Ekonom Unand Desak Indonesia Segera Negosiasi Tarif Timbal Balik dengan AS
Ekonom Unand, Endrizal Ridwan, mendesak pemerintah Indonesia untuk segera bernegosiasi dengan AS terkait tarif timbal balik yang berpotensi merugikan perekonomian nasional, khususnya sektor padat karya.
Padang, 8 April 2025 - Tarif timbal balik (reciprocal tariff) yang diterapkan Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia mulai 9 April 2025, mengancam perekonomian nasional. Hal ini mendorong Ekonom sekaligus dosen Universitas Andalas (Unand), Endrizal Ridwan, untuk menyarankan pemerintah Indonesia segera bernegosiasi dengan pemerintah AS. Kebijakan ini akan mengenakan bea masuk sebesar 32 persen pada produk Indonesia, lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Malaysia (24 persen) dan Filipina (17 persen).
Endrizal menekankan perlunya pendekatan unilateral Indonesia dalam negosiasi ini. "Saya menyarankan Indonesia membuka diri dan segera bernegosiasi dengan Amerika Serikat melalui pendekatan unilateral untuk menghapus hambatan perdagangan tertentu," tegasnya dalam pernyataan di Padang, Selasa. Ia juga mendukung langkah Presiden Prabowo yang akan membuka jalur negosiasi dengan AS dan memperkuat koordinasi dengan negara-negara ASEAN, namun menekankan pentingnya kecepatan dalam mengambil tindakan. "Langkah Presiden sudah tepat, tapi harus disegerakan. Negara lain seperti Vietnam sudah bergerak cepat. Kita harus jadi pionir, bukan pengekor," imbuhnya.
Dampak kebijakan tarif timbal balik AS ini terhadap Indonesia dinilai signifikan. Pada tahun 2024, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan sebesar 16,8 miliar dolar AS dari nilai ekspor 26,3 miliar dolar AS. Penerapan tarif baru ini berpotensi mengurangi surplus tersebut dan berdampak negatif pada perekonomian nasional, karena AS merupakan salah satu pasar ekspor utama Indonesia. Konsumen AS juga akan menanggung harga yang lebih mahal, yang berpotensi menurunkan permintaan terhadap produk Indonesia.
Dampak di Tingkat Regional dan Sektoral
Di tingkat regional, dampaknya dinilai moderat. Indonesia sedikit lebih kompetitif dibandingkan Vietnam untuk komoditas pakaian dan sepatu. Namun, untuk komoditas seperti karet dan turunannya, Indonesia berpotensi kalah bersaing dengan Malaysia karena tarif yang lebih rendah. "Artinya, semua negara dirugikan dengan tingkat yang berbeda-beda," jelas Endrizal.
Meskipun demikian, Endrizal melihat peluang strategis dalam pergeseran pendekatan ekonomi AS dari multilateral ke bilateral. Indonesia dapat memanfaatkan situasi ini dengan bernegosiasi langsung dengan pemerintah AS. Namun, ia menyoroti sektor padat karya seperti tekstil, sepatu, dan UMKM sebagai sektor yang paling rentan terhadap dampak negatif kebijakan ini.
Penurunan ekspor berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) dan melemahkan daya beli masyarakat. "Yang perlu diselamatkan bukan hanya perusahaannya, tetapi manusianya. Pemerintah perlu fokus pada bantuan langsung tunai bagi pekerja terdampak," ujar Endrizal. Ia menekankan pentingnya perlindungan bagi pekerja yang terdampak oleh kebijakan ini.
Endrizal juga menyoroti pentingnya strategi negosiasi yang tepat dan cepat untuk meminimalkan dampak negatif tarif timbal balik AS. Pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai skenario dan mempersiapkan langkah-langkah mitigasi yang efektif untuk melindungi perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat.
Analisis dan Rekomendasi
Secara keseluruhan, pernyataan Endrizal Ridwan memberikan gambaran yang jelas mengenai potensi dampak negatif tarif timbal balik AS terhadap perekonomian Indonesia. Ia menekankan urgensi negosiasi cepat dengan AS dan perlunya strategi mitigasi yang komprehensif untuk melindungi sektor-sektor yang rentan, khususnya sektor padat karya dan UMKM. Pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret untuk menghadapi tantangan ini dan meminimalkan dampak negatifnya terhadap perekonomian dan masyarakat Indonesia.
Selain negosiasi, pemerintah juga perlu mempertimbangkan diversifikasi pasar ekspor untuk mengurangi ketergantungan pada AS. Penguatan daya saing produk Indonesia juga menjadi kunci untuk menghadapi persaingan global yang semakin ketat. Bantuan langsung tunai bagi pekerja yang terdampak PHK juga merupakan langkah penting untuk meringankan beban masyarakat.