1. MERDEKA.COM
  2. >
  3. PLANET MERDEKA
  4. >
  5. SEJARAH

Tradisi Bali di Zaman Penjajahan Belanda

Penulis : Yuli Astutik

2 Juli 2021 15:02

Planet Merdeka - Permulaan 1960-an, masih banyak perempuan di pedesaan di Bali yang menjalankan aktifitas sehari-hari dengan telanjang dada, di jalanan, di gang-gang antardesa, di pasar, sampai di sawah saat mereka bekerja. Dilansir dari SuaraBali.id.

Dikutip dari BeritaBali.com, di zaman penjajahan, untuk alasan moralitas, para tuan tanah memerintahkan para perempuan untuk menutupi dada mereka supaya tentara Belanda yang berseliweran di mana-mana tidak tergoda.

Tetapi di waktu yang sama, reklame turis mengiklankan pakaian (atau mungkin lebih tepatnya telanjang dada) perempuan Bali sebagai daya tarik pariwisata.

Sampai sekitar akhir Perang Dunia I, perempuan Belanda di jajahan mereka berpakaian dengan gaya Eropa meskipun suhu tropis tidak sesuai. Baju dikancing sampai leher, pakai korset dan rok panjang.

2 dari 5 halaman

Di Jawa dan daerah lain di Indonesia, para penjajah berhasil menjalankan aturan berpakaian bagi perempuan Indonesia. Mereka lazimnya memakai kain dan kebaya.

Di akhir abad ke-19, penjajah berusaha menerapkan aturan di Bali agar perempuan Bali menutupi dada mereka. Zaman Victoria, kulit yang telanjang dianggap tak pantas dan menggoda.

3 dari 5 halaman

Tetapi menurut tradisi Bali, terutama di bagian utara pulau, cuma perempuan dan gadis gampangan yang berpakaian lengkap.

Dada yang tertutup justru menandakan prostitusi. Dengan demikian, Belanda tak berhasil menerapkan peraturan mereka di Bali.

4 dari 5 halaman

Seperti ditulis dalam buku "A Magic Gecko", karya Horst Henry Geerken, Presiden Soekarno kemudian mengambil keputusan pada akhir 1950-an, bahwa dada perempuan harus ditutup di Pulau Bali.

Dalam pandangannya, turis asing tak melakukan apapun selain menatap dada perempuan Bali yang cantik.

Ini adalah pengabaian terhadap kecantikan alam dan kebudayaan Pulau Bali.

Sepanjang 1960-an, terdapat banyak poster di tepi jalan di Bali. Gambarnya adalah perempuan Bali dalam busana sederhana dengan pesan bahwa karena adanya turis asing, dada harus ditutup demi alasan moral. Pada mulanya sedikit sekali perempuan yang memperhatikan.

Sebuah fenomena aneh kemudian terjadi. Setelah mereka menutupi tubuh bagian atas, penyakit TBC menjamur.

Perempuan yang sudah menutupi dadanya dengan selembar kain, kemudian meninggalkannya.

Mereka kemudian mengenakannyaa untuk menutupi kepala dan mata ketika berpapasan dengan seorang asing.

Tetapi para perempuan tua tetap saja berjalan kemana-mana, di desa dan di sawah, ketika bersama keluarga, di rumah berdinding tinggi, dengan bertelanjang dada.

5 dari 5 halaman

Pada pertengahan 1920-an, seorang penulis perjalanan, Louis Cuperus, menulis:

Di sini, di Bali, para seniman berkesempatan mengamati bentuk-bentuk indah, yang belum terdistorsi oleh gaya hidup apapun yang tidak alami.

Mereka nyaris tak tertutup karena perempuan Bali membiarkan tubuh bagian atasnya tak tertutup.

Sekelompok perempuan di Bali yang bagian bawahnya tertutup dengan sarung batik bercorak artistik dan warna-warninya hidup tampak seperti sekelompok patung perunggu yang sedang bergerak dan pasti akan menyenangkan pencinta estetika manapun.

  • Merdeka.com tidak bertanggung jawab atas hak cipta dan isi artikel ini, dan tidak memiliki afiliasi dengan penulis
  • Untuk menghubungi penulis, kunjungi situs berikut : yuli-astutik

KOMENTAR ANDA

Merdeka.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaksana dan etislah dalam menyampaikan opini. Pendapat sepenuhnya tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.

Artikel Lainnya