1. MERDEKA.COM
  2. >
  3. PLANET MERDEKA
  4. >
  5. SEJARAH

Ruang lingkup Filsafat dan Berfilsafat

Penulis : Ibrahim

14 Januari 2022 19:14

Ruang lingkup Filsafat dan Berfilsafat

RUANG LINGKUP FILSAFAT DAN BERFILSAFAT
Filsafat dan berfilsafat oleh Dilla Daratista, Ibrahim aditya febriandi dan Suhardi,S.Pd.I,MA Mahasiswa dan MahasiswiIAIDU Asahan semester 1 Tarbiyah MPI Reguler.

PENDAHULUAN

Anggapan umum pertama tentang filsafat adalah bahwa yang di bahas sebagai hal yang tinggi, sulit, abstrak dan tidak terkait dengan masalah kehidupan sehari-hari. Filosof sering di gambarkan sebagai seorang yang mempunyai IQ dan intuisi yang jauh melebihi tingkat rata-rata manusia. Filosof juga di pandang sebagai seorang yang tidak memperdulikan masalah sehari-hari, tetapi sibuk merenung dan memikirkan persoalan hakikat sesuatu yang sulit di cerna.
Sebenarnya, masalah-masalah pokok filsafat adalah persoalan yang pernah di pikirkan setiap orang. Dalam hidup, tentu kita pernah mempertanyakan, memikirkan dan merenungkan kenapa ini harus begini, dan tidak boleh begitu. Sedangkan itu harus begitu, tidak seharusnya begini. Jadi, secara umum, kita sudah ‘berfilsafat’ yaitu mengajukan pertanyaan filosofis, terlibat dalam perbincangan filosofis, dan memegangi sudut pandang filsafat tertentu. Perbedaan kita dengan para filosof yang akan kita pelajari dalam mata kuliah ini barangkali lebih dalam kadar, intensitas dan sistematika filsafatnya.
Langkah pertama studi ini adalah membina suatu konsepsi dan persepsi yang jelas tentang apa sebenarnya filsafat itu, maka akan di dekati tugas ini dengan menghimpun dan menganalisa tentang pemahaman masyarakat awam ketika istilah filsafat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dari sini, kita akan beranjak untuk memiliki beberapa definisi yang disusun oleh para ahli.
Untuk memfokuskan pembahasan maka dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut: untuk mengetahui Bagaimana anggapan umum mengenai Filsafat dan Berfilsafat, untuk mengetahui Apa Definisi Filsafat dan Berfilsafat, untuk mengetahui Apa Ciri-Ciri Filsafat.
PEMBAHASAN
Angapan Umum
Banyak orang memahami istilah ‘filsafat’ sebagai suatu teori umum tentang sesuatu, khususnya tentang bagaimana mendekati suatu masalah yang besar dan penting. Dalam media massa, contohnya, di nyatakan bahwa kelompok ini liberal, sementara kelompok itu konservatif. Keduanya mempunyai perbedaan pendapat tentang filsafat politik, dan di nyatakan bahwa para pendiri negara kita telah sepakat tentang suatu filsafat negara. Sistem pendidikan yang di terapkan di tanah air juga di dasarkan atas suatu filsafat. Dalam semua kasus ini, kata ’filsafat’ barangkali dapat di gantikan dengan ‘teori’. Secara lebih umum lagi, dalam perkataan sehari-hari, ‘filsafat’ lebih banyak bermakna ‘pemikiran’ atau ‘pendapat’. Pernyataan bahwa “ia berfilsafat begini,” maksudnya adalah “ia berpendapat seperti itu.”
(Nur a. Fadhil Lubis 2018:17)
Istilah ‘filsafat’ juga menunjuk kepada arti pandangan hidup (view of life) seseorang atau sekelompok orang, atau teori umum tentang bagai- mana kita harus mengatur hidup dan kehidupan kita. Di sini kelihatan bahwa bahwa filsafat dipahami sebagai sesuatu yang mempunyai orientasi praktis. Bahwa ‘hidup untuk makan’ atau ‘makan untuk hidup’ dikatakan suatu filsafat, karena secara praktis mempengaruhi orang yang meya- kininya. Dalam konteks ini, ‘mumpungisme’ juga termasuk ‘filsafat, dan sekarang banyak pengikutnya.
( Nura Fadhil Lubis 2018:22)
Di kalangan masyarakat, ‘filsafat’ kerap dikaitkan dengan keinginan untuk memikirkan suatu permasalahan secara lebih jauh dan mendalam, dan tidak terbatas pada tuntutan lahiriah. Siapa yang tidak sedih mengalami kegagalan setelah berupaya dan berkorban segala macam, tetapi nasehat yang datang “cobalah lebih filosofis melihatnya. Pasti ada hikmah yang tersembunyi di balik kegagalan ini!.” Atau juga, “berjuanglah dengan memakai filsafat garam, dan jangan pergunakan filsafat gincu!”, demikian nasehat para orang pintar.
Apakah maksud semua nasehat ini? Apakah perbedaan antara garam dengan gincu? Apa pula kaitannya dengan perjuangan? Maksudnya adalah bahwa garam tidak terlihat jika dimasukkan ke air dan ke makanan dan sebagainya, tetapi bisa merubah rasa dan citra benda yang di masukinya. Sedangkan gincu yang dipakai para wanita memang dibuat dengan warna menantang, norak dan supaya menarik perhatian, tetapi hanya lapisan tipis di atas bibir, tersintuh sedikit saja sudah terhapus dan ‘belepotan’. Maksud, nasehat itu, oleh karenanya, kalau berjuang yang penting bukan supaya terlihat orang lain dan di gembar-gemborkan, tetapi hasil dan dampaknya yang mendalam. Ungkapan ini juga bermakna bahwa yang lebih berharga dan luhur adalah perjuangan tanpa pamrih, tanpa upacara dan tanda jasa. Ini juga pemakaian kata filsafat di kalangan masyarakat.
Gambaran lain yang muncul ketika kata ‘filsafat’ dipakai dalam kehidupan sehari-hari bahwa ia menunjuk pada masalah-masalah yang mendalam, dan biasanya abstrak. Karenanya, para filosof digambarkan sebagai orang yang berilmu dan bijaksana (walau tidak jelas apa disiplin keilmuannya dan dari mana ia memperoleh kebijaksanaannya); para pemikir yang mengabaikan kenikmatan dunia dan masalah kehidupan. Tidak heran, jika orang merasa ‘takut’ dan merasa bahwa belajar filsafat adalah ‘berbahaya’.
Citra umum bahwa filsafat itu sulit dan rumit juga tergambar dari komentar (biasanya dengan nada sinis) masyarakat, ketika mereka menge- tahui bahwa Anda adalah orang yang ungkapannya sulit dipahami atau pemikirannya payah ditelusuri, lalu masyarakat berkata “wah, sudah berfilsafat pula dia sekarang!.” Akibatnya, beberapa pihak menyim- pulkan bahwa ketika pemikiran filsafat atau buku filsafat (termasuk dosen filsafat) sulit dipahami, berarti pemikiran dan buku filsafat itu lebih baik dan lebih hebat. Padahal, semua ini tidak benar.
Paparan tentang anggapan umum tentang filsafat ini kita akhiri dengan mendengar percakapan dua orang mahasiswa yang sedang berbincang di bawah pohon rindang di tengah kampus. “Apa artinya hidup ini?,” kata seorang yang baru saja kehabisan uang kiriman dari kampung dan cekcok dengan pacarnya. “Jangan bersedih bung...!, kata temannya. “Hidup ini ‘kan tidak lebih dari sandiwara.” “Hebat juga filsafatmu itu! Tetapi sebenarnya apa maksudmu?” “Itulah dia, mana pula bisa ku jelaskan sama kau...! Jawabnya mengelak. “Yang dapat nilai ‘baik’ mata kuliah filsafat ‘kan ente!” Makanya kalau kuliah itu jangan sering absen.”

