1. MERDEKA.COM
  2. >
  3. PLANET MERDEKA
  4. >
  5. SEJARAH

Filsafat dan Ilmu pengetahuan

Penulis : Zaldi hafiz

14 Januari 2022 18:58

Filsafat dan Ilmu pengetahuan

Zaldi Hafiz Umaiyyah, Nurul Hanifa Salwa, Elvi Nur Huda Ningsih, Suhardi S.Pdi MA

PENDAHULUAN

Filsafat dan ilmu pengetahuan ialah bagian filsafat yang mengkaji hakikat ilmu, atau ilmu yang membahas landasan ilmu secara filsafat (Mansur 2018:40). Widyawati (2013:94) berpendapat bahwa, “peran Filsafat Ilmu adalah untuk menjelaskan hakikat ilmu yang mempunyai banyak keterbatasan, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang padu mengenai berbagai fenomena alam yang telah menjadi objek ilmu itu sendiri, selain itu filsafat ilmu juga dapat melatih cara berfikir menjadi lebih kritis”. menegaskan, “peran Filsafat Ilmu sangat penting untuk memberikan Batasan secara realistis dan logis untuk mengembangkan ilmu pengetahuan agar tidak merugikan manusia, alam, dan lingkungan”. Pemahaman mendasar mengenai Filsafat Ilmu diharapkan akan berguna untuk memberi arah dan dasar dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang mengatur kepentingan masyarakat secara umum, maupun yang berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan di masa mendatang Keberadaan mata kuliah Filsafat Ilmu pada UNJ sendiri khususnya pada program studi S1 Pendidikan Teknik Bangunan merupakan salah satu mata kuliah wajib yang harus diambil dan dilewati oleh mahasiswa. Pentingya karena Filsafat dan Ilmu pengetahuan kadang disebut sebagai filsafat khusus yaitu cabang filsafat yang membahas hakikat ilmu, penerapan berbagai metode filsafat dalam upaya mencari akar persoalan dan menemukan asas realitas yang dipersoalkan oleh bidang ilmu tersebut untuk mendapatkan kejelasan yang lebih pasti Filsafat pada hakikatnya bukan hanya mengajarkan manusia untuk berpikir kritis tetapi juga berpikir secara mendalam.Kegiatan berpikir secara optimal.

PEMBAHASAN
Ujian kebenaran
Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan tentang kebenaran sudah dimulai sejak Plato yang kemudian diteruskan oleh Aristoteles. Plato melalui metode dialog membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap Sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Sejak itulah teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan berbagai penyempurnaan sampai kini.Untuk mengetahui apakah pengetahuan kita mempunyai nilai kebenaran nilai atau tidak. Hal ini berhubungan dengan sikap, bagaimana cara Memperoleh pengetahuan? Apakah hanya kegiatan dan kemampuan akal pikir Ataukah melalui kegiatan indra? Yang jelas bagi seorang skeptis pengetahuan Tidaklah mempunyai nilai kebenaran, karena semua diragukan atau keraguan Itulah yang merupakan kebenaran secara tradisional teori-teori kebenaran itu adalah sebagai berikut
1.Teori Kebenaran Saling Berhubungan (Coherence Theory of Truth)
Teori koherensi dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibniz,
Spinoza, Hegel, dan Bradley. Menurut Kattsoff (l986) dalam bukunya Elements Of Philosophy teori koherensi dijelaskan,suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita dengan memperhatikan pendapat Kattsoff di atas, dapat diungkapkan Bahwa suatu proposisi itu benar apabila berhubungan dengan ide-ide dari Proposisi yang telah ada atau benar, atau juga apabila proposisi itu Berhubungan dengan proposisi terdahulu yang benar. Pembuktian teori kebenaran koherensi dapat melalui fakta sejarah apabila merupakan proposisi sejarah atau memakai logika dengan pernyataan yang bersifat logis. Sebagai contoh, kita mempunyai pengetahuan bahwa runtuhnya kerajaan Majapahit pada tahun 1478. Kita tidak dapat membuktikan secara langsung dari isi pengetahuan itu melainkan kita hanya dapat menghubungkan dengan proposisi yang terdahulu,baik dalam buku atau peninggalan sejarah

2.Teori Kebenaran Saling Berkesesuaian (Correspondence Theory of Truth)
Teori kebenaran korespodensi paling awal dan paling tua yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang kita ketahui dapat dikembalikan pada kenyataan yang dikenal oleh Subjek. (Surajiyo:2012)
Teori ini berpandangan bahwa suatu proposisi benilai benar apabila saling berkesesuaian dengan dunia kenyataan. Kebenaran demikian dapat dibuktikan secara langsung pada dunia kenyataan.
3.Teori Kebenaran Inherensi (Inherent Theory of TRUTH)
Kadang-kadang teori ini disebut teori pragmatis. Pandangannya adalah Suatu proposisi bernilai benar apabila mempunyai konsekuensi yang dapat dipergunakan atau bermanfaat. Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini bahwa penganut pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu jenis konsekuensinya. Atau proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman, pernyataan itu adalah benar.
4.Teori Kebenaran Berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)
Yaitu proposisi itu ditinjau dari segi art! Atau maknanya. Apakah proposisi
Yang merupakan pangkal tumpunya mempunyai referen yang jelas. Oleh sebab itu,teori ini mempunyai tugas untuk menguakkan kesahan dan Proposisi dalam referensinya. (Abbas Suraiya, 2012) Teori kebenaran semantik dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrand Russell sebagai tokoh pemula dari filsafat analitika bahasa.
5. Teori Kebenaran Sintaksis
Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis taugramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya .Dengan demikian,suatu pernyataan memiliki nilai benar apabila pernyataan itu mengikuti aturan sintaksis yang baku.Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari Hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang di antara para filsuf analisis bahasa,terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika.
6. Teori Kebenaran Nondeskripsi
Teori kebenaran nondeskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme.Karena pada dasarnya suatu statement atau pernyataan akan Mempunyai nilai benar yang amat tergantung peran dan fungsi daripada Pernyataan itu.

