan bangsa Amerika. Perubahan menjadi ciri sentral dari eksistensi manusia. Dalam kancah intelektual, teori biologis sosial Darwinisme telah berkembang dan secara luas diakui sebagai pengetahuan umum masyarakat untuk merasionalkan dan menyetujui tentang konsep perubahan. Pragmatisme (sering juga disebut eksperimentalisme dan instrumentalisme) adalah reaksi filosofis terhadap fenomena ini.
Pragmatisme memiliki tiga ciri, yaitu: (1) memusatkan perhatian pada hal-hal dalam jangkauan pengalaman indera manusia, (2) apa yang dipandang benar adalah apa yang berguna atau berfungsi, dan (3) manusia bertanggung jawab atas nilai-nilai dalam masyarakat (George R. Knight, 1982). Pertama, dari perspektif penganut pragmatisme, kita hidup dalam sebuah dunia pengalaman. Dalam perjalanan waktu, pengalaman manusia tersebut berubah dan karenanya konsep pragmatisme tentang kenyataanpun juga berubah. Di luar pengalaman manusia, tak ada kebenaran atau kenyataan yang sesungguhnya. Dengan demikian, penganut pragmatisme menolak pemikiran metafisika. Bagi mereka, tidak ada hal yang absolut, tidak ada prinsip apriori atau hukum alam yang tidak berubah. Kenyataan bukanlah sesuatu yang abstrak, ia lebih sebagai sebuah pengalaman transaksional yang terus-menerus berubah. Apa yang “nyata” di hari ini dapat “tidak nyata” di hari esok, sebab kenyataan tidak dapat dipisahkan dari pengalaman. Kita hidup dalam dunia yang dinamis, yang selalu berubah dan ada hukum-hukum ilmiah yang didasarkan pada pengalaman manusia yang terbatas, yang harus dipandang sebagai probabilitas, bukan yang absolut. Menurut kaum pragmatis, pikiran dan materi bukanlah dua hal yang terpisah dan substansi yang independen. Orang hanya mengetahui tentang materi sebagaimana mereka mengalaminya dan merefleksikan pengalaman ini dengan pikirannya. Oleh karena itu kenyataan tidak pernah terpisah dari manusia yang mengetahui. Kedua, pragmatisme pada dasarnya adalah sebuah pemikiran epistemologis. Pengetahuan, menurut kaum pragmatis, berakar pada pengalaman. Manusia mempunyai pemikiran yang aktif dan eksploratif, bukan pasif dan reseptif. Manusia tidak hanya menerima pengetahuan, ia juga membuat pengetahuan itu sebagai hasil interaksinya dengan lingkungan. Jadi, usaha pencarian pengetahuan adalah sebuah transaksi. Manusia berbuat terhadap lingkungannya, kemudian ia mengalami konsekuensi-konsekuensi tertentu. Ia belajar dari pengalaman transaksionalnya dengan dunia di sekelilingnya.
Selain itu, pengetahuan dari perspektif pragmatis perlu dibedakan dari keyakinan atau kepercayaan. Hal-hal autentik tentang keyakinan manusia adalah urusan pribadi, tetapi apa yang ia anggap perlu diketahui harus dapat didemonstrasikan kepada pengamat yang memenuhi syarat dan tak berpihak. Dengan kata lain, kepercayaan (keimanan) itu bersifat pribadi, sedangkan pengetahuan adalah hal yang senantiasa bersifat publik. Dari sudut pandang pragmatis, sebuah pernyataan dikatakan benar adalah jika dapat diuji dengan pengalaman empiris yang bersifat publik. Selain itu, posisi epistemologi kaum pragmatis tidak memberi tempat pada konsep-konsep apriori dan kebenaran-kebenaran absolut. Manusia hidup dalam dunia pengalaman yang berubah secara terusmenerus dan “apa yang berguna dan berfungsi” di hari ini bisa terbukti sebagai sebuah penjelasan yang tidak memadai lagi di esok hari. Oleh karena itu, kebenaran bersifat relatif dan apa yang benar di hari ini bisa tidak benar di waktu mendatang atau dalam konteks situasi yang berbeda. Ketiga, manusia bertanggung jawab atas nilai-nilai dari masyarakat. Nilai-nilai bersifat relatif dan tidak ada prinsip-prinsip absolut yang dapat dipedomani. Sebagaimana budaya berubah, demikian juga nilai-nilaipun berubah. Ini tidak berarti bahwa moralitas tidak mengalami pasang surut dari hari ke hari, akan tetapi ini berarti bahwa tidak ada aturan aksiologis yang dapat dianggap sebagai hal yang mengikat secara universal. Menurut kaum pragmatis, apa yang secara etis baik adalah apa yang berguna dan berfungsi. Dengan demikian, seperti halnya pengujian epistemologis itu bersifat publik, maka pengujian etis itu juga didasarkan pada hal yang baik menurut kriteria sosial kemasyarakatan dan bukan semata-mata didasarkan pada landasan personal yang bersifat pribadi.
Bagi pragmatisme, filsafat adalah alat untuk menolong manusia dalam hidup sehari-hari maupun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan mewujudkan dunia teknik. Dalam segalanya itu pelaksanaan atau praktik hiduplah yang penting dan bukan pendapat atau teori yang hipotesis dan sepihak. Untuk menilai bermanfaat tidaknya ilmu pengetahuan, anggapan-anggapan hidup malahan filsafat sendiri pun, perlu diperhatikan segala hasil dan kesimpulan atau akibat yang terjadi atas dasar hipotesis-hipotesis itu. Yang pokok adalah bahwa manusia berbuat dan bukan berpikir. Pikiran atau teori merupakan alat yang “hanya berguna” untuk memungkinkan timbulnya pengalaman yang semakin ikut mengembangkan hidup manusia dalam praktik pelaksanaannya (Sutrisno, 1993:99).