Definisi
Sekarang, mari kita lanjutkan diskusi kita dengan menyimak berbagai definisi filsafat menurut para ahli. Tetapi, sebelumnya barangkali kita telusuri dulu arti etimologinya. Filsafat (dalam bahasa Arab adalah falsafah, dan dalam bahasa Inggris adalah philosophy) berasal dari bahasa Yunani. Kata ini terdiri dari kata ‘philein’ yang berarti cinta (love) dan ‘sophia’ kebijaksanaan (wisdom). Secara etimologis, filsafat berarti berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom) dalam artinya sedalam-dalamnya. Seorang filosof (philosopher) adalah pencinta, pendamba dan pencari kebijaksanaan.
Menurut catatan sejarah, kata ini pertama kali digunakan oleh Pythagoras, seorang filosof Yunani yang hidup pada 582-496 sebelum Masehi. Cicero (106-43 SM), seorang penulis Romawi terkenal pada zaman- nya dan sebagian karyanya masih dibaca hingga saat ini, mencatat bahwa kata ‘filsafat’ dipakai Pythagoras sebagi reaksi terhadap kaum cendekiawan pada masanya yang menamakan dirinya ‘ahli pengetahuan’ Pythagoras menyatakan bahwa pengetahuan itu begitu luas dan terus berkembang. Tiada seorangpun yang mungkin mencapai ujungnya. Jadi, jangan sombong menjuluki diri kita ‘ahli’ dan ‘menguasai’ ilmu pengetahuan, apalagi kebijaksanaan. Kata Pythagoras, kita ini lebih cocok dikatakan sebagai pencari dan pencinta pengetahuan dan kebijaksanaan, yakni filosof.
Pernyataan Pythagoras memang diabaikan dan diselewengkan oleh banyak pihak terutama oleh kaum ‘sophist’. Mereka seakan men- jadi orang yang paling tahu dan bijaksana. Mereka mempergunakan kefasihan bahasa dan kelihaian bersilat lidah untuk meyakinkan masya- rakat dan merebut pengaruh.
Kata ini kerap pula di gunakan oleh Socrates (470-399 SM). Socrates tidak saja terkenal karena pemikirannya yang brillian, tetapi juga karena ia banyak mengajukan pertanyaan. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada siapa saja yang di jumpainya, dan pertanyaan tersebut membuat sebagian orang menjadi lebih arif, lebih sadar diri, lebih pintar, tetapi ada yang merasa disudutkan dan dicemoohkan. Oleh sebagian penguasa dan tokoh masyarakat, pertanyaan-pertanyaan Socrates dianggap berbahaya dan subversif. Pertanyaannya yang menyadarkan banyak membuat generasi muda menjadi ragu terhadap status quo, murtad dan memberontak. Kemudian, ia diadili dan dijatuhi hukuman mati, bukan ditembak atau digantung, tetapi dengan minum racun. Ketika tidak ada seorang pun tega menyodorkan piala berisi racun kepadanya, maka ia rela menegaknya sendiri demi menunjukkan bahwa ia filosof yang agung, seorang yang cinta kebijaksanaan dan benci kemunafikan dan kejahilan (seharusnya kita bersyukur karena tidak harus berkorban seperti Socrates untuk bisa cinta ilmu kebijaksanaan dan benci kemunafikan-kejahilan).
Kamus Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminta merumuskan bahwa filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas hukum dan sebagainya daripada segala yang ada dalam alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti ‘adanya’ sesuatu.