7. Teori Kebenaran Logis yang Berlebihan (Logical Superfluity of Truth)
Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik yang diawali oleh Ayer.
Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini, bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan berakibat suatu pemborosan, karena Pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logis yang sama yang masing-masing saling melingkupinya. (Abbas Hamami,1996)
PENGETAHUAN
Pengetahuan pada jaman ini dikuasai oleh pemikiran keagamaan yaitu Kristiani. Puncak dari filsafat Kristiani adalah Patristik (Lt. “Patres”/Bapa-bapa Gereja) dan Skolastik Patristik. Skolastik Patristik dibagi menjadi dua yaitu Patristik Yunani(Patristik Timur) dan Patristik Latin (Patristik Barat). Tokoh tokoh Patristik Yunani antara lain Clemens dari Alexandria (150-215), Origenes (185-254).Jenis-Jenis Pengetahuan.Pengetahuan menurut Soejono Soemargono (1983) dapat dibagi atas
Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan nonilmiah ialah pengetahuan yang diperoleh dengan cara-cara yang tidak termasuk dalam kategori metode ilmiah. Dalam hal ini Termasuk juga pengetahuan yang dalam tahap terakhir direncanakan untuk Diolah menjadi pengetahuan ilmiah, yang biasanya disebut dengan istilah Pengetahuan pra ilmiah.Secara umum pengetahuan nonilmiah ialah segenap hasil pemahaman Manusia atas sesuatu atau objek tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Hal ini yang cocok adalah hasil penglihatan, hasil pendengaran, hasil.Pembauan, pengecapan lidah, dan perabaan kulit. Di samping itu, juga Termasuk pemahaman yang merupakan campuran dari hasil pencerapan Secara indrawi dengan hasil pemikiran secara akali. Di sisi lain, termasuk Dalam kategori pengetahuan nonilmiah hasil pemahaman manusia yang Berupa tangkapan terhadap hal-hal yang gaib. Yang biasanya diperoleh Dengan menggunakan intuisi, yang sering disebut pengetahuan intuitif. Pengetahuan yang demikian ini diperoleh dengan menggunakan adi-indra Atau adi-akal, dapat juga disebut istilah pengetahuan adi-indrawi atau Pengetahuan adi-akali.Adapun pengetahuan ilmiah adalah segenap hasil pemahaman manusia Yang diperoleh dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Jenis pengetahuan dapat dilihat menurut pendapat Plato dan Aristoteles. Plato membagi pengetahuan menurut tingkatan pengetahuan sesuai dengan Karakteristik objeknya. Pembagiannya adalah sebagai berikut.
Jenis-Jenis Pengetahuan
Pengetahuan menurut Soejono Soemargono (1983) dapat dibagi atas:
1. Pengetahuan nonilmiah;
2. Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan nonilmiah ialah pengetahuan yang diperoleh dengan caracara yang tidak termasuk dalam kategori metode ilmiah. Dalam hal ini termasuk juga pengetahuan yang dalam tahap terakhir direncanakan untuk diolah menjadi pengetahuan ilmiah, yang biasanya disebut dengan istilah pengetahuan pra ilmiah.
Secara umum pengetahuan nonilmiah ialah segenap hasil pemahaman manusia atas sesuatu atau objek tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini yang cocok adalah hasil penglihatan, hasil pendengaran, hasil pembauan, pengecapan lidah, dan perabaan kulit. Di samping itu, juga termasuk pemahaman yang merupakan campuran dari hasil pencerapan secara indrawi dengan hasil pemikiran secara akali. Di sisi lain, termasuk dalam kategori pengetahuan nonilmiah hasil pemahaman manusia yang berupa tangkapan terhadap hal-hal yang gaib. Yang biasanya diperoleh dengan menggunakan intuisi, yang sering disebut pengetahuan intuitif. Pengetahuan yang demikian ini diperoleh dengan menggunakan adi-indra
atau adi-akal, dapat juga disebut istilah pengetahuan adi-indrawi atau pengetahuan adi-akali.Adapun pengetahuan ilmiah adalah segenap hasil pemahaman manusia yang diperoleh dengan menggunakan metode-metode ilmiah Jenis pengetahuan dapat dilihat menurut pendapat Plato dan Aristoteles. Plato membagi pengetahuan menurut tingkatan pengetahuan sesuai dengan karakteristik objeknya. Pembagiannya adalah sebagai berikut.
1. Pengetahuan Eikasia (Khayalan)
Tingkatan yang paling rendah disebut pengetahuan eikasia, yakni pengetahuan yang objeknya berupa bayangan atau gambaran. Pengetahuan ini isinya adalah hal-hal yang berhubungan dengan kesenangan atau kesukaan serta kenikmatan manusia yang berpengetahuan. Pengetahuan dalam tingkatan ini misalnya seseorang yang mengkhayal bahwa dirinya pada saat tertentu mempunyai rumah yang mewah, besar, dan indah dilengkapi kendaraan dan lain-lain sehingga khayalannya ini terbawa mimpi. Di dalam mimpinya ia betul-betul merasa mempunyai dan menempati rumah itu. Apabila seseorang dalam keadaan sadar menganggap bahwa khayal mimpinya itu betu-betul berupa suatu fakta yang ada dalam dunia kenyataan.
2. Pengetahuan Pistis (Substansial)
Satu tingkat di atas eikasia adalah tingkatan pistis atau pengetahuan substansial. Pengetahuan ini adalah pengetahuan mengenai hal-hal yang tampak dalam dunia kenyataan atau dapat diindrai seciira langsung. Objek pengetahuan pistis biasa disebut zooya karena isi pengetahuan semacam ini mendekati suatu kcyakinan (kepastian yang bersifat sangat pribadi atau kepastian subjektif). Pengetahuan ini mengandung nilai kebenaran apabila mempunyai syarat-syarat cukup bagi suatu tindakan mengetahui, misalnya mempunyai pendengaran yang baik, penglihatan normal serta indra yang normal.
3. Pengetahuan Dianoya (Matematik)
Pengetahuan dalam tingkatan ketiga adalah pengetahuan dianoya. Plato menerangkan tingkat pengetahuan ini ialah tingkat yang ada di dalamnya sesuatu yang tidak hanya terletak pada fakta atau objek yang tampak, tetapi juga terletak pada bagaimana cara berpikirnya. Contoh yang dituturkan oleh Plato tentang pengetahuan ini adalah para ahli matematika atau geometri, di mana objeknya adalah matematik, yakni suatu yang harus diselidiki dengan akal budi melalui gambar-gambar, diagram kemudian ditarik suatu hipotesis. Hipotesis ini diolah terus hingga sampai pada kepastian. Dengan demikian, dapat dituturkan bahwa bentuk pengetahuan tingkat dianoya ini adalah pengetahuan yang banyak berhubungan dengan masalah matematik atau kuantitas luas, isi, jumlah, dan berat. Hal ini semata-mata merupakan suatu kesimpulan dari hipotesis yang diolah oleh akal pikir karena pengetahuan ini disebut juga pengetahuan pikir.
