BI Terbuka untuk Kerja Sama QRIS dengan AS, Meski Ada Kekhawatiran Perdagangan
Bank Indonesia (BI) menyatakan kesiapan bermitra dengan AS terkait QRIS, meskipun AS sebelumnya menyoroti hambatan perdagangan di sektor keuangan Indonesia.
Jakarta, 21 April 2024 - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Destry Damayanti, menyatakan kesiapan berkolaborasi dengan negara mana pun, termasuk Amerika Serikat (AS), dalam penggunaan metode pembayaran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).
Pernyataan ini disampaikan sebagai tanggapan atas pertanyaan pemerintah AS mengenai hambatan perdagangan, termasuk QRIS di sektor keuangan Indonesia. Damayanti menekankan bahwa kerja sama internasional dalam hal QRIS dan sistem pembayaran cepat lainnya sangat bergantung pada kesiapan bersama antar negara.
"Jika kedua negara siap, mengapa kita tidak bekerja sama?" ujarnya dalam sebuah acara pada hari Senin. Pernyataan tersebut menunjukkan sikap terbuka BI terhadap potensi kerja sama dengan AS, meskipun terdapat kekhawatiran dari pihak AS terkait regulasi QRIS Indonesia.
Kerja Sama QRIS dan Hambatan Perdagangan
Lebih lanjut, Damayanti mencatat bahwa instrumen pembayaran non-tunai lainnya, seperti kartu kredit yang dikeluarkan oleh perusahaan jasa keuangan AS, Visa dan Mastercard, masih tetap diminati dan mendominasi sektor pembayaran non-tunai di Indonesia. "Sampai sekarang, kartu kredit Visa dan Mastercard masih mendominasi di Indonesia. Tidak ada masalah dengan itu," tegasnya.
Sebelumnya, Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) merilis daftar hambatan perdagangan di beberapa negara, termasuk Indonesia. USTR menyoroti penggunaan QRIS melalui penerbitan Peraturan BI No. 21 tahun 2019. Dalam dokumen tersebut, USTR menyatakan keprihatinan perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank, karena tidak dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan kode QR BI.
USTR menulis, "Perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank, menyatakan keprihatinan bahwa selama proses pembuatan kebijakan kode QR BI, pemangku kepentingan internasional tidak diinformasikan tentang sifat perubahan potensial atau diberi kesempatan untuk menjelaskan pandangan mereka tentang sistem tersebut, termasuk bagaimana sistem tersebut dapat dirancang untuk berinteraksi dengan sistem pembayaran yang ada secara paling lancar."
Selain QRIS, AS juga menyoroti beberapa masalah lain yang dianggap sebagai hambatan perdagangan, termasuk implementasi Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) di Indonesia melalui Peraturan BI No. 19/08/2017. Regulasi ini membatasi kepemilikan asing sebesar 20 persen pada perusahaan yang ingin mendapatkan lisensi switching untuk berpartisipasi dalam GPN, sehingga menghambat penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi kartu debit dan kredit ritel domestik.
Regulasi BI dan Persyaratan Kemitraan
Dokumen USTR juga membahas Peraturan BI No. 19/10/PADG/2017, yang mewajibkan perusahaan asing untuk membentuk perjanjian kemitraan dengan penyedia switching GPN Indonesia yang berlisensi untuk memproses transaksi ritel domestik melalui GPN. BI harus menyetujui perjanjian kemitraan, dan persetujuan tersebut juga mempertimbangkan apakah perusahaan mitra asing mendukung pengembangan industri di Indonesia, termasuk melalui transfer teknologi.
Meskipun terdapat kekhawatiran AS terkait regulasi tersebut, BI tetap optimis dan terbuka untuk kerja sama internasional. Sikap ini menunjukkan komitmen BI untuk terus mengembangkan sistem pembayaran di Indonesia, sambil tetap mempertimbangkan kepentingan nasional dan internasional.
BI tampaknya berupaya untuk menyeimbangkan antara pengembangan sistem pembayaran domestik dan kerja sama internasional. Keberadaan pemain internasional seperti Visa dan Mastercard di pasar Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia masih terbuka untuk investasi asing, meskipun dengan regulasi yang bertujuan untuk melindungi industri domestik.