Dalam Merriam Webster’s Collegiate Dictionary yang sering dirujuk kalangan terdidik berbahasa Inggris menyebutkan bahwa philosophy is all learning exclusive of technical precepts and practical arts; a discipline comprising as its core logic, aesthetic, ethics, metaphysic and epistemology; a search for a general understanding of values and reality by chiefly speculative rather than observational means; an analysis of the ground of and concepts expressing fundamental beliefs; a theory underlying or regarding a sphere of activity of thought; the most general beliefs, concepts and attidutes of an individual or group; calmess of temper and judgment.
Pernyataan tersebut sengaja tidak di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, karena ingin menggalakkan Anda menerjemahkannya sendiri. Kemampuan membaca bahasa asing (paling tidak Inggris) memang mutlak di perlukan, jika Anda ingin memperluas wawasan, termasuk filsafat. Jika Anda tertarik pada filsafat Islam, maka Anda harus menguasai bahasa.
Cukup banyak juga pengertian filsafat yang dihimpun oleh kamus ini. pengertiannya mencakup yang sangat tehnis seperti suatu disiplin keilmuan yang bahasan pokoknya meliputi logika, estetika, etika, metafisika dan epistemologi. Sampai kepada arti yang sepele seperti sikap seseorang yang ‘kalem’, meyakinkan dalam bertindak, menilai dan berpikir.
Jadi, apakah filsafat itu? Pertanyaan ini sama tuanya dengan filsafat itu sendiri, masih tetap diajukan dan telah dijawab dengan cara yang sangat beraneka ragam.
Menurut Plato (427-347 SM), filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang hakekat. Bagi Aristoteles (384-322 SM), filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang kebenaran yang meliputi logika, fisika, metafisika dan pengetahuan praktis. Menurut Bertrand Russel, filsafat adalah tidak lebih dari suatu usaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terakhir, tidak secara dangkal atau dogmatis seperti yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari dan bahkan dalam ilmu pengetahuan. Akan tetapi, secara kritis dalam arti kata: setelah segala sesuatunya diselidiki problema- problema apa yang dapat ditimbulkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang demikian itu, dan setelah kita menjadi sadar dari segala kekaburan dan kebingungan, yang menjadi dasar bagi pengertian kita sehari- hari ….(problemen der Philosophic, 1967: 7).
Menurut R.Beerling, bahwa filsafat adalah pemikiran-pemikiran yang bebas, di ilhami oleh rasio, mengenai segala sesuatu yang timbul dari pengalaman. (Er zijn eigenlijksheidvragen dalam Filosofic als science fiction, 1968: 44).
Karl Popper berkata “saya rasa kita semuanya mempunyai filsafat dan bahwa kebanyakan dari filsafat kita itu tidak bernilai banyak. Saya kira, bahwa tugas utama dari filsafat adalah untuk menyelidiki berbagai filsafat itu secara kritis, filsafat mana dianut oleh berbagai orang secara tidak kritis. (dikutip dari perdebatan televisi, 14 Nopember 1971).
Sementara itu, Immanuel Kant (1724-1804) merumuskan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang menjadi pokok pangkal dan puncak segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan yaitu:
Apa yang dapat kita ketahui? Metafisika;
Apa yang seharusnya dilakukan? Etika;
Sampai dimanakah harapan kita? Agama;
Apa hakikat manusia? Anthropologi.
Selain perbedaan, ada perbedaan dalam definisi-definisi di atas. Jika ditilik lebih teliti, sebagian besar menunjuk pada adanya ciri-ciri khas filsafat yang membedakannya dari yang lain. Barangkali cara yang lebih mudah mengenal ‘filsafat’ adalah dengan mengenal ciri- ciri tersebut. Bandingkan jika sekiranya kita mengenal ciri-ciri essensial seseorang, meskipun pakaiannya berubah warna, rambutnya berganti mode, sepatunya bertukar merek dan kacamatanya berganti bingkai, di mana saja dan kapan saja Anda berbicara dia, besar kemungkinan Anda masih menandainya. Anda tahu bahwa dia adalah dia, karena ciri-ciri hakikinya, bukan karena pakaian, hiasan atau klaim-nya.