4. Pengetahuan Noesis (Filsafat)
Pengetahuan tingkat tertinggi disebut noesis, pengetahuan yang objeknya arche, yakni prinsip-prinsip utama yang mencakup epistemologis dan metaflsik. Prinsip utama ini biasa disebut “IDE”. Plato menerangkan tentang pengetahuan ini adalah hampir sama dengan pengetahuan pikir, tetapi tidak lagi menggunakan pertolongan gambar, diagram melainkan dengan pikiran yang sungguh-sungguh abstrak. Tujuannya adalah untuk mencapai prinsip-prinsip utama yang isinya berupa kebaikan, kebenaran, dan keadilan. Menurut Plato, cara berpikir untuk mencapai tingkat tertinggi dari pengetahuan itu dengan menggunakan metode dialog sehingga dapat dicapai pengetahuan yang sungguh-sungguh sempuraa yang biasa disebut episteme. (Abbas Hamami M.:1980) Aristoteles mempunyai pendapat yang berbeda. Menurut Aristoteles, pengetahuan harus merupakan kenyataan yang dapat diindrai dan kenyataan adalah sesuatu yang merangsang budi kita kemudian mengolahnya. Aristoteles tidak membagi pengetahuan menurut tingkatannya melainkan menurut jenisnya sesuai dengan fungsi dari pengetahuan itu.
Pengetahuan yang umumnya merupakan kumpulan dinamakan Rational Knowledge yang dipisahkan dalam tigajenis, yaimana objeknya adalah matematik, yakni suatu yang harus diselidiki dengan akal budi melalui gambar-gambar, diagram kemudian ditarik suatu hipotesis. Hipotesis ini diolah terus hingga sampai pada kepastian.Dengan demikian, dapat dituturkan bahwa bentuk pengetahuan tingkat dianoya ini adalah pengetahuan yang banyak berhubungan dengan masalah matematik atau kuantitas luas, isi, jumlah, dan berat. Hal ini semata-mata merupakan suatu kesimpulan dari hipotesis yang diolah oleh akal pikir karena pengetahuan ini disebut juga pengetahuan pikir.
4. Pengetahuan Noesis (Filsafat)
Pengetahuan tingkat tertinggi disebut noesis, pengetahuan yang objeknya arche, yakni prinsip-prinsip utama yang mencakup epistemologis dan metaflsik. Prinsip utama ini biasa disebut “IDE”. Plato menerangkan tentang pengetahuan ini adalah hampir sama dengan pengetahuan pikir, tetapi tidak lagi menggunakan pertolongan gambar, diagram melainkan dengan pikiran yang sungguh-sungguh abstrak. Tujuannya adalah untuk mencapai prinsip-prinsip utama yang isinya berupa kebaikan, kebenaran,dan keadilan. Menurut Plato, cara berpikir untuk mencapai tingkat tertinggi dari pengetahuan itu dengan menggunakan metode dialog sehingga dapat dicapai pengetahuan yang sungguh-sungguh sempuraa yang biasa disebut episteme .(Abbas Hamami M.:1980)
Aristoteles mempunyai pendapat yang berbeda. Menurut Aristoteles, pengetahuan harus merupakan kenyataan yang dapat diindrai dan kenyataan adalah sesuatu yang merangsang budi kita kemudian mengolahnya.
Aristoteles tidak membagi pengetahuan menurut tingkatannya melainkan menurut jenisnya sesuai dengan fungsi dari pengetahuan itu. Pengetahuan yang umumnya merupakan kumpulan dinamakan Rational Knowledge yang dipisahkan dalam tigajenis, yaitu:
a. Pengetahuan produksi (seni);
b. Pengetahuan praktis (etika, ekonomi, dan politik);
c. Pengetahuan teoretis (fisika, matematika,
dan metafisika/filsafatpertama).Sangat berbeda dengan kedua pendapat di atas, yaitu pendapat Pyrrho, seorang skeptik ekstrim.Ia mengemukakan pendapatnya bahwa tidak ada sesuatu yang dapat diketahui dengan menghindarkan diri dari setiap pemberian tanggiipan. Hal ini terjadi karena sarana untuk mengetahui yang kita miliki tidak dapat dipercaya dan saling bertentangan, sedangkan semuanya berdalih benar.
Sumber Sumber Pengetahuan
Apakah sebenamya yang menjadi sumber pengetahuan? Para filsuf memberi jawaban yang berbeda beda terhadap pertanyaan itu. Plato, Descartes, Spinoza, dan Leibniz mengatakan bahwa akal budi atau rasio adalah sumber utama bagi pengetahuan, bahkan ada yang secara ekstrem menekankan bahwa akal. budi adalah satu satunya sumber bagi pengetahuan. Para filsuf yang mendewakan akal budi itu berpendapat bahwa setiap keyakinan atau pandangan yang bertentangan dengan akal budi tidak mungkin benar. Bagi mereka, pikiran memiliki fungsi yang amat penting dalam proses mengetahui.
Beberapa filsuf lainnya, seperti Bacon, Hobbes, dan Locke, menyatakan bahwa bukan akal budi, melainkan pengalaman indrawilah yang menjadi sumber utama bagi pengetahuan. Kendati memang ada perbedaan pandangan di antara mereka sendiri, mereka semua sependapat bahwa pada dasamya pengetahuan bergantung pada pancaindra manusia serta pengalaman pengalaman indranya, dan bukan pada rasio. Mereka juga mengklaim bahwa seluruh ide dan konsep manusia sesungguhnya berasal dari pengalaman. Tidak ada ide atau konsep yang di dalam dirinya sendiri bersifat apriori. Mereka mengatakan bahwa semua ide dan konsep itu sesungguhnya aposteriori. Jika benar bahwa seluruh ide dan konsep manusia bergantung pada pengalaman, maka sesungguhnya seluruh pengetahuan manusia itu pun bersifat aposteriori. Akan tetapi, para filsuf itu mengakui juga bahwa tidak semua pengetahuan manusia secara langsung bergantung pada pengalaman, melainkan apabila ditelusuri lebih lanjut, pada akhirnya akan terlihat bahwa pengetahuan sesungguhnya berasal dari pengalaman.
John Locke mengatakan bahwa selulurh ide manusia berasal secara langsung dari sensasi dan lewat refieksi terhadap ide-ide sensatif itu sendiri. Tidak ada suatu apa un juga alam akal budi manusia yang tidak berasal dari pengalaman indrawi.Immanuel Kant, yang filsafatnya tidak sealiran dengan John Locke, juga berpendapat bahwa kendati seluruh ide dan konsep manusia bersifat apriori sehingga ada kebenaran apriori, ide dan konsep itu hanya dapat diaplikasikan bila ada pengalaman. Tanpa pengalaman, seluruh ide dan konsep serta kebenaran apriori tidak akan pernah dapat diaplikasikan. Dengan kata lain, Kant hendak mengatakan baliwa akal budi manusia hanya dapat berfungsi sebagaimana mestinya apabila dihubungkan dengan pengalaman. Dengan demikian, Kant memperdamaikan kedua pandangan tersebut yang selama itu senantiasa saling bertentangan.(Pengantar filsafat.37)

