DPR Usul Atur Pemanfaatan Kuota Haji Negara Sahabat dalam Revisi UU Haji
Revisi UU Haji diusulkan untuk mengatur pemanfaatan kuota haji negara sahabat guna mengatasi antrean panjang jemaah haji Indonesia, seperti di Bantaeng yang mencapai 49 tahun.
Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, mengusulkan agar pemanfaatan kuota haji negara sahabat diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Usulan ini muncul sebagai upaya untuk mengatasi masalah antrean haji yang panjang di Indonesia, dengan beberapa daerah bahkan memiliki daftar tunggu hingga puluhan tahun.
Marwan menyampaikan usulan tersebut dalam Diskusi Publik yang digelar DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta. Ia menjelaskan bahwa pengaturan dalam UU akan memfasilitasi komunikasi antara kepala badan dengan negara-negara sahabat terkait penggunaan kuota haji tersebut. "Kalau ini bisa kita masukkan dalam pasal, nanti kepala badan akan berkomunikasi dengan negara-negara sahabat, kemungkinan untuk memakai itu," ungkap Marwan.
Salah satu contoh permasalahan yang dihadapi adalah Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, yang memiliki waktu tunggu haji hingga 49 tahun. Pemanfaatan kuota haji negara sahabat diharapkan dapat menjadi solusi untuk mengurangi waktu tunggu yang begitu lama bagi calon jemaah haji Indonesia.
Revisi UU Haji dan Seleksi Jemaah
Marwan juga menekankan pentingnya revisi UU Haji untuk mengatur kriteria calon jemaah yang berhak memanfaatkan kuota haji negara sahabat. Ia menyarankan agar seleksi dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa faktor. "Siapa yang akan berangkat? Mungkin harus dibedakan, yang bisa berangkat lewat negara sahabat itu, yang lebih cerdas, yang lebih mandiri. Sambil jalan-jalan, yang lebih muda. Kalau yang biasa, reguler biasa, tetap aja di kuota reguler. Ini yang harus kita lakukan," jelasnya.
Dengan adanya kriteria yang jelas, diharapkan proses pemanfaatan kuota haji negara sahabat dapat berjalan lebih terarah dan adil. Hal ini juga akan mencegah potensi penyalahgunaan kuota tersebut.
Perlu adanya mekanisme yang transparan dan akuntabel dalam penentuan jemaah yang akan diberangkatkan melalui kuota negara sahabat. Sistem seleksi yang ketat dan adil akan memastikan bahwa kuota tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan jemaah yang membutuhkan.
Tawaran Kuota Haji dari Kirgistan
Marwan mengungkapkan bahwa Kirgistan telah menawarkan kuota haji yang tidak terpakai kepada Indonesia, sekitar enam hingga tujuh ribu kuota. Ia menekankan pentingnya pemerintah dan DPR untuk mengatur hal ini dalam revisi UU Haji agar tawaran tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal.
"Yang sudah saya pernah berbicara, Kirgistan, mereka sudah menawarkan sisa kuota yang tidak mereka pakai, sekitar enam ribuan sampai tujuh ribuan," kata Marwan. Ia menambahkan bahwa tanpa pengaturan dalam pasal UU, tawaran tersebut akan sulit untuk direalisasikan meskipun negara sahabat bersedia memberikannya. "Kalau tidak kita cantumkan di dalam pasal, kalau pun mereka berkenan, akhirnya tidak bisa karena tidak ada di pasal," tegasnya.
Tawaran dari Kirgistan ini menjadi contoh nyata potensi pemanfaatan kuota haji negara sahabat. Dengan adanya regulasi yang jelas, peluang untuk kerja sama serupa dengan negara-negara sahabat lainnya dapat terbuka lebih lebar.
Dengan demikian, revisi UU Haji diharapkan tidak hanya mengatur aspek teknis penyelenggaraan haji dan umrah, tetapi juga mencakup strategi untuk mengatasi permasalahan antrean panjang dengan memanfaatkan peluang kerja sama internasional.
Proses revisi UU Haji ini diharapkan dapat menghasilkan regulasi yang komprehensif dan efektif, sehingga mampu memberikan solusi terbaik bagi para calon jemaah haji Indonesia.