Ciri-ciri Filsafat
Dari begitu banyak definisi yang dikutip, apakah ciri utama filsafat yang tetap hadir? Ciri itu adalah bahwa filsafat adalah upaya manusia untuk mendapatkan hakikat segala sesuatu. Apakah setiap upaya manusia menjawab persoalan hidup dapat dikatakan berfilsafat? Tentu tidak.
Ada tiga ciri utama hingga upaya itu dapat dikatakan filsafat.
Universal (menyeluruh), yaitu pemikiran yang luas dan tidak aspek tertentu saja.
Radikal (mendasar), yaitu pemikiran yang dalam sampai kepada hasil yang fundamental dan essensial.
Sistematis, yaitu mengikuti pola dan metode berpikir yang runtut dan logis meskipun spekulatif.
Beberapa penulis menambahkan ciri-ciri lain, yaitu:
Deskriptif, yaitu suatu uraian yang terperinci tentang sesuatu, menjelaskan mengapa sesuatu berbuat begitu.
Kritis, yaitu mempertanyakan segala sesuatu (termasuk hasil filsafat) dan tidak menerima begitu saja apa yang terlihat sepintas, yang dikatakan dan yang dilakukan masyarakat.
Analisis, yaitu mengulas dan mengkaji secara rinci dan menyeluruh sesuatu, termasuk konsep-konsep dasar yang dengannya kita memikirkan dunia dan kehidupan manusia.
Evaluatif, yaitu dikatakan juga normatif, maksudnya upaya sungguh- sungguh untuk menilai dan menyikapi segala persoalan yang dihadapi manusia. Penilaian itu bisa bersifat pemastian kebenaran, kelayakan dan kebaikan.
Spekulatif, yaitu upaya akal budi manusia yang bersifat perekaan, penjelajahan dan pengandaian dan tidak membatasi hanya pada rekaman indera dan pengamatan lahiriah.
Kegiatan berfilsafat manusia, sebagaimana telah di uraikan, adalah upaya pencaharian manusia untuk menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi secara mendalam dan menyeluruh. Apakah ciri-ciri permasalahan filosofis? Perhatikanlah pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
Pada temperatur berapa air membeku?
Apakah nama ibukota negeri Saudi Arabia?
Siapakah yang menjadi Presiden Pertama RI?
Apakah teori atom ada gunanya dalam menjelaskan proses fotosintesis?
Apakah agama itu?
Apakah tanggungjawab moral sejalan dengan determinisme yang diperpegangi sebagian besar penelitian ilmu alam?
Dari enam pertanyaan di atas, tiga pertanyaan pertama jelas bukan permasalahan filosofis. Hampir setiap orang cepat menandai bahwa pertanyaan pertama masuk wilayah ilmu fisika, pertanyaan kedua geografi dan yang ketiga ilmu sejarah. Jika kita ingin mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti kita tentunya, akan menemui ahli fisika, ahli geografi dan sejarawan atau pakar dari berbagai cabang ilmu.
Pertanyaan keempat mungkin agak meragukan. Apakah ini per- tanyaan untuk seorang botanis, ahli ilmu tumbuh-tumbuhan, atau untuk seorang pakar fisika? Kita mungkin tidak merasa pasti. Tetapi, kita dapat memastikan dan menandai bahwa ini adalah pertanyaan tentang ilmu. Keraguan kita bahwa kita tidak pasti tentang disiplin ilmu mana yang paling tepat menangani permasalahan ini. Untuk itu, barangkali kita sebut saja ini pertanyaan antar atau inter-disipliner.
Pertanyaan kelima dan keenam menyodorkan gambaran baru. Pertama, tampaknya tidak ada disiplin yang berkompeten menangani masalah agama secara menyeluruh dan mendalam. Apalagi masalah moral dan paham determinisme. Mungkin kita bisa mengatakan bahwa pertanyaan “apakah agama itu?” bisa dijawab oleh psikologi, antropologi, sosiologi, arkeologi atau atau bahkan oleh ekonomi dan filologi. Tetapi, jawaban mereka terbatas pada aspek tertentu dan dengan metode tertentu saja. Contohnya, Psikologi akan meniliknya dari sudut ilmu jiwa;, sedangkan sosiologi dari aspek interaksi dan dampak sosialnya. Demikian juga halnya dengan ilmu-ilmu lainnya. Dus, salah satu dari ciri khas pertanyaan filosofis adalah bahwa pertanyaannya tidak termasuk dalam wilayah keahlian ilmu-ilmu khusus, atau bahkan tidak termasuk dalam kombinasi wilayah beberapa ilmu. Ringkasnya, pertanyaan- pertanyaan filsafat bukanlah secara langsung bersifat keilmuan dan juga bukan antar-keilmuan.