ILMU PENGETAHUAN
Ilmu Pengetahuan
1. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Ilmu, filsafat, dan agama mempunyai hubungan yang terkait, menurut Louis O. Kattsoff dikatakan: Bahasa yang dipakai dalam filsafat dan ilmu pengetahuan dalam beberapa hal saling melengkapi. Hanya bahasa yang dipakai dalam filsafat mencoba untuk berbicara mengenai ilmu pengetahuan, dan bukannya dalam ilmu pengetahuan. Namun apa yang harus dikatakan oleh seorang ilmuan mungkin penting pula bagi seorang filosof.Ilmu, filsafat, dan agama mempunyai hubungan yang terkait dan reflektif dengan manusia. Dikatakan terkait tidak dapat bergerak dan berkembang apabila tidak ada tiga alat dan tenaga utama yang berada dalam diri manusia.Tiga alat dan tenaga utama manusia adalah akal pikiran, rasa, dan keyakinan, sehingga dengan ketiga hal tersebut manusia dapat mencapai kebahagiaan bagi dirinya. Harol H. Titus menerangkan: Ilmu pengetahuan mengisi filsafat dengan sejumlah besar materi yang factual dan deskriptif, sangat perlu dalam pembinaan suatu filsafat.Banyak ilmuan yang juga filosof. Para filosof terlatih di dalam metode ilmiah, dan sering pula menuntut minat khusus dalam beberapa ilmu sebagai berikut:
a. Historis, mula-mula filsafat identik dengan ilmu pengetahuan, sebagimana juga filosof identik dengan ilmuan.
b. Objek material ilmu adalah alam dan manusia, dan objek material filsafat adalah alam, manusia, dan ketuhanan.Persi lain menjelaskan bahhwa: ilmu, filsfat, dan agama mempunyai hubungan yang terkait dan reflektif dengan manusia. Dikatakan terkait karena ketiganya tidak dapat bergerak dan berkembang apabila tidak ada tiga alat dan tenaga utama yang berada di dalam diri manusia. Tiga alat dan tenaga utama manusia adalah akal pikiran, rasa, dan keyakinan, sehingga dengan ketiga hal tersebut manusia dapat mencapai kebahagian bagi dirinya.Dikatakan reflektif, karena ilmu, filsafat, dan agama dapat berkembang berkat adanya keyakinan. Akan tetapi ketiga alat dan tenaga utama tersebut tidak dapat berhubungan dengan ilmu, filsafat, dan agama apabila tidak didorong dan dijalankan oleh kemauan manusia yang merupakan tenaga tersendiri yang terdapat dalam diridan deskriptif, sangat perlu dalam pembinaan suatu filsafat. Banyak ilmuan yang juga filosof. Para filosof terlatih di dalam metode ilmiah, dan sering pula menuntut minat khusus dalam beberapa ilmu sebagai berikut:
a. Historis, mula-mula filsafat identik dengan ilmu pengetahuan, sebagimana juga filosof identik dengan ilmuan.
b. Objek material ilmu adalah alam dan manusia, dan objek material filsafat adalah alam, manusia, dan ketuhanan. Persi lain menjelaskan bahwa: ilmu, filsfat, dan agama mempunyai hubungan yang terkait dan reflektif dengan manusia. Dikatakan terkait karena ketiganya tidak dapat bergerak dan berkembang apabila tidak ada tiga alat dan tenaga utama yang berada di dalam diri manusia. Tiga alat dan tenaga utama manusia adalah akal pikiran, rasa, dan keyakinan, sehingga dengan ketiga hal tersebut manusia dapat mencapai kebahagian bagi dirinya.Dikatakan reflektif, karena ilmu, filsafat, dan agama dapat berkembang berkat adanya keyakinan. Akan tetapi ketiga alat dan tenaga utama tersebut tidak dapat berhubungan dengan ilmu, filsafat, dan agama apabila tidak didorong dan dijalankan oleh kemauan manusia yang merupakan tenaga tersendiri yang terdapat dalam diri manusia. Filsafat sebagai proses berpikir yang sistimatis dan radikal juga memiliki objek material dan objek formal. Objek material filsafat adalah segala yang ada. Segala yang ada mencakup “ada dan tampak” dan “ada yang tidak tampak”. Adapun yang tampak adalah alam pisik/empiris, sedangkan ada yang tidak tampak adalah alam metafisika. Sebagian filosof membagi objek material filsafat ada tiga bagian, yaitu yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, rasional, radikal, bebas, dan objek tentang yang ada, agar dapat mencapai hakikat. Agama adalah satu sistem kepercayaan pada Tuhan yang dianut oleh sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengan-Nya. Pokok persoalan yang dibahas dalam agama adalah eksistensi Tuhan, manusia, dan hubungannya antara manusia dengan Tuhan. Tuhan dan hubungan manusia dengan-Nya merupakan aspek metafisika, sedangkan manusia sebagai mahluk dan bahagian dari benda alam termasuk dalam kategori fisika.Jelasnya filsafat membahas dari segi metafisika dan fisika.Namun pembahasan filsafat agama lebih terfokus dari aspek metafisikanya ketimbang aspek fisiknya. Aspek fisik akan lebih terang diuraikan dalam alam, seperti biologi, psikologi, dan antropologi.
Ilmu mendasarkan pada akal pikiran lewat pengalaman, penelitian dan indra, untuk mendapatkan kebenaran yang ilmiah, filsafat mendasarkan pada otoritas akal murni secara bebas dan berpikir secara radikal dalam penyelidikan terhadap kenyataan dan pengalaman terutama dikaitkan dengan kehidupan manusia, maka kebenaran yang diperolehnya relatif. Sedangkan agama berdasarkan wahyu, maka kebenaran yang diperolehnya pasti. Ilmu, filasat, dan agama saling terkait antara satu dengan lainnya.
2. Perbedaan antara Ilmu, Filsafat dan Agama
a. Filsafat menyelidiki, membaca serta memikirkan seluruh alam kenyataan, dan menylidiki bagaimana hubungan kenyataan satu sama lain. Jadi ia memandang satu kesatuan yang belum dipecah-pecahkan serta pembahasannya secara keseluruhan.Sedangkan ilmu-ilmu lain atau ilmu vak menyelidiki hanya sebagian saja dari alam maujud ini, misalnya ilmu hayat membicarakan tentang hewan, tumbuh-tumbuhan dan manusia, ilmu bumi membicarakan tentang kota, sungai, hasil bumi,dan sebagainya.
b. Filsafat tidak saja menyelidiki tentang sebab akibat, tetapi menyelidiki hakikatnya sekaligus.Sedangkan ilmu tak membahas tentang sebab dan akibat suatu peristiwa.
c. Dalam pembahasannya filsafat menjawab apa ia sebenarnya, dari mana asalnya, dan hendak ke mana perginya. Sedangkan ilmu vak harus menjawab bagimana dan apa sebabnya. Sebagian orang menganggap bahwa filsafat merupakan induk dari ilmu-ilmu vak. Alasannya ialah bahwa ilmu vak sering menghadapi kesulitan dalam menentukan batas-batas lingkungannya masing-masing. Misalnya batas antara ilmu alam dengan ilmu hayat, antara sosiologi dengan antropologi. Ilmu-ilmu itu dengan sendirinya sukar menentukan batas-batas masing-masing. Suatu instansii yang lebih tinggi, yaitu ilmu filsafat, itulah yang mengatur dan menyelesaikan hubungan dan perbedaan batas-batas antara ilmu-ilmu tersebut. Jelasnya, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu, dengan mencari sebab-sebab yang terdalam, berdasarkan kekuatan pikiran manusia sendiri.
Ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan mengenai suatu hal tertentu (objek atau lapangannya), yang merupakan kesatuan yang sistematis, dan memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukan sebab-sebab hal itu.
Jadi berarti ada metode, ada sistem, ada suatu pandangan yang dipersatukan (memberikan sintesis), dan yang dicari adalah sebab-sebabnya. Demikian filsafat mempunyai metode dan sistem sendiri dalam usahanya untuk mencari hakikat dari segala sesuatu, dan yang dicari adalah sebab-sebab terdalam Ilmu-ilmu pengetahuan dirinci menurut lapangan atau objek dan sudut pandangan. Objek dan sudut pandangan filsafat disebut juga dalam definisinya, yaitu segala sesuatu. Lapangan filsafat sangat jelas, ia meliputi segala apa yang ada. Pernyataan-pernyataan kita itu mengenai kasemuanya yang ada, tak ada yang dikecualikan.Hal-hal yang tidak kentara pun (seperti jiwa manusia, kebaikan, kebenaran bahkan Tuhan sekalipun) dipersoalkan, lapangan yang sangat luas ini.
Dengan munculnya ilmu-ilmu vak bukan berarti melenyapkan eksistensi dan fungsi filsafat. Karena filsafat tetap masi eksis dan mempunyai fungsi sendiri yang tidak dapat digantikan oleh yang lain yakni ilmu pengetahuan. Garapan filsafat berbeda dengan garapan ilmu pengetuan. Antara keduanya saling membutuhkan.Dalam kenyataan, setiap ilmu vak memerlukan falsafahnya, seperti dalam ilmu pendidikan ada falsafah pendidikan, dalam ilmu hukum terdapat palsafah hukum dalam ilmu politik terkandung ilmu politik terkandung falsafah politik dan lain sebagainya.
Ilmu, atau disebut ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan mengenai sesuatu kenyataan yang tersusun secara sistematis, dari usaha manusia yang dilakukan dengan penyelidikan, pengamalan dan percobaan. Sumbernya adalah hasil penyelidikan dengan pengalaman (empiri) dan percobaan (eksperimen), yang kemudian diolah dengan pikiran.Nilai kebenarannya adalah positif sepanjang positifnya peralatan yang digunakan dalam menyelidikinya, yaitu indra, pengalaman dan percobaannya. Maka ilmu pengetahuan selalu siap untuk diuji kembali kebenarannya. Jadi kebenaran tetap diakui sebagai benar sampai ada pembuktian dengan bukti yang lebih kuat (akurat).
Filsafat adalah ilmu yang mengetahui sesuatu yang tidak dengan pengalaman dan tidak dengan percobaan, diperoleh manusia melalui usahanya dengan pikirannya yang mendalam (radikal). Mengenai obyek materialnya, tidak berbeda dengan ilmu pengetahuan, yakni mengenai apa saja. Adapun yang berbeda adalah mengenai objek formalnya. Objek formal filsafat ialah mengenai sesuatu yang menyangkut sifat dasar, arti, nilai, dan hakikat dari sesuatu. Jadi bukan sesuatu yang dapat dijangkau dengan indera dengan percobaan. Mengjangkaunya hanyalah mungkin dengan filosofis, yaitu pikiran yang mendalam, logis dan rasional Kebenaran filsafat spekulatif, karena tidak mungkin diuji dengan metode empirik dan eksperimen. Karena itu biasanya dalam menghadapi hasil filsafati, orang hanya mengatakan aku cenderung pada pendapat ini, dan tidak setuju pada pendapat itu, tergantung bagaimana orangSumbernya adalah hasil penyelidikan dengan pengalaman (empiri) dan percobaan (eksperimen), yang kemudian diolah dengan pikiran.Nilai kebenarannya adalah positif sepanjang positifnya peralatan yang digunakan dalam menyelidikinya, yaitu indra, pengalaman dan percobaannya. Maka ilmu pengetahuan selalu siap untuk diuji kembali kebenarannya. Jadi kebenaran tetap diakui sebagai benar sampai ada pembuktian dengan bukti yang lebih kuat (akurat).
Filsafat adalah ilmu yang mengetahui sesuatu yang tidak dengan pengalaman dan tidak dengan percobaan, diperoleh manusia melalui usahanya dengan pikirannya yang mendalam (radikal). Mengenai obyek materialnya, tidak berbeda dengan ilmu pengetahuan, yakni mengenai apa saja. Adapun yang berbeda adalah mengenai objek formalnya. Objek formal filsafat ialah mengenai sesuatu yang menyangkut sifat dasar, arti, nilai, dan hakikat dari sesuatu. Jadi bukan sesuatu yang dapat dijangkau dengan indera dengan percobaan. Mengjangkaunya hanyalah mungkin dengan filosofis, yaitu pikiran yang mendalam, logis dan rasional kebenaran filsafat spekulatif, karena tidak mungkin diuji dengan metode empirik dan eksperimen. Karena itu biasanya dalam menghadapi hasil filsafati, orang hanya mengatakan aku cenderung pada pendapat ini, dan tidak setuju pada pendapat itu, tergantung bagaimana orang menilai hal tersebut.
Agama adalah kebenaran yang bersumber dari wahyu Tuhan mengenai berbagai hal kehidupan manusia dan lingkungannya. Jadi kebenaran agama bukan merupakan hasil usaha manusia. Manusia tinggal menerima begitu saja sebagai paket Tuhan. Nilai kebenarannya adalah mutlak, karena nilai agama bagi orang yang beriman diyakini sebagai datang dari Tuhan Yang Maha Kuasa, diberikan kepada manusia untuk dijadikan petunjuk dan pedoman hidupnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa kebenaranya ilmu adalah positif sepanjang positifnya peralatan yang digunakan dalam menyelidikinya, yaitu indra, pengalaman dan percobaannya. Kebenaran filsafat adalah spekulatif, karena mungkin saja benar menurut kita, tapi tidak benar menurut oarang lain, dan hal ini tidak mungkin diuji dengan metode empirik dan eksperiman. Kebenaran agama adalah mutlak, karena bersumber langsung dari Tuhan. Jadi ilmu, filsafat, dan agama tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi.