2. Dekontruksionisme
Aliran dekonsruksi lahir di Prancis sekitar tahun 1960-an, kemudian berpengaruh besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980- an. Pada dasarnya, menurut Sarup (2011:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika barat seperti fenomenologi Husserlian, strukturalisme Saussurean, strukturalisme Prancis pada umumnya, psikoanalisis Freudian, dan Psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi mengungkap hakikat problematika wacana-wacana yang dipusatkan, di pihak yang lain membongkar metafisika dengan megubah batas-batasnya secara konseptual. Arisandy (2018:5) mengatakan bahwa dekonstruksi bermaksud untuk melacak teks yang tidak diunggulkan, yaitu berupa makna paradoksial, makna kontradiktif, makna ironi, Derrida menjelaskan dekonstruksi dengan kalimat negasi. Menurutnya, dekonstruksi bukan suatu analisis dan bukan kritik, bukan suatu metode, bukan aksi maupun operasi. Singkatnya, dekonstruksi bukanlah suatu alat penyelesaian dari suatu subjek individual atau kolektif yang berinisiatif dan menerapkannya pada suatu objek, teks, atau tema tertentu. Dekonstruksi adalah suatu peristiwa yang tidak menunggu pertimbangan, kesadaran, atau organisasi dari suatu subjek, atau bahkan modernitas, (Al-Fayyadl, 2012:8).
Kristeva (1980:36-37) menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatankekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana.
Dekonstruksi memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian. Memungkinkan untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa terikat dengan satu aturan yang dianggap telah berlaku universal. Setelah teks dibaca dengan pendalaman yang utuh, langkah selanjutnya dalam dekonstruksi adalah pembalikan dan penggantian. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sarup (2011:74) bahwa prinsip dekonstruksi adalah upaya untuk menemukan teks marginal yang menjanjikan, menyingkap, membongkar momen yang tidak dapat dipastikan dengan alat penanda yang pasif, membalikkan hierarki yang ada agar dapat diganti, membongkar agar dapat membangun kembali apa yang selalu telah tertulis. Dekonstruksi merupakan jalan baru dalam membedah karya yang dapat digunakan dalam menemukan faktafakta yang tersembunyi dalam suatu bangunan teks. Oleh karena itu, dekonstruksi selalu diawali dengan sesuatu yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya atau sesuatu yang dianggap tidak penting. Arisandy (2013:4) mengatakan bahwa teks dibangun dari pengandaian-pengandaian logis bahwa x merupakan penyebab dari y dan y merupakan akibat dari x, dan hubungan antara keduanya merupakan hubungan logis yang tidak terelakkan. Oleh karena itu, dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa memiliki makna yang pasti, sebagaimana yang disodorkan oleh strukturalisme. Bagi dekonstruksi bahasa merupakan sesuatu yang luas dan tidak terbatas. Dekonstruksi memungkinkan setiap pembaca karya sastra menemukan makna yang tersembunyi dalam suatu karya sehingga setiap pembaca memiliki penafsiran yang berbeda, oleh sebab itu tidak ada makna tunggal yang dapat ditemukan dalam sebuah karya sastra. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Rohman (2014:49) bahwa dekonstruksi memiliki metode kritis terhadap struktur, penolakan kebenaran final, pembaruan terhadap konsep bahasa, penolakan terhadap oposisi biner, dan kemampuan untuk menyusun konsep baru.
PENUTUP
1. Pragmatisme
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibatakibatnya yang bermanfaat secara praktis. Jadi, pragmatisme adalah filsafat alat untuk menolong manusia dalam hidup sehari-hari maupun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan mewujudkan dunia teknik. Dalam segalanya itu pelaksanaan atau praktik hiduplah yang penting dan bukan pendapat atau teori yang hipotesis dan sepihak. Untuk menilai bermanfaat tidaknya ilmu pengetahuan, anggapan-anggapan hidup malahan filsafat sendiri pun, perlu diperhatikan segala hasil dan kesimpulan atau akibat yang terjadi atas dasar hipotesis-hipotesis itu.
2. Dekontruksionisme
Dekonstruksi adalah suatu peristiwa yang tidak menunggu pertimbangan, kesadaran, atau organisasi dari suatu subjek, atau bahkan modernitas. Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua7 pernyataan kultural sebab keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian. Memungkinkan untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa terikat dengan satu aturan yang dianggap telah berlaku universal.
- Merdeka.com tidak bertanggung jawab atas hak cipta dan isi artikel ini, dan tidak memiliki afiliasi dengan penulis
- Untuk menghubungi penulis, kunjungi situs berikut : fauzani-fikri-ihsan
KOMENTAR ANDA
Artikel Lainnya
-
Kisah Khalifah Ali bin Abi Thalib Dalam Kepemimpinan Islam
13 Januari 2022 08:45 -
Peristiwa G30S PKI Menjadi Trending Topic, Netter: Sejarah Kelam Jangan Sampai Terulang
30 September 2021 15:27 -
Alasan Orang-orang Zaman Dulu Tidak Pernah Senyum ketika Berpose
21 September 2021 15:18 -
Trimurti Mengungkap Kekejaman Penjara Wanita Zaman Belanda, Tahanan Disiksa Sampai Gangguan Jiwa
16 September 2021 18:03 -
Ini Dia Barisan Pahlawan di Pinggiran Arus Besar Sejarah
20 Agustus 2021 20:34 -
Siapakah Gumiho, Siluman Rubah yang Terkenal di KDrama?
10 Juni 2021 22:25
Merdeka.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaksana dan etislah dalam menyampaikan opini. Pendapat sepenuhnya tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.