KopDes Merah Putih: Komitmen Pemerintah Perkuat Ekonomi Desa atau Sekadar Suntikan Modal?
Akademisi Unsoed menilai KopDes Merah Putih sebagai komitmen pemerintah untuk memperkuat ekonomi desa, namun mempertanyakan efektivitasnya tanpa regulasi yang mendukung semangat gotong royong.
Purwokerto, 18 Mei 2024 - Peluncuran Koperasi Desa (KopDes) Merah Putih oleh pemerintah mendapat sorotan dari Dr. Sukarso, akademisi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Ia menilai program ini sebagai komitmen pemerintah untuk memperkuat ekonomi desa, namun juga menyoroti beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan.
Sebelumnya, desa-desa di Indonesia telah memiliki Koperasi Unit Desa (KUD). Namun, KUD lama kelamaan memudar karena kurangnya perawatan dan dominasi usaha individual. KopDes Merah Putih diharapkan dapat menghidupkan kembali semangat koperasi di pedesaan. Namun, Sukarso meragukan hal ini mengingat perubahan sosial yang signifikan antara masa lalu dan sekarang. "Koperasi unit desa sebenarnya dulu sudah melembaga, artinya sudah dianggap menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, tetapi kemudian tidak dirawat sehingga sedikit demi sedikit hilang dengan adanya individualistik atau usaha-usaha individu yang lebih dominan," ujarnya.
Ia menekankan pentingnya regulasi yang kuat untuk mendukung KopDes Merah Putih, bukan hanya model koperasi semata. Menurutnya, roh UMKM yang individualistik berbeda dengan semangat gotong royong dalam koperasi. "Jadi, kayak lembaga-lembaga adat yang mau direvitalisasi, recalling, dipanggil kembali, enggak mungkin karena sudah berubah secara sosial itu. Masyarakat kita di desa itu individualistiknya sudah kuat, sehingga kalau mau komitmen membangun koperasi ya ide-ide koperasi itu supaya melembaga dululah, jadi jangan model, tetapi mungkin lebih ke regulasi," jelas Sukarso.
Analisis Kritis Terhadap KopDes Merah Putih
Dr. Sukarso mengkritisi skema pinjaman yang ditawarkan pemerintah untuk KopDes Merah Putih, yaitu plafon hingga Rp3 miliar per koperasi dengan jangka waktu pengembalian enam tahun. Menurutnya, pendekatan ini kurang spesifik dan hanya melihat koperasi sebagai sektor usaha biasa, tanpa memperhatikan nilai-nilai gotong royong yang menjadi inti koperasi. "Jadi, ini butuh modal, sehingga dikasih modal, hanya sebatas itu ya, tidak semacam program-program yang mengatur supaya nilai-nilai koperasi itu kembali mengakar di masyarakat," katanya.
Ia khawatir program ini justru akan memicu semangat rentenir dan menguntungkan pihak tertentu. Selain itu, ia melihat adanya potensi koperasi menjadi kapitalistik karena kekurangan dana atau modal. Padahal, menurutnya, koperasi merupakan "saka guru ekonomi Indonesia", sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945. "Padahal yang saya yakini selama ini koperasi sudah menjadi roh bagi kerja sama ekonomi masyarakat, saka guru ekonomi Indonesia adalah koperasi. Itu yang harus diterjemahkan, ditingkatkan komitmennya terhadap hal itu," tegasnya.
Dr. Sukarso menekankan pentingnya regulasi yang mendorong semangat kebersamaan dan gotong royong, bukan hanya sekedar penyediaan modal. "Kami dari kalangan akademisi melihat, jangan semuanya itu dilihat dari sudut pandang ekonomi bahwa menghidupkan koperasi itu hanya perlu modal, bukan. Itu kesadaran orang untuk gotong royong, untuk bekerja sama, itu rohnya koperasi, jadi itu yang perlu dibuat regulasi, sehingga tumbuh rasa kebersamaan itu yang lebih penting, nanti modal akan datang dengan sendirinya," tutup Sukarso.
Kesimpulan: KopDes Merah Putih memiliki potensi besar untuk memperkuat ekonomi desa, tetapi keberhasilannya sangat bergantung pada regulasi yang tepat dan mampu menghidupkan kembali semangat gotong royong dalam masyarakat. Hanya memberikan modal saja tanpa memperhatikan aspek sosial dan budaya akan mengurangi efektivitas program ini.