METODE ILMIAH
pengertian metode
Kata Metode berasal dari kata Yunani “ Meta” berarti Jalan; “hodos” berarti melalui; “meta+hodos” berarti sepanjang jalan. Metode adalah jalan yang harus ditempuh untuk mencapai suatu tujuan atau “cara bekerja” menurut aturan-aturan atas dasar objeknya. (Fuad Ihsan, 2010 : 97 )
Sedangkan menurut Jujun. S. Suriasumantri (2009 : 119) mengtakan bahwa Metode Ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tetapi, tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan
Metode Ilmiah Serta dalam bukunya Cecep Sumarna (2006 : 143 ) mengatakan bahwa Metode Ilmiah merupakan sebuah prosedur yang digunakan oleh ilmuwan dalam pencarian kebenaran dengan cara kerja yang sistematis terhadap pengetahuan baru dan melakukan peninjauan kembali kepada pengetahuan yang telah ada 2.1.2 metodologi ilmiah
Menurut Cecep Sumarna (2006 : 168 ) mengatakan Metodologi ilmiah adalah pengetahuan tentang metode–metode yang dipergunakan dalam penelitian. Suatu penelitian dapat disebut sebagai penelitian ilmiah., jika penelitian tersebut menggunakan metode ilmiah.
Metode ilmiah yang benar adalah :
1) Berdasarkan Fakta.
2) Bebas dari prasangka.
3) Menggunakan prinsip analisis.
4) Menggunakan hipotesis.
5) Menggunakan ukuran objek.
6) Menggunakan teknik kuantitatif.
Menurut cecep sumarna (2006 : 158 – 159) mengtakan pula metodologi penelitian dikelompokkan kedalam beberapa metode sesuai dengan disiplin keilmuan yang akan ditelitinya. Diantara metode–metode itu adalah:
1. Metode Sejarah.
Penelitian ini dapat dilihat dalam perspektif serta waktu terjadinya fenomena-fenomena yang diselidiki dan mempunyai pespektif historis.
2. Metode Deskriftif.
Suatu metode yang meliputi status kelompok manusia dalam suatu objek, kondisi dan sistem pemikiran ataupun kelas peristiwa pada masa sekarang
3. Metode Eksperimental
Penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian serta adanya kontrol.
4. Grounded research.
Suatu metode yang mendasarkan diri kepada fakta dan menggunakan analisa perbandingan yang bertujuan untuk mengadakan generalisasi empiris, menetapkan konsep, membuktikan teori dan mengembangkan teori dimana pengumpulan dan analisa data berjalan pada waktu yang bersamaan.
5. Metode Penelitian Tindakan (action research).
Suatu metode yang dikembangkan peneliti dan (decision maker) tentang variable yang dapat memanipulasi dan dapat segera digunakan untuk menentukan kebijakan. Jadi, metodologi penelitian adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian. Setiap penelitian pada hakikatnya mempunyai metode penelitiannya masing-masing dan metode–metode penelitian dimaksud ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian.
unsur-unsur yang mempengaruhi metode ilmiah
Metode ilmiah dipengauhi unsur alam yang berubah dan bergerak secara dinamik dan teratur. Kondisi alam yang demikian, diduga para filosof karena adanya asas tunggal atau hukum alam (natural law). Karena sifat yang demikian itu, maka manusia dianggap mampu melakukan proses generalisasi dan sekaligus melakukan eksplanasi. Lahirnya proses generalisasi itu, dalam kaidah filsafat ilmu disebabkan karena ada sebuah metode yang disebut Metode Ilmiah.
Unsur utama metode ilmiah adalah pengulangan empat langkah, sebagai berikut :
a) Karakterisasi (pengamatan atau pengukuran)
b) Hipotesis
c) Prediksi
d) Ekperimen
sikap ilmiah
Pada umumnya dalam melakukan Metode ilmiah seorang ilmuwan harus memiliki Sikap Ilmiah. mengatakan Sikap ilmiah adalah bagian penting dari prosedur berfikir ilmiah. Sikap ilmiah meliputi enam karakteristik. Keenam karakteristiknya, yaitu:
Rasa ingin tahu;
Rasa ingin tahu ditujukan untuk memahami keberadaan, hakikat, fungsi hal tertentu dan hubungannya dengan hal-hal lain, ada rasa ingin tahu yang menjadi pemicu munculnya pertanyaan serta dilakukannya penyelidikan, pemeriksaan, penjelajahan petualangan dan percobaan dalam rangka mencapai pemahaman.
2. Spekulatif;
Kespekulatifan adalah sikap ilmiah yang diperlukan untuk mengajukan hipotesis-hipotesis (tentu bersifat deduktif) untuk mencari solusi terhadap sesuatu yang diangggap sebagai permasalahan ilmiah.
PENGETAHUAN FILOSOF
1. Obyek Filsafat
Secara garis besar obyek filsafat dibagi menjadi dua, yaitu:
2.Obyek Material.
Yang menjadi obyek material filsafat adalah segala sesuatu yang menjadi masalah oleh filsafat atau dalam filsafat. Ada berbagai pendapat tentang hal ini diantaranya:
a.Louis Kattsoff
la menyatakan bahwa obyek filsafat sangat luas se- kali yaitu segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui oleh manusia. "Abubakar Aceh. Seunh Fibafat Islaan, Cet. 2 (Sala: C.V. Ramadhani,1982),9. "Theoxdore Brameld, Eduvatim for the Energing Age: Newer Ends amul Strmger Mens, (New York: Harper & Brothets, 1961), 21. KAnshari, limu, filsafat dan Agama, 86.
Pendahuluan
b. Perdjawijatna
la menyatakan bahwa obyek filsafat adalah segala yang ada dan yang mungkin ada.
c. D.C. Mulder
la menyatakan bahwa obyek filsafat meliputi tiga persoalan pokok, yaitu:
1) Apakah Allah dan siapakah Allah itu,
2) Apa dan siapakah manusia itu,
3) Apakah hakekat dari segala realitas (kenyataan) ini.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa obyek filsafat tiada lain ialah segala sesuatu yang ada, yang pada garis besarnya dibagi menjadi tiga persoalan pokok yaitu: hakekat Tuhan, alam, dan manusia.
3.Obyek Formal
Yang dimaksud obyek formal filsafat tiada lain ialah mencari keterangan sedalam-dalamnya tentang obyek material filsafat yaitu segala sesuatu yang ada atau sarwa- yang-ada." Dari obyek formal inilah filsafat berbeda dengan ilmu- ilmu lain, walaupun obyek materialnya sama, hal ini sebagaimana ciri filsafat mencari keterangan sedalam - dalamnya.
TITIK SINGGUNG FILSAFAT DAN ILMU
Makna Filsafat
Merah bibir seorang wanita karena gincu, semakin meyakinkan bahwa bibirnya justru tidak lagi sensual apalagi menarik Filsafat berasal dari kata philosophia atau philosophos. Ke- duanya terstruktur dari dua suku kata, yakni philos yang berarti cinta dan sophia atau shofos yang berarti wisdom atau bijaksana. Harun Hadiwijono (1980) menyebut kata filsafat dengan filosofien, yang berarti mencintai kebijaksanaan. Mencintai kebijaksanaan, menjadi kata kunci dalam kajian ini, sebab dalam anggapan dimaksud, manusia tidak mungkin- pada taraf tertentu-layak atau pantas disebut bijaksana. Ali Mudhafir (1996) berpendapat bahwa filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah (Arab), phi- losopia (Inggris), philosopie (Jerman, Belanda dan Prancis). Kata-kata tadi berasal dari sumber yang sama, yakni dari bahasa Yunani, philosopia (philein dan philos), yang berarti mencintai dan berteman. Kata shopos berarti bijaksana atau shopia yang berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, secara bahasa, kata
