Keadilan Restoratif: Harapan Baru, Bebas Hukuman Tapi Tak Bebas Kekhawatiran
Kisah Andreas, pemuda 23 tahun yang terbebas dari jeratan hukum berkat keadilan restoratif, membuka harapan baru sekaligus kekhawatiran akan masa depannya.
Andreas Marboen, pemuda 23 tahun asal Sumatera Utara, merasakan lega setelah terbebas dari hukuman penjara atas kasus pencurian sepeda motor di Batam. Perjalanan 1,5 tahun merantaunya di Batam tercoreng oleh kasus hukum ini, bermula dari terdesak kebutuhan ekonomi dan kurangnya pertimbangan matang. Dia mencuri sepeda motor Yamaha Vixion yang kuncinya ditemukannya di jalan, dan membawanya kabur tiga bulan kemudian. Andreas ditangkap setelah aksinya terekam kamera pengawas, dan sempat mendekam di tahanan selama proses penyidikan. Kehilangan pekerjaan dan ancaman hukuman penjara menjadi beban berat baginya.
Beruntung, pemilik sepeda motor, Michael Siboro, bersedia berdamai melalui jalur keadilan restoratif. Terungkap bahwa keduanya memiliki hubungan keluarga jauh, dan rasa kekeluargaan menjadi pertimbangan utama korban untuk memaafkan Andreas. Andreas sendiri sangat menyesali perbuatannya, terutama karena terdesak kebutuhan ekonomi akibat uangnya yang dipinjamkan kepada teman belum dikembalikan.
Kasus Andreas menjadi yang pertama dihentikan penuntutannya melalui keadilan restoratif di awal tahun 2025. Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung mengabulkan permohonan penghentian penuntutan ini berdasarkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran Jampidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022. Penghentian ini didasarkan pada beberapa faktor, termasuk kesepakatan damai antara korban dan tersangka, status tersangka sebagai pelaku pertama kali, ancaman hukuman di bawah lima tahun, janji tersangka untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan maaf dari korban. Kejati Kepri telah menghentikan penuntutan 21 perkara melalui mekanisme restorative justice di tahun 2024 dan empat perkara di awal 2025.
Keadilan Restoratif: Sekali Seumur Hidup
Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Batam, I Ketut Kasna Dedi, menekankan bahwa keadilan restoratif bukan jaminan untuk mengulangi perbuatan kriminal. Penghentian perkara melalui restorative justice hanya berlaku sekali seumur hidup. Andreas, setelah dinyatakan bebas, bahkan menawarkan diri untuk menjalani sanksi sosial di gereja selama satu bulan sebagai bentuk penyesalan. Kasna juga menyoroti faktor ekonomi dan kurangnya keterampilan sebagai penyebab utama tindak pidana pencurian, dan mendorong pemerintah untuk memikirkan dampak jangka panjang program ini.
Setelah bebas, Andreas masih khawatir karena kehilangan pekerjaan. Keadilan restoratif membantunya mendapatkan SKCK untuk melamar pekerjaan. Namun, banyak penerima keadilan restoratif mungkin menghadapi tantangan serupa, yaitu bagaimana memastikan mereka tidak mengulangi kesalahan di masa depan, terutama karena faktor ekonomi dan kurangnya keterampilan.
Kejari Batam tengah menjajaki kerja sama dengan Pemerintah Kota Batam untuk memberikan sanksi sosial atau pelatihan kerja bagi penerima program restorative justice. Hal ini bertujuan untuk memberikan pembinaan dan pendampingan, mencegah pengulangan tindak pidana, dan menjawab sentimen negatif masyarakat terhadap program ini. Alternatif sanksi sosial yang dipertimbangkan termasuk membersihkan rumah ibadah atau mengikuti program pelatihan kerja.
Kasna menjelaskan bahwa sekitar 50 persen pelaku kejahatan pencurian yang pernah diselesaikan melalui restorative justice adalah pengangguran dan tidak memiliki keahlian. Oleh karena itu, diharapkan program ini tidak hanya membebaskan mereka dari hukuman pidana, tetapi juga membantu mereka untuk kembali ke masyarakat dengan lebih baik dan mencegah pengulangan tindak pidana.
Program ini sejalan dengan arahan pimpinan Kejaksaan RI agar program restorative justice memberikan manfaat nyata bagi penerima dan masyarakat. Dengan memberikan pelatihan keterampilan dan sanksi sosial yang bermanfaat, diharapkan program keadilan restoratif dapat menjadi solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan dalam menangani tindak pidana, khususnya yang dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi dan kurangnya keterampilan.