Kedua, Gambaran lainnya adalah bahwa kita tidak bisa langsung membayangkan apa jenis pembuktian (evidence), jika memang ada, yang relevan untuk menjawabnya. Mengenai pertanyaan kelima, contohnya, kita menyangka bahwa penemuan tertentu dalam ilmu-ilmu psikologi, sosiologi, arkeologi, antropologi dan sejarah mungkin relevan. Tetapi yang mana? Dan bagaimana caranya kita menghimpun data yang relevan itu? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang terus menggayuti, dan inilah ciri dari pertanyaan filsafat yang menantang manusia yang sadar.
Ketiga, pertanyaan filsafat adalah pertanyaan yang jawabannya kemungkinan besar mempunyai konsekuensi yang dalam dan dampak yang luas bagi keseluruhan pandangan dunia kita. Jawaban apapun yang diberikan mempunyai implikasi yang menyentuh banyak bidang perhatian manusia. Misalnya, jika dalam pertanyaan keenam kita memutuskan bahwa determinasi tidak cocok dengan kebebasan moral, dan bahwa determinisme itu benar, maka kita tentu harus menanyakan apa konsekuensinya bagi pandangan kita tentang tanggung jawab moral manusia, bagi sistem pidana, bagi kedudukan hukum, bagi tingkah laku diplomasi internasional, dan bagi perkiraan tingkah laku kita dan manusia lainnya.
Kita bisa terus memperpanjang daftar bidang-bidang kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung, terkait dengan jawaban apa saja yang diberikan pada pertanyaan ini. Poin yang sama timbul bagi permasalahan filosofis lain yang telah dipikirkan dan diperdebatkan berabd-abad lamanya. Tetapi barangkali satu contoh sederhana itu bisa memadai. Pertanyaan filosofis adalah pertanyaan yang jawabannya berkemungkinan mempunyai konsekuensi besar terhadap pandangan dunia secara menyeluruh, konsekuensi yang mungkin tidak atau kurang di sadari ketika permasalahan itu di angkat pertamakalinya.
Cara lain untuk mempertegas poin di atas ini adalah dengan menyatakan bahwa pertanyaan filsafat adalah pertanyaan yang secara logis bersifat fundamental. Maksudnya, jawaban terhadap pertanyaan itu pada tingkat tertentu dapat di jawab pada derajat yang kurang fundamental, kurang logis, hanya bersifat lahirlah atau aspektual. Artinya, hanya memiliki satu atau sejumlah aspek saja dan tidak bersifat universal.
Akhirnya, pertanyaan filsafat secara khas merupakan pertanyaan yang sangat umum (very broad generality). Jadi, bukan permasalahan individual. Pertanyaan filosofis apakah manusia bebas hingga membuatnya secara moral wajib bertanggung jawab? bukanlah pertanyaan tentang kebebasan individu tertentu (yang mungkin di ajukan seorang psikoanalis) atau tentang sekelompok warga negara (pertanyaan khas ilmuan politik). Akan tetapi, ini adalah pertanyaan tentang manusia seluruhnya. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita tidak pengkaji sejarah kasus individual atau keberhasilan politik sekelompok orang. Tetapi, kita berupaya dengan tekun meneliti konsep kebebasan yang terkait dengan pelekatan tanggung jawab moral pada manusia. Kemudian kita mempertimbangkan apakah kualitas atau kekuatan ini (atau apapun yang di maksudkan dengan ‘kebebasan’ itu) dapat di lekatkan pada manusia, dan jika memang bisa, dalam keadaan yang bagaimana.
Ciri-ciri pertanyaan filosofis ini semuanya berasal dari kenyataan bahwa tujuan umum penyelidikan filsafat adalah untuk mencapai gambaran lengkap, konsep realita yang menyeluruh dan dapat diterima sebagai kebenaran. Setiap permasalahan filsafat adalah bagian integral dari upaya yang lebih luas ini. Hanya karena kita tertarik pada kenyataan menyeluruh membuat kita tertarik mengkaji permasalahan khususnya.