filsafat dapat diterjemahkan sebagai cinta kebijaksanaan, atau berteman dengan kebijaksanaan. Harus juga dicatatkan bahwa di kalangan para ilmuwan disebutkan bahwa kata filsafat setidaknya mengandung dua arti secara etimologi yang sedikit berbeda dengan penjelasan di atas. Pertama, apabila istilah filsafat mengacu pada asal kata philein dan shopos, maka ia berarti mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (kata sifat). Kedua, apabila filsafat mengacu pada asal kata philos dan shopia, maka ia berarti teman kebijaksanaan (filsafat menjadi kata benda). Mana yang mau Anda pilih? Tentu saja terserah Anda. Pilihan itu terjadi karena filsafat berubah menjadi sebuah ilmu, yang karenanya menjadi sebuah Ilmu, maka di situlah relativitas akan dengan mudah didapati. Kembali mengutip Harun Hadiwiyono (1980), filsafat tampaknya cenderung mengandung arti sejumlah gagasan yang penuh kebijaksanaan. Artinya, seseorang dapat disebut berfilsafat ketika ia aktif melakukan usaha untuk memperoleh kebijaksanaan dan hidup sekuat tenaga untuk berlaku bijak. Kata filsafat dalam pengertian tadi lebih berarti sebagai "imbauan pada sikap pandang dan berperilaku bijaksana." Filsafat dalam makna ini, bukan kebijaksanaan dan bukan hikmah, tetapi sifat dekat dengan kebijaksanaan atau sifat dekat dengan hikmah (ilmu pengetahuan!. Itulah kearifan yang sesungguhnya, dan itulah cara berfilsafat yang sesungguhnya. Kata bijaksana (wisdom) atau mencintai kebijaksanaan, dalam pengertian tadi menjadi ciri utama filsafat. Kata ini, diketahui secara umum sering dinisbatkan atas pemikiran Socrates, yang dalam banyak waktu ketika hidupnya dihabiskan untuk menelusuri makna sesungguhnya dari kebijaksanaan. Sebelumnya, banyak sekali manusia yang "digelari" bijak (shofos), tetapi realitasnya mereka justru jauh dari apa yang seharusnya disebut bijaksana. Mereka (para shofos) itu kebanyakan berada dalam lingkaran kekuasaan, dan mengabdi sepenuhnya pada kepentingan penguasa, yang mengakibatkan dalam banyak kasus, apa yang disebut pebijak justru bertingkah menjadi tidak bijaksana karena ia hidup sepenuhnya mengabdi kepada raja. Dalam posisinya yang demikian, para bijak malahan melakukan aktivitas sekalipun harus bertentangan dengan hati nuraninya dan/atau dengan kepentingan rakyatnya. Dalam bentuk kalimat tanya, di situasi seperti itu Socrates berkata: "Apa betul manusia seperti itu layak disebut bijaksana." Oleh sebab itu, Socrates, yang akhirnya tampil menjadi bapak penting filsuf Yunani Kuno, menggugat orang-orang yang selama kurun waktu dimaksud disebut shofos. la, misalnya, menyebutkan bahwa bijaksana seharusnya diartikan sebagai pengetahuan atau hikmah tertinggi yang menjadi budi manusia, dan mengabdi sepenuhnya pada kepentingan manusia. Lepas apa dia berada dalam lingkaran kekuasaan atau tidak, tetapi kebijakan untuk mengabdi pada hati nurani dan rakyatnya menjadi penting dilakukan. Akhirnya, Socrates mengatakan bahwa keagungan manusia tidak terletak pada kekuasaan dan pengaruhnya dalam kekuasaan dimaksud, tetapi justru terletak dalam apa yang disebut dengan penggunaan akal budi dalam menata kehidupan sehari-hari manusia, yang berujung pada simetri kemanusiaan. Pertanyaannya mengapa? Mengutip pikiran Socrates diawal, orang bijaksana akan selalu sadar bahwa kebijaksanaan itu hanya milik Sang Idea, God, atau Allah dalam terminologi Arab- Muslim. Lebih dari itu, tidak ada manusia yang benar-benar layak disebut sempurna atau bijak. Karena tidak ada manusia yang benar-benar bijak, maka semua kebenaran dalam realitas manusia harus dipandang relatif, meski kebenaran mutlak harus tetap ada dan inheren dengan sendirinya dalam apa yang disebutnya Idea. Kebenaran mutlak itulah yang terletak dalam apa yang dalam bahasa Islam disebut dengan Allah, yang dalam terminologi Socrates disebut dengan kebenaran universal. Orang Arab, menurut Harun Nasution (1978), memin- dahkan kata philosopia ke dalam bahasa mereka dengan menyesuaikan tabiat atau susunan kata-kata bahasa Arab, yaitu filsafat dengan pola (wazan) fa'ala, fa'lalah, dan fi'lal. Berdasarkan wazan tersebut, penyebutan filsafat dalam bentuk kata benda seharusnya disebut falsafat atau filsat. Harun Nasution mengkritik mereka ketika menyebut istilah ini dengan sebutan filsafat, bukan filsaf atau falsafat, karena kata filsafat tidak memberi arti apapun, jika telaahnya dalam pendekatan bahasa. Dinamika kefilsafatan terus mengalami perkembangan dan perubahan. Lalu ketika mulai banyak muncul kebutuhan kebutuhan praktis, filsafat dalam wilayah tertentu menjadi turun ke dunia yang praksis. Hal ini, dapat dicari relevansinya dengan pikiran Pythagoras (572-497 M) yang sering ditahbiskan sebagai orang pertama yang memakai kata philosopia ketika ia ditanya, apakah ia orang yang bijaksana? Dengan rendah hati, Pythagoras menjawab bahwa dirinya adalah pencinta kebijaksanaan (Ulover of wisdom). la merasa bahwa dirinya bukan kebijaksanaan itu sendiri. Jika ia menetapkan diri sebagai Sang Bijak, maka sejatinya ia telah keluar dari cara berpikir filsafat itu sendiri. Bagi Pythagoras, kebijaksanaan itu milik Sang Abadi yang hadirnya juga abadi. Yang Abadi itu terus-menerus mengurus soal-soal yang konkret, dinamik dan fisik serta berbagai gejala dan perubahan yang terjadi pada yang fisik. Dalam pengertian ini, seseorang dapat disebut telah berfilsafat apabila ucapan dan perilakunya mengandung makna dan ciri sebagai orang yang cinta terhadap kebijaksanaan, terhadap pengetahuan dan cinta terhadap hikmah Menurutnya, filsafat bukan kebijaksanaan, bukan hikmah, juga bukan pengetahuan itu sendiri. Meskipun demikian, banyak juga sumber yang menyatakan bahwa kata shopia mengandung arti luas dari hanya sekadar kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah. Pengertian dimaksud berkembang, misalnya, dengan arti:
(1) kerajinan
(2) kebenaran pertama
(3) pengetahuan luas
(4) kebajikan intelektual
(5) pertimbangan sehat
(6) kecerdikan dalam memutuskan
hal-hal yang praktis. Berdasarkan pengertian tadi, pada awalnya filsafat bermakna umum, yang intinya mencari keutamaan mental (the pursuit of mental excellence) bukan objek dari kajian keilmuan. Hasbullah Bakri mendefinisikan filsafat dalam ragam pandang para tokoh filsafat. Plato (427-438 SM) dianggap telah mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang genuine. Aristoteles (382-322 SM) dianggap telah mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan yang meliputi kebenaran. Terkandung di dalam kajian filsafat ini adalah ilmu metafisika, logika, retorika, etika, estetika, dan ekonomi. Al-Farabi (870-950 SM) dianggap telah mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang alam maujud dan bagaimana hakikat alam yang sebenarnya. Selanjutnya, Descartes (1590-1650 M) dianggap telah mendefinisikan filsafat sebagai hukum ilmu pengetahuan, yakni tentang Tuhan, alam, dan manusia. Immanuel Kant (1724- 1804 M) dianggap telah mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan. Atas asumsi itu, maka menurut Kant ada tiga persoalan yang dikaji dalam filsafat. Pertama, Apakah yang dapat manusia ketahui? (dijawab ontologi). Kedua, Apakah yang seharusnya diketahui manusia? (dijawab etika). Ketiga, Sampai di mana harapan manusia dapat dicapai? (dijawab oleh agama). Filsafat dalam arti umum digunakan untuk menjawab pertanyaan yang muncul dalam pikiran manusia tentang berbagai kesulitan yang dihadapi, serta berusaha untuk menemukan solusi yang tepat atas suatu