Guru Besar UIN Jember Kritik Pasal-Pasal Bermasalah dalam RUU KUHAP
Prof. M. Noor Harisudin dari UIN KHAS Jember menyoroti pasal-pasal kontroversial dalam RUU KUHAP yang dinilai mengancam keadilan dan hak asasi manusia, serta berpotensi pada penyalahgunaan kekuasaan.
Jember, Jawa Timur, 18 Februari 2024 - Prof. M. Noor Harisudin, Guru Besar Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap beberapa pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). RUU yang dijadwalkan disahkan DPR RI pada Maret 2025 ini, menurutnya, justru berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Kekhawatiran Hilangnya Tahap Penyelidikan
Salah satu poin utama kritik Prof. Harisudin adalah hilangnya pasal penyelidikan dalam RUU KUHAP. Beliau menekankan pentingnya penyelidikan sebagai langkah krusial dalam melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) publik. "Dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP dijelaskan bahwa penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang itu," jelasnya. Prof. Harisudin menambahkan bahwa penyelidikan bertujuan mengumpulkan bukti permulaan sebelum penyidikan, sehingga menjadi bagian penting dalam proses penegakan hukum yang adil.
Lebih lanjut, beliau menyoroti kekurangan batasan waktu dalam proses penyelidikan di KUHAP (1981). "Tempo penyelidikan yang tanpa ada batasan waktu... juga perlu dikritik, sehingga usulan limitasi waktu penyelidikan yang proporsional dalam RUU KUHAP menjadi penting untuk menjamin kepastian hukum para orang yang berperkara," tegasnya. Ketiadaan batasan waktu ini, menurutnya, berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pihak-pihak yang terlibat.
Kekuasaan Jaksa yang Berlebihan
Prof. Harisudin juga mengkritik peran dominan jaksa dalam RUU KUHAP. Beliau melihat adanya kewenangan ganda jaksa sebagai penuntut dan penyidik, yang menurutnya berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. "Tidak hanya itu, dalam Pasal 30 b juga mengatur tentang kewenangan jaksa melakukan penyadapan... maka dengan RUU KUHAP itu maka jaksa juga memegang domain penyidikan pidana umum," ujarnya. Kewenangan yang demikian luas, menurutnya, sangat rentan terhadap abuse of power, mengingat banyaknya kasus penyalahgunaan wewenang yang melibatkan aparat penegak hukum.
Ketua Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) ini menyatakan kekhawatirannya bahwa RUU KUHAP ini akan membawa Indonesia kembali ke sistem hukum zaman kolonial Belanda. "Pengesahan RUU KUHAP itu nantinya dikhawatirkan akan kembali menjadi mundur ke jaman Herziene Inlandsch Reglement (HIR) zaman Belanda yang menempatkan polisi sebagai pembantu jaksa (hulp magistraat)," ungkapnya.
Partisipasi Publik dan Reformasi Hukum
Prof. Harisudin menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan undang-undang, sebagaimana dijamin dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Beliau berharap DPR tidak terburu-buru dalam mengesahkan RUU KUHAP dan mendengarkan aspirasi publik. "Saya berharap DPR tidak terburu-buru untuk mengesahkan RUU KUHAP dan wakil rakyat tersebut harus mendengar suara rakyat karena suara rakyat adalah suara Tuhan," pesannya.
Meskipun demikian, Prof. Harisudin juga mengakui adanya beberapa poin positif dalam RUU KUHAP, seperti peran hakim pemeriksa pendahuluan (HPP) dan penggunaan alat bukti elektronik. Beliau melihat RUU ini sebagai bagian dari reformasi hukum, namun tetap menyoroti perlunya perbaikan agar tidak menimbulkan masalah baru yang lebih besar.
Kesimpulannya, Prof. Harisudin menyerukan agar DPR mempertimbangkan kembali pasal-pasal yang bermasalah dalam RUU KUHAP dan melibatkan partisipasi publik secara lebih luas untuk memastikan terwujudnya sistem hukum yang adil, transparan, dan melindungi hak asasi manusia.