Cabang-cabang Filsafat
Pertanyaan apa saja yang memiliki ciri-ciri di atas merupakan pertanyaan filsafat. Para filosof Barat telah membahas pertanyaan-pertanyaan seperti ini sepanjang sejarah, sehingga penjelajahan filsafat telah mendapatkan suatu struktur yang cukup tertata. Hasilnya, sekarang akan di bicarakan berbagai ‘jurusan’ penyidikan filsafat atau berbagai tipe pertanyaan filsafat. Tentu saja tidak ada kata final mengenai tipologi ini, tetapi ia mempunyai nilai sebagai suatu kerangka rujukan bagi seseorang yang sedang berusaha menjelajahi lapangan filsafat.(Noor Idham 2018:25)
Banyak pertanyaan filsafat merupakan pertanyaan tentang logika (logical questions). Tidak mudah mendefenisikan ‘logika’ yang bisa mencakup seluruh hal yang di bahas oleh para pakar logika. Meskipun demikian, definisi logika sebagai suatu pencarian mengenai prinsip-prinsip, sehingga dengan mempelajari logika, seseorang dapat membedakan antara penalaran yang benar dan tidak benar. Salah satu contoh untuk mewakili pertanyaan filosofis dari jenis ini adalah: Apakah artinya mengatakan bahwa “suatu argumen itu ‘valid’ (sah)?” “Bagaimanakah kita dapat melakukan test keabsahan suatu argumen?.”
Sebagian pertanyaan filsafat memiliki kaitan dengan permasalahan metafisika. Terkadang, permasalahan ini disebut juga sebagai ontologi. Biasanya, ontologi didefinisikan sebagai suatu penyelidikan tentang karakter segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya (an investigation concerning the character of everything that is insofar as it is). Diasumsikan bahwa semata-mata ‘adanya’ (to be) sesuatu-bukan adanya manusia, rumah atau pohon-mesti memiliki suatu ‘struktur’ tertentu. Ontologi adalah upaya untuk memastikan apa ‘struktur’ tertentu. Pertanyaan: ‘apakah sesuatu itu ada, meskipun tidak tertangkap persepsi manusia? adalah pertanyaan ontologis.’ Kalimat “setiap benda adalah suatu substansi yang memiliki setidaknya satu sifat adalah pertanyaan ontologis.” Beberapa filosof, meskipun mereka menerima pemikiran metafisika masa lalu subjek kajian sebagai sejarah, berpendapat bahwa tidaklah mungkin mengangkat pertanyaan sejenis ini, dan lebih tidak mungkin menawarkan jawaban yang bisa di pertahankan.
Jenis umum ketiga dari pertanyaan filsafat biasanya di juluki epistemologi. Epistemologi adalah bidang filsafat yang berupaya memastikan hakikat dan batasan pengetahuan manusia. Dalam kondisi bagaimanakah kita dapat dengan tepat di katakan mengetahui ini dan itu? Apakah seluruh pengetahuan tentang dunia nyata timbul dari pengalaman atau apakah kita memiliki pengetahuan yang pada tingkat tertentu bebas dari pengalaman? Jika seluruh pengetahuan memang benar timbul dari peng- alaman, dan jika pengalaman hanya dapat menghasilkan tingkat probabilitas (kemungkinan besar) yang beraneka, bagaimana mungkin mencapai kepastian absolut dari apa yang kelihatannya telah dicapai dalam logika dan matematika? Ini adalah beberapa contoh mewakili pertanyaan epistemologi yang diminati banyak filosof.
Jenis keempat dari pertanyaan filsafat secara tehnis disebut aksilogi, meskipun istilah axiologi tidak begitu umum di pakai di kalangan filosof pada periode belakangan. Sebagai gantinya, para ahli berbicara tentang teori nilai dan tentang pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam konteks ini terkait dengan hakikat nilai. Contoh khas jenis ini seperti: Apakah keindahan dan kebaikan itu kualitas yang secara obyektif hadir atau absen dalam benda? Jika demikian, bagaimana kehadiran atau keabsenan mereka dipastikan? Jika tidak, apakah itu semua hanya sekedar sentimen dalam pikiran manusia yang menilai bahwa sesuatu itu baik atau buruk, indah atau jelek? Dan jika bukan begitu, apakah status keindahan dan kebaikan? Cabang aksilogi yang membahas nilai-nilai yang terkait khusus dengan seni disebut estetika. Cabang aksilogi yang berkenaan dengan hakikat baik dan buruk, benar dan salah, disebut etika atau filsafat moral.
Sebegitu jauh kita sudah membahas berbagai tipe pertanyaan filosofis, yang akhirnya membentuk bidang-bidang penyiasatan filsafat. Mari sekarang kita lihat bagaimana para ahli membagi pembidangan filsafat ini. Kita ambil saja dua saja diantara berbagai pembagian yang banyak itu.
Harry Hamersma membagi cabang-cabang filsafat menjadi empat, yakni:
1. Filsafat tentang pengetahuan:
a. Epistemologi
b. Logika
c. Kritik Ilmu
2. Filsafat tentang kenyataan menyeluruh:
a. Metafisika umum (ontologi)
b. Metafisika khusus
a) teologi metafisika
b) anthropologi
c) kosmologi
3. Filsafat tentang tindakan:
a. Etika
b. Estetika
4. Sejarah filsafat.
Di samping itu, masih menurut Hamersma, ada cabang-cabang filsafat khusus, antara lain: filsafat seni, filsafat kebudayaan, filsafat pendidikan, filsafat sejarah, filsafat bahasa, filsafat hukum, filsafat agama, filsafat sosial, dan filsafat politik. Menurut The Liang Gie, filsafat dibagi menjadi:
1. Metafisika (filsafat tentang hal ada)
2. Epistemologi (teori pengetahuan)
3. Metodologi (teori tentang metode)
4. Logika (teori tentang penyimpulan)
5. Etika (filsafat tentang pertimbangan moral)
6. Estetika (filsafat tentang keindahan)
7. Sejarah filsafat
Berdasarkan pembagian cabang filsafat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tampak demikian luas bidang penelaahan filsafat itu. Padahal, cabang-cabang tersebut masih dapat diperinci lagi menjadi ranting-ranting, dan sebagiannya bahkan berkembang menjadi bidang filsafat yang berpengaruh. Hal ini kembali kepada ciri filsafat bahwa ia bersifat umum, universal dan ultimate (tertinggi). Jadi, ilmu apa pun difinalkan dengan pembahasan fundamen filosofis dari ilmu dan disiplin itu. Setelah Anda mengenal dan menguasai ilmu hukum, contohnya, akhirnya Anda diperkenalkan dengan filsafat hukum.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa filsafat harus diajarkan paling akhir, karena mengenal dan menyadari permasalahan fisolofis dari ilmu yang sedang Anda pelajari, membuat Anda lebih siap, lebih ingin tahu dan lebih terarah membahasa materi yang Anda terima. Manfaat lain adalah filsafat membimbing Anda menjadi pengkaji dan ilmuwan yang kritis dan inovatif, bukan saja dalam mengkaji ilmu yang sedang Anda tekuni, tetapi juga dalam mengharungi kehidupan dan menghadapi permasalahan.(Marhon Ali 2019:49)