masalah. Misalnya ketika ada pertanyaan: "Siapakah Kita? Darimana kita berasal? Mengapa kita ada di suatu tempat? Ke mana kita akan pergi dan berlalu? Apa yang dimaksud dengan kebenaran dan kebatilan? Apakah yang dimaksud dengan kebaikan dan kejahatan? Jawaban atas semua pertanyaan tadi, tidak mungkin hanya dijawab dengan apa adanya, misalnya, hanya melihat realitas empiris sebagaimana ilmu biasa menjawab. Inilah pemahaman filsafat dalam pengertian yang bersifat umum. Karena itu, filsafat dapat juga diartikan dalam makna khusus, misalnya menyinonimkan filsafat dengan sistem dari sebuah mazhab tertentu dalam filsafat. Contoh, filsafat dirangkaikan dengan salah seorang filsuf, seperti filsafat Aristoteles atau filsafat Plato. Rangkaian kata filsafat dengan nama seorang filsuf tertentu mengindikasikan bahwa setiap filsuf dengan aktivitas berpikir yang dilakukannya masing-masing, bermaksud membangun suatu bentuk penafsiran yang lengkap dan menyeluruh terhadap segala sesuatu yang diyakini kebenarannya oleh filsuf tadi atau pemikiran dirinya yang diakui orang lain. Kata filsafat banyak juga dipakai orang Indonesia, meski dalam banyak kasus tidak semua orang dapat memahaminya dengan benar. Bukan hanya kaum akademik, tetapi kata dimaksud tidak jarang dipakai para politikus dengan sejumlah kerancuan yang terdapat di dalamnya. Misalnya, kita mungkin sering mendengar kata filsafat hidup bangsa Indonesia, falsafah bangsa Indonesia, atau cita-cita bangsa berdasarkan filsafat hidupnya. Tiga narasi tadi, umumnya ditetakkan ke dalam Pancasila yang menjadi common platform bangsa Indonesia bahkan landasan berbangsa dan bernegara. Dilihat dari pendekatan ini, sebenarnya kata filsafat yang digagas Harun Nasution di atas, ada benarnya. la bukan murni berasal dari bahasa Arab, sama seperti tidak murninya jika harus disebut terambil dari bahasa Inggris. Sikap kompromis bahwa filsafat terambil dari dua bahasa, yaitu fil (Inggris) dan safah (Arab), mengandung makna pandangan manusia (Indonesia) dalam menatap bangsanya di hari ini dan masa depan dengan landasan kemasalaluannya. Jika narasi Harun Nasution di atas yang digunakan, maka falsafah harus diartikan sebagai kerangka berpikir manusia menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma, serta agama tertentu) yang menyatukan seluruh kebangsaan yang melekat padanya. Inilah yang dalam makna lain, berfilsafat harus diartikan sebagai usaha berpikir manusia secara mendalam, sehingga dasar-dasar persoalan, landasan historis, dan tujuan yang berjangka panjang harus mampu disusun dalam kerangka keberlangsungan (vision) kebangsaan. Atas dasar itu, maka jika kita mengutip pikiran Harun Nasution di atas, secara etimologi, filsafat dapat didefinisikan sebagai: (1) Pengetahuan tentang hikmah; (2) pengetahuan tentang prinsip atau dasar segala sesuatu, (3) usaha untuk mencari kebenaran, dan 4) membahas secara mendasar dari segenap realitas yang mampu ditangkap.
В. Ара itu Пmu?
Kajian terhadap makna pengetahuan, ilmu, dan dasar-dasar yang mengitarinya, dijabarkan dalam bab ini, dengan maksud agar kita memiliki kemampuan dalam mengembangkan pengetahuan yang menjadi rahasia kekuasaan Tuhan, dan sekaligus dalam perspektif teologi keislaman dapat menjadi semacam penguat akan fungsi manusia sebagai khalifah fi al- crd (penguasa di bumi, penjaga di bumi dan pengganti "Tuhan" di bumi). Tujuannya tentu untuk mengurusi alam sesuai dengan kepentingan manusia. Perjalanan manusia dan kemanusiaan yang demikian itu didasarkan atas apa yang "dikehendaki" Tuhan. Dalam bahasa yang agak filosofis, rantaian pemahaman tadi akan mendorong setiap ilmuwan untuk berkemampuan membaca qudrat, iradat, dan masyi'at Tuhan. Ketika ada yang bertanya dengan menggunakan kata Tanya apa, maka sesungguhnya sang penanya sedang membincangkan sesuatu yang bersifat hakiki atau mendasar. Pertanyaan sejenis tu lahir karena ada sesuatu yang melingkari dirinya dari suatu persoalan yang sangat rumit. Sesuatu yang tidak biasa tetapi justru sangat mungkin substantif. Karena itu, jawaban atas pertanyaan sejenis itu tentu saja tidak sederhana, sesederhana kalimat tanya yang muncul tadi. Sebut misalnya ketika ada seorang yang bertanya Apa itu ilmu? Pertanyaan semacam ini sesungguhnya sedang membincangkan sesuatu yang bersifat hakiki dan esensial atas apa yang disebut dengan ilmu. Karena itu, jawabannya tidak sederhana, tetapi kompleks dan rigid dengan menyuguhkan sejumlah argumentasi, metodologi, alat, dan sarana yang patut dianggap tepat untuk digunakan. Tetapi karena kita sedang mengkaji apa itu ilmu, maka sepanjang apapun, kita akan mencoba memberi jawaban, dengan sejumlah argumentasi yang mungkin tepat. Secara bahasa, ilmu (Bahasa Indonesia) berasal dari bahasa Arab, terserap dari a'lama yang memiliki kemungkinan arti pengetahuan. Penulis memberi tanda merah pada kalimat kemungkinan arti, sebab dalam penjelasan berikut penulis justru kurang setuju atasnya. Kata ilmu sering disejajarkan dengan science, serapan dari Bahasa Latin, scio dan/atau scire, yang ketika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia diartikan dengan pengetahuan. Ada juga yang menyebut bahwa science berasal dari Bahasa Latin, sciere dan scientin, yang artinya pengetahuan dan aktivitas mengetahui. Definisi sejenis ini setidaknya dapat dibaca dalam tulisan Sidi Ghazalba (1973: 41). M. Quraish Shihab (1992: 171) berpendapat bahwa ilmu berasal dari bahasa Arab, 'ilm yang berarti kejelasan. Karena itu, segala bentuk kata yang terambil dari akar kata 'ilm seperti 'alama (bendera), 'ulmat (bibir sumbing), 'alam (gunung- gunung), dan 'alamat selalu mengandung objek pengetahuan. Melalui nalar ini, M. Quraish Shihab menyebut llmu dengan pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Artinya, yang tidak jelas atau tıdak membuat sesuatu menjadi jelas, maka hal itu tidak dapat disebut sebagai ilmu. Pertanyaan lain segera muncul, yakni apakah sama atau beda antara makna ilmu dengan makna pengetahuan? Mengapa dalam bahasa Inggris kata ilmu disemaknakan dengan science sedangkan pengetahuan disemaknakan dengan kata knowledge? Apakah dengan perbedaan penyebutan itu, secara otomatis antara keduanya berbeda? Bagi saya, ilmu dan pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan (Indonesia) semakna dengan kata knowledge (B. Inggris). Kata ini sering diartikan sebagai sejumlah informasi yang diperoteh manusia meski tidak melalui proses pengamatan, pengalaman (empirik) dan penalaran (rasio). Sedangkan ilmu atau sains, cara perolehannya mengharuskan adanya proses pengamatan, pengalaman, dan penalaran. Oleh karena itu, pengetahuan tentu berbeda dengan ilmu, terutama dalam pemakaiannya. Ilmu lebih menitikberatkan pada aspek teoretis-yang mensyaratkan teoretisasi-dari sejumlah pengetahuan yang diperoleh dan dimiliki manusia. Sedangkan pengetahuan tidak mensyaratkan adanya teoretisasi dan pengujian. Kebenaran ilmu menuntut generalisasi karena diperoleh melalui sejumlah penelitian dan pembuktian, bukan hanya sekadar pembenaran atas penalaran rasio. Sedangkan pengetahuan belum dapat digunakan untuk sebuah proses generalisasi. Pengetahuan