KPK Ajak Jamaah Haji 2024 Jadi Saksi Kasus Kuota Haji, Ada Dugaan Kerugian Rp1 Triliun!
KPK mengajak jamaah haji 2024 untuk bersaksi dalam kasus dugaan korupsi kuota haji di Kementerian Agama 2023-2024. Terungkap, kerugian negara mencapai Rp1 triliun lebih!
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi mengajak jamaah haji tahun 1445 Hijriah atau 2024 Masehi untuk menjadi saksi. Ajakan ini terkait kasus dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama pada tahun 2023-2024. Langkah ini diambil guna mempercepat proses penyidikan perkara yang sedang ditangani.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyatakan bahwa keterangan dari para saksi sangat dibutuhkan. Keterangan tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran jelas mengenai praktik penyimpangan yang terjadi. Keterlibatan jamaah haji sangat krusial dalam mengungkap fakta di lapangan.
Kriteria jamaah haji yang diharapkan menjadi saksi adalah mereka yang mendaftar haji khusus namun mendapatkan pelayanan haji reguler. Selain itu, jamaah haji furoda yang tidak sesuai dengan ketentuan awal juga diminta untuk memberikan keterangan. Informasi dari mereