Hakim Kasus Ronald Tannur Divonis 10 Tahun Penjara
Hakim nonaktif Heru Hanindyo divonis 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta terkait kasus suap dan gratifikasi dalam vonis bebas terpidana pembunuhan Ronald Tannur.
Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana? Hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Heru Hanindyo, divonis 10 tahun penjara di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis, 8 Mei 2024. Vonis ini terkait kasus dugaan suap dan gratifikasi yang menyebabkan terpidana pembunuhan Ronald Tannur divonis bebas pada tahun 2024. Heru terbukti bersalah menerima suap dan gratifikasi untuk membebaskan Ronald Tannur, melanggar sumpah jabatannya dan prinsip penyelenggaraan negara yang bersih. Kasus ini mengungkap praktik korupsi di lembaga peradilan yang menggerus kepercayaan publik.
Putusan tersebut dibacakan oleh Hakim Ketua Teguh Santoso. Majelis hakim menyatakan Heru terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Perbuatannya dianggap telah merusak integritas sistem peradilan Indonesia dan merugikan rasa keadilan masyarakat.
Vonis 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta merupakan hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa, yaitu 12 tahun penjara dan denda Rp750 juta. Meskipun lebih ringan, putusan ini tetap memberikan efek jera dan diharapkan dapat mencegah kejadian serupa di masa depan. Kasus ini menjadi sorotan publik karena melibatkan putusan pengadilan yang kontroversial.
Vonis 10 Tahun Penjara untuk Heru Hanindyo
Hakim Ketua Teguh Santoso menyatakan bahwa Heru Hanindyo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini berdasarkan bukti-bukti yang telah dihimpun dan disajikan selama persidangan. Putusan ini mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk hal-hal yang memberatkan dan meringankan.
Salah satu hal yang memberatkan adalah perbuatan Heru yang tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Selain itu, sikap Heru yang tidak menyadari kesalahannya juga menjadi pertimbangan hakim.
Meskipun demikian, majelis hakim juga mempertimbangkan hal yang meringankan, yaitu Heru belum pernah dihukum sebelumnya. Majelis hakim berpendapat bahwa vonis yang dijatuhkan sudah memenuhi rasa keadilan.
Putusan ini mengacu pada Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Suap dan Gratifikasi dalam Kasus Ronald Tannur
Kasus ini melibatkan tiga hakim nonaktif PN Surabaya, termasuk Heru Hanindyo, Erintuah Damanik, dan Mangapul. Ketiganya didakwa menerima suap sebesar Rp4,67 miliar, yang terdiri dari Rp1 miliar dan 308 ribu dolar Singapura (sekitar Rp3,67 miliar dengan kurs Rp11.900).
Selain suap, mereka juga diduga menerima gratifikasi berupa uang dalam berbagai mata uang asing, seperti dolar Singapura, ringgit Malaysia, yen Jepang, euro, dan riyal Saudi. Perbuatan mereka diancam pidana dalam Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 B juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Erintuah dan Mangapul telah divonis sebelumnya dengan pidana penjara 7 tahun dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan penjara. Kasus ini menunjukkan adanya jaringan korupsi yang perlu diungkap lebih lanjut.
Putusan terhadap Heru Hanindyo diharapkan dapat menjadi peringatan bagi aparat penegak hukum lainnya untuk senantiasa menjunjung tinggi integritas dan hukum. Peristiwa ini juga menjadi momentum untuk memperbaiki sistem peradilan dan mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang. Kepercayaan publik terhadap sistem peradilan sangat penting untuk penegakan hukum yang efektif dan berkeadilan.