Kegunaan Filsafat
Untuk apa kita harus belajar filsafat? Kita kan tidak kepingin jadi filosof. Selain untuk mencukupi SKS dan memenuhi ketentuan akademis, apa memang ada kegunaan lain dari filsafat? Jika saya ingin mengetahui jawaban filosofis terhadap berbagai persoalan hidup dan permasalahan dunia, ternyata filsafat bukannya dapat menawarkan jawaban yang pasti dan jalan keluar yang aman. Malah filsafat lebih banyak merupakan aktivitas olah otak (sebagai lawan dari olahraga) yang mempersoalkan jawaban yang ada, bahkan pertanyaan yang diajukan.
Apa faedah lain dari filsafat? Sadar atau tidak, kita berpikir, merenung, memilih dan bertingkah laku dan bertindak berdasarkan keyakinan yang kita panuti dan nilai merupakan permasalahan yang tidak tuntas dijawab hanya dengan tradisi, konvensi, ilmu, atau gabung semuanya. Pencarian dan penuntasan masalah itu akan banyak terbantu dengan filsafat. Filsafat itu adalah suatu bagian dari keyakinan dan tindakan kita, meskipun kebanyakan hal ini tanpa kita sadari. Jika kita menyadari, maka tentu akan lebih baik. Membuat Anda lebih sadar ini merupakan filsafat.
Barangkali kegunaan lain filsafat adalah kemampuannya untuk memperluas bidang-bidang keinsafan kita. Banyak orang memiliki pengetahuan yang banyak tetapi picik, mempunyai keterampilan yang berharga, tetapi tidak berwawasan, dan berkuasa tetapi tidak berprikemanusiaan. Mereka tidak insyaf. Mereka laksana katak dalam tempurung. Karena tersungkup dalam ruang kecil pengap, mereka menyombongkan diri dan mengira bahwa merekalah paling pintar, paling terampil, paling berkuasa, paling ahli, dan paling segalanya. Filsafat akan mampu menguakkan awan tebal yang meliputi surya kearifan, serta mampu membebaskan mereka dari tempurung yang menyesatkan itu’. Ketidakmampuan filsafat memberikan jawaban pasti terhadap permasalahan kehidupan akan membuat kita sadar, insyaf dan tidak sombong atas keterbatasan manusia sebagai manusia dengan belajar filsafat kita akan lebih manusiawi.

