BI Terbuka Kerja Sama QRIS dengan AS, Tapi Ada Syaratnya!
Bank Indonesia (BI) menyatakan kesiapan berkolaborasi dengan AS terkait QRIS, namun menekankan pentingnya kesiapan AS dalam kerja sama sistem pembayaran digital ini.
Bank Indonesia (BI) menyatakan kesediaannya untuk bekerja sama dengan Amerika Serikat (AS) dalam penggunaan QRIS. Pernyataan ini disampaikan Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, sebagai respon atas kekhawatiran AS terkait hambatan perdagangan, khususnya di sektor keuangan digital yang melibatkan QRIS. Kesiapan kerja sama ini, menurut Destry, bergantung pada kesiapan masing-masing pihak untuk berkolaborasi dalam sistem pembayaran digital.
Destry Damayanti menjelaskan bahwa Indonesia tidak membeda-bedakan negara dalam menjalin kerja sama terkait QRIS dan sistem pembayaran cepat lainnya. Pernyataan "Kalau Amerika siap, kita (Indonesia) siap, kenapa tidak (untuk kerja sama)?" yang disampaikan Destry saat menghadiri acara "Edukasi Keuangan bagi Pekerja Migran Indonesia", menegaskan komitmen Indonesia untuk membuka peluang kolaborasi internasional dalam sektor ini. Namun, kesiapan AS menjadi kunci utama terwujudnya kerja sama tersebut.
Meskipun AS sebelumnya telah menyatakan kekhawatiran terkait QRIS melalui Peraturan BI No. 21/2019, Destry menekankan bahwa penggunaan kartu kredit Visa dan Mastercard masih mendominasi pasar Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pembayaran digital Indonesia tetap terbuka dan mengakomodasi sistem pembayaran internasional yang telah ada. Oleh karena itu, kerja sama dengan AS dalam konteks QRIS dinilai masih memungkinkan dan terbuka untuk dijajaki.
Permasalahan QRIS dan Hambatan Perdagangan
Sebelumnya, Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) telah merilis daftar hambatan perdagangan di beberapa negara, termasuk Indonesia. Salah satu poin yang disoroti adalah penggunaan QRIS di Indonesia. USTR mengkritik kurangnya keterlibatan pemangku kepentingan internasional dalam proses pembuatan kebijakan kode QR BI. Dalam dokumennya, USTR menuliskan bahwa perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank, merasa khawatir karena tidak dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan dan tidak diberi kesempatan untuk memberikan masukan.
Selain QRIS, AS juga menyoroti beberapa peraturan BI lainnya yang dianggap sebagai hambatan perdagangan, seperti penerapan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) melalui Peraturan BI No. 19/08/2017. Peraturan ini membatasi kepemilikan asing pada perusahaan yang ingin memperoleh izin switching untuk berpartisipasi dalam GPN, serta melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi kartu debit dan kredit ritel domestik.
USTR juga mencatat Peraturan BI No. 19/10/PADG/2017 yang mewajibkan perusahaan asing untuk bermitra dengan penyedia switching GPN Indonesia yang berizin. Perjanjian kemitraan ini harus disetujui oleh BI dan mempertimbangkan dukungan perusahaan mitra asing terhadap pengembangan industri di Indonesia, termasuk transfer teknologi. Aturan-aturan ini dinilai oleh AS sebagai hambatan bagi perusahaan-perusahaan AS untuk masuk ke pasar Indonesia.
Negosiasi Tarif dan Kerja Sama Bilateral
Terkait dengan hambatan perdagangan ini, Pemerintah Indonesia dan USTR sepakat untuk segera membahas negosiasi tarif secara intensif dan menyiapkan kerangka kerja sama dalam waktu 60 hari. Kesepakatan ini dicapai dalam pertemuan tingkat Menteri antara Delegasi RI yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan pihak USTR yang dipimpin Ambassador Jamieson Greer di Washington DC.
Airlangga Hartarto menekankan pentingnya penyelesaian pembahasan dalam dua bulan agar implementasi kesepakatan dapat segera dilakukan. Dalam pertemuan tersebut, kedua pihak membahas berbagai isu penting, termasuk hambatan non-tarif, perdagangan digital, tarif sektoral, dan akses pasar. Langkah cepat ini menunjukkan komitmen kedua negara untuk mengatasi hambatan perdagangan dan meningkatkan kerja sama ekonomi bilateral.
Kesimpulannya, BI menyatakan kesiapannya berkolaborasi dengan AS terkait QRIS, namun menekankan pentingnya kesiapan AS. Pertemuan antara Indonesia dan USTR menunjukkan komitmen untuk mengatasi hambatan perdagangan dan memperkuat kerja sama ekonomi. Ke depannya, kolaborasi yang saling menguntungkan diharapkan dapat terwujud antara kedua negara.