tidak menuntut adanya penelitian danpengkajian lebih lanjut atasnya. Harus juga diakui, bahwa setiap jenis pengetahuan pada prinsipnya selalu berguna untuk memberikan jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang muncul dalam diri seseorang. Pengetahuan selalu memberi rasa puas dengan menangkap tanpa ragu terhadap sesuatu. Pengertian pengetahuan seperti itu telah membedakannya dengan ilmu yang selalu menghendaki penjelasan lebih lanjut dari hanya sekadar dituntut pengetahuan (Mundiri, 2000:5). Dalam makna ini, pengetahuan hanya mungkin menjadi semacam informasi yang menjadi landasan awal bagi lahirnya ilmu. Tanpa didahului oleh pengetahuan, ilmu tidak akan pernah ada dan mungkin tidak akan pernah lahir al-Ghazali (tt: 7-12) mengartikan pengetahuan sebagai hasil aktivitas mengetahui, yakni tersingkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya. Menurut al-Ghazali, jiwa yang tidak ragu terhadap apa yang diketahui menjadi syarat mutlak diterimanya sebuah pengetahuan. Misalnya, jika ada seorang yang mengetahui, lalu karena pengetahuannya dia yakin bahwa ada sepuluh Malaikat yang wajib diketahui. Pengetahuan dia tentang sepuluh Malaikat yang wajib diketahui itu tetap dipertahankannya meskipun ada guru atau kaum cerdik cendekiawan lain menyatakan bahwa bukan sepuluh jumlah Malaikat yang wajib diketahuinya. Pengetahuan yang dibarengi dengan keyakinan seperti itu disebut al-Ghazali sebagai pengetahuan. Ahmad Tafsir (1992:15) berpendapat bahwa pengetahuan berlangsung dalam dua bentuk dasar dan fungsi yang berbeda. Pertama, pengetahuan berfungsi untuk dinikmati dan mem- berikan kepuasan kepada hati manusia seperti terdapat dalam kajian mistik dan filsafat. Kedua, pengetahuan yang patut digunakan atau diterapkan dalam menjawab kebutuhan praktis kebutuhan manusia seperti yang terdapat dalam sains. Masing- masing jenis dan fungsi pengetahuan itu kemudian memiliki objek, paradigma, metode, dan ukurannya sendiri-sendiri, yang satu sama lain sangat mungkin berbeda. Arthur Thomson mendefinisikan ilmu sebagai pelukisan fakta-fakta, pengalaman secara lengkap dan konsisten meski dalam perwujudan istilah yang sederhana. S. Hornby (1996: 307) mengartikan ilmu dengan kalimat: "... Science is organizedknowledge obtained by observation and testing of fact" (ilmu adalah susunan atau kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan percobaan dari fakta-fakta). Kamus Bahasa Indonesia, menerjemahkan ilmu sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, sarana dan alat tertentu pula. Jika perangkat pengetahuan itu mampu dikonstruksi dan digunakan, maka sekaligus ia dapat menerangkan gejala-gejala tertentu pula. Kamus ini juga menerangkan bahwa ilmu dapat diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian tentang soal duniawi, akhirat, lahir batin. Poincare (1975: 272) menyebutkan bahwa ilmu berisi kaidah-kaidah dalam arti definisi yang bersembunyi (science consist entirely of convention in the sense of disguised definitions). Pengertian dan kandungan ilmu yang dicoba ditawarkan Poincare ini, harus pula diakui memperoleh penolak- an dari sebagian ahli. Bahkan ada anggapan yang menyatakan bahwa pikiran Poincare ini merupakan kesalahan besar. M. Le Ray seolah menjadi antitesis dari pemikiran Poincare. Le Ray, di mana ia menyatakan, misalnya, bahwa: "Science it consist only of conventions and it is solely to this circumstance that it owes its apparent certainly." Le Ray juga menyatakan bahwa: "Science can't teach us the truth, it's can serve us only as a rule of action" (ilmu tidak mengerjakan tentang kebenaran, ia dapat menyajikan sejumlah kaidah dalam berbuat). Dari beberapa definisi ilmu di atas, maka kandungan ilmu berisi tentang; hipotesis, teori, dalil, dan hukum. Hakikat ilmu bersifat koherensi sistematis. Artinya, ilmu harus terbuka kepada siapa saja yang mencarinya. Ilmu berbeda dengan pengetahuan. Ilmu tidak pernah mengartikan kepingan-kepingan pengetahuan berdasarkan satu putusan tersendiri. Ilmu justru menandakan adanya satu keseluruhan ide yang mengacu kepada objek atau alam objek yang sama dan saling berkaitan secara objektif. Setiap ilmu bersumber di dalam kesatuan objeknya. Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan penalaran masing-masing orang. Ilmu akan memuat sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang sepenuhnya belum dimanfaatkan. Karena itu, ilmu pasti membutuhkan metodologi, sebab, dan kaitan logis. Ilmu menuntut pengamatan dan kerangka berpikir metodis. Alat bantu metodologis yang penting dalam konteks ilmu adalah terminologi ilmiah.
FILSAFAT ILMU
Filsafat ilmu adalah telaah kefilsafatan yang hendak menjawab permasalahan mengenai substansi dan hakikat ilmu, yang dikaji dari aspek ontologis, aspek 24 Harry Wahyu, Pengantar filsafat. cet: 1. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 34. 22 | Dr. Gunawan Adnan, M.A epistimologis serta pandangan aksiologisnya. Itu berarti, filsafat ilmu adalah bagian dari epistimologi (filsafat pengetahuan) ilmu, seperti kajian apa yang dibedah oleh ilmu. Bagaimana wujud yang mendasar dari objek tersebut. Serta bagaimana relevansi antara objek sebelumnya dengan kemampuan menghasilkan suatu pengetahuan. Bidang filsafat yang satu ini sering menjadi bahan kajian dalam sebuah karya yang berorientasi pada metode penelitian. Hal tersebut karena filsafat ilmu berjalan secara sistematis dan mendalam schingga topik sekecil apapun mampu dikembangkan dan dikaji lebih jauh. dengan khusus mengkaji substansi memahami manusia yang Filsafat ilmu adalah suatu cksplorasi kritis terkaitpemikiran yang ilmiah. Filsafat ilmu merupakan pengembangan atau pembandingan argumentasi masa lampau argumen masa sekarang yang didukung oleh berbagai bukti dan pendekatan ilmiah. Filsafat ilmu adalah penjabaran serta dugaan dan kecenderungan yang tidak lekang oleh pemikiran para ilmuwan yang mengkajinya. Filsafat ilmu dapat dipahami sebagai suatu konsep, disiplin, dan teori mengenai ilmu yang telah dianalisis serta sudah diklasifikasikan lebih lanjut.
PENUTUP
Hasil akhir dari artikel ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pendidik dan peserta didik serta dijadikan sebagai informasi di Pendidikan terutama pada mata kuliah filsafat umum. Dapat mermpermudah pemahaman mahasiswa mengenai materi Filsafat Ilmu Sebagai media pembelajaran yang modern dan alternatif yang dipaai untuk meningkatkan minat dan hasil belajar dalam pembelajaran Filsafat Ilmu. Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan pengembangan media pembelajaran multimedia interaktif untuk penelitian relevan selanjutnya pada Pendidikan guna meminimalisasi kebosanan serta menghilangkan kesan monoton dalam proses pembelajaran

  • Merdeka.com tidak bertanggung jawab atas hak cipta dan isi artikel ini, dan tidak memiliki afiliasi dengan penulis
  • Untuk menghubungi penulis, kunjungi situs berikut : zaldi-hafiz

KOMENTAR ANDA

Merdeka.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaksana dan etislah dalam menyampaikan opini. Pendapat sepenuhnya tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.

Artikel Lainnya