PENUTUP
Kesimpulan
Pada tahap awal kelahuran filsafat sesungguhnya mencakup seluruh ilmu . pengetahuan, kamudian berkembang sedemikian rupa menjadi semakin rasional dan sistematis. Seiring dengan perkembangan itu, wilayah pengetahuan manusia semakin luas dan bertambah banyak, tetapi juga semakin mengkhusus atau spesifik. Lalu lahirlah berbagai disiplim ilmu pengetahuan yang satu persatu mulai memisahkan diri dari filsafat. Namun kendati pun demikian, tidak berarti filsafat telah menjadi begitu miskin selungga tinggal terarah hanya kepada satu permasalahan pokok, dengan wilayah pengetahuan yang semakin sempit dan pada suatu saat akan lenyap sama sekali. Kenyataannya, masalah-masalah pokok yang dihadapi filsafat tak pernah berkurang. Karena banyaknya masalah pokok yang harus dibahas dan dipecahkan, diantara tugas filsafat antara lain termasuk melaksanakan pemikuan rasional analisis dan teoritis (bahkan spekulatif) secara mendalam dan mendasar melalui proses pemikiran yang sistematis, logidydan radikal (sampa keakar-akarnya), tentang problema bidup dan keludupan manusia
Filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.
Jadi kami merasa ilmu filsafat ini ilmu yang tinggi yang tentu juga perlu pemahaman tinggi untuk memahaminya.
Jika ada kesalahan atau ketidaksamaan pendapat dalam makalah ini pembaca dapat memberikan masukan atau kritikan yang membangun pada kami.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Yogyakarta: Rajawali Press, 1995.
Alisyahbana, S. Takdir. Pembimbing ke Filsafat Metafisika. Jakarta: DianRakyat, 1981.
Anshari, Endang Syaifuddin. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina
Ilmu, 1981.
Audi, Robert (ed). The Cambridge Dictionary of Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press, 1995.
Ayer. A. J. Ohiloshophy In The Twentieth Century. New York: Vintage Hooks, 1984.
Bakker, Anton. Metode-metode Filsafat. Yogyakarta: BP. Fakultas Filsafat, UGM, 1995.
Rasjidi. M dan Harifuddin Cawidu. Islam untuk Disiplin llmu Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang, 1998.
Runes, Dagobert D. Philosophy for Everyman. Totowa, NJ: Littlefield.Adams and Co., 1974.
Russell. Bertrand. History of Western Philosophy. London: George Allen and Unwin Ltd, 1974.
Sahakian, William S. History of Philosophy. New York: Barnes & Noble Books, 1968.


  • Merdeka.com tidak bertanggung jawab atas hak cipta dan isi artikel ini, dan tidak memiliki afiliasi dengan penulis
  • Untuk menghubungi penulis, kunjungi situs berikut : ibrahim

KOMENTAR ANDA

Merdeka.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaksana dan etislah dalam menyampaikan opini. Pendapat sepenuhnya tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.

Artikel Lainnya