Indonesia Tetap Konsisten: Tak Retaliasi Perang Tarif AS, Fokus pada Kerja Sama Bilateral
Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menegaskan sikap Indonesia yang tidak akan melakukan retaliasi tarif terhadap AS, meskipun menghadapi potensi dampak negatif dari kebijakan perdagangan AS, dan fokus pada kerja sama bilateral yang saling menguntungkan.
Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, baru-baru ini menegaskan komitmen Indonesia untuk tidak melakukan retaliasi tarif terhadap Amerika Serikat (AS), meskipun AS sempat mengancam akan mengenakan tarif tinggi pada barang-barang Indonesia. Pernyataan ini disampaikan dalam acara 'Dialog Bersama' di Beijing, China, pada 15 April 2025, di hadapan sekitar 50 pelajar dan Warga Negara Indonesia (WNI).
Keputusan Indonesia untuk tidak melakukan retaliasi ini kontras dengan langkah yang diambil oleh pemerintah China yang menerapkan tarif balasan terhadap AS. Eddy Soeparno menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia senantiasa mengedepankan prinsip 'mendayung di antara dua karang', menjaga hubungan baik dengan semua pihak, termasuk AS dan China. Meskipun sempat terancam tarif 34 persen pada April 2025, Presiden AS Donald Trump kemudian menunda penerapan tarif tersebut selama 90 hari, termasuk untuk Indonesia.
Namun, situasi ini tetap menyoroti kompleksitas hubungan perdagangan internasional, khususnya di tengah meningkatnya 'big power politics'. AS masih memberlakukan tarif 145 persen terhadap barang-barang China, sebagai balasan atas tarif 125 persen yang dijatuhkan China terhadap barang-barang AS. Indonesia, di sisi lain, memilih pendekatan yang lebih diplomatis, menekankan pentingnya 'engagement' yang saling menguntungkan dan menghormati ('mutual benefit' dan 'mutual respect').
Indonesia Prioritaskan Kerja Sama Bilateral di Tengah Perang Tarif
Eddy Soeparno menyoroti pentingnya kerja sama multilateral dalam mengatasi tantangan perdagangan global. Ia mengingatkan bahwa dunia telah menikmati perdamaian selama 80 tahun sejak Perang Dunia II, dan 'trade war' berpotensi memicu konflik konvensional. Oleh karena itu, Indonesia memilih untuk fokus pada kerja sama bilateral yang saling menguntungkan, bukannya terlibat dalam eskalasi perang tarif.
Kunjungan Eddy Soeparno ke China pada 13-17 April 2025 juga membahas transisi energi dan pemanfaatan energi terbarukan. Ia mencatat dominasi China di sektor ini setelah AS keluar dari 'Paris Agreement', serta dampaknya terhadap Indonesia yang tengah menjalankan 'Just Energy Transition Partnership' (JETP) dengan pendanaan dari berbagai negara.
Meskipun AS turut berpartisipasi dalam JETP dengan komitmen 2 miliar dolar AS, Eddy Soeparno mengungkapkan bahwa dana tersebut berpotensi hangus dan tidak dapat digunakan. Hal ini semakin menggarisbawahi pentingnya strategi Indonesia dalam menjaga hubungan baik dengan berbagai negara dan mencari solusi yang saling menguntungkan.
Delegasi Indonesia Bernegosiasi dengan AS
Menanggapi potensi dampak negatif dari kebijakan tarif AS, pemerintah Indonesia mengirimkan delegasi ke AS pada 16-23 April 2025 untuk bernegosiasi. Delegasi tersebut dipimpin oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan termasuk Menteri Luar Negeri, Wakil Ketua DEN, Ketua OJK, Menteri Keuangan, dan Wakil Menteri Keuangan. Mereka akan bertemu dengan United States Trade Representatives (USTR) serta menteri perdagangan, luar negeri, dan keuangan AS.
Indonesia telah menyiapkan beberapa paket negosiasi, termasuk revitalisasi perjanjian kerja sama perdagangan dan investasi (TIFA), proposal deregulasi Non-Tariff Measures (NTMs), peningkatan impor dan investasi dari AS melalui pembelian migas, serta penyediaan insentif fiskal dan non-fiskal untuk mendorong impor dari AS dan menjaga daya saing ekspor ke AS.
Strategi ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk mencari solusi yang adil dan saling menguntungkan dalam hubungan perdagangan dengan AS, sekaligus menekankan pentingnya diversifikasi pasar dan kemandirian ekonomi.
Dengan tetap memegang teguh prinsip kerja sama dan diplomasi, Indonesia berupaya meminimalisir dampak negatif dari perang tarif global dan memastikan kelancaran hubungan ekonomi internasionalnya.