DPR Ingatkan KP2MI: Hati-Hati Buka Moratorium PMI ke Arab Saudi!
Anggota DPR mengingatkan KP2MI untuk berhati-hati membuka moratorium PMI ke Arab Saudi, karena dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru jika tanpa persiapan matang dan perlindungan hukum yang kuat bagi pekerja migran Indonesia.
Jakarta, 29 April 2024 - Anggota Komisi IX DPR RI, Neng Eem Marhamah Zulfa, menyampaikan peringatan serius kepada Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) terkait rencana membuka kembali moratorium pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Arab Saudi. Peringatan ini disampaikan menyusul rencana pemerintah untuk mencabut moratorium yang telah berlaku sejak tahun 2011.
Menurut Eem, membuka moratorium bukan hanya sekadar solusi menghilangkan masalah, tetapi justru berpotensi menciptakan masalah baru jika pemerintah tidak mempersiapkan langkah-langkah yang matang dan komprehensif. "Membuka moratorium bukan semata menghilangkan masalah, namun akan membuka potensi masalah kembali jika pemerintah tidak matang," tegas Eem dalam keterangan tertulisnya.
Anggota DPR ini menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap sistem perlindungan PMI sebelum moratorium dicabut. Selama moratorium berlangsung, tercatat sekitar 185 ribu PMI tetap berangkat ke Arab Saudi secara ilegal. Fakta ini, menurut Eem, menjadi bukti nyata kelemahan pengawasan dan celah besar dalam sistem migrasi tenaga kerja Indonesia.
Potensi Risiko dan Perlindungan Hukum
Eem mengungkapkan kekhawatirannya terhadap nasib PMI, khususnya perempuan yang bekerja di sektor domestik di Arab Saudi. Mereka seringkali menjadi korban perlakuan tidak adil, termasuk pelecehan seksual dan kekerasan lainnya. "Banyak sekali kasus terjadi pada pekerja sektor domestik di luar negeri, khususnya para pekerja perempuan yang mengalami perlakuan tidak adil, seperti halnya pelecehan seksual atau tindakan kekerasan lainnya," ujarnya.
Lebih lanjut, Eem menyoroti lemahnya perlindungan hukum bagi PMI yang mengalami masalah di Arab Saudi. Seringkali, hukum Arab Saudi yang berlaku, membuat posisi PMI menjadi rentan. "Pekerja sektor domestik Indonesia kerap dianggap hanya menjadi budak. Jika terjadi masalah hukum, maka hukum yang berlaku adalah hukum di Arab Saudi. Ini membuktikan negara kita tidak mampu bernegosiasi dengan Pemerintah Arab Saudi untuk melindungi Pekerja Migran Indonesia," ungkap Eem.
Oleh karena itu, Eem mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali rencana pembukaan moratorium, terutama untuk pekerja perempuan. Pembukaan moratorium hanya dibenarkan jika terdapat jaminan perlindungan hukum yang kuat, misalnya melalui kesepakatan hukum bilateral atau hukum internasional yang melindungi hak-hak PMI.
Diplomasi dan Perbaikan Sistem
Eem menambahkan, pemerintah perlu meningkatkan upaya diplomasi untuk mencapai kesepakatan yang lebih melindungi PMI di Arab Saudi. Tanpa adanya pembenahan sistem dan jaminan perlindungan yang komprehensif, penghapusan moratorium dikhawatirkan hanya akan mengulang permasalahan yang sama di masa lalu. "Pemerintah perlu mengupayakan jalur diplomasi yang jelas demi menciptakan kesepakatan yang lebih melindungi para PMI. Tanpa pembenahan yang serius, menurut dia, penghapusan moratorium justru hanya akan mengulang pola lama," imbuhnya.
Kesimpulannya, langkah hati-hati dan persiapan yang matang sangat penting sebelum pemerintah memutuskan untuk membuka moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi. Perlindungan hukum yang kuat dan diplomasi yang efektif menjadi kunci keberhasilan dalam melindungi hak-hak dan keselamatan PMI di negara tujuan.
Pemerintah perlu memastikan bahwa sistem perlindungan PMI telah diperbaiki secara signifikan sebelum membuka kembali keran pengiriman PMI ke Arab Saudi. Hal ini penting untuk mencegah terulangnya kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dan eksploitasi terhadap PMI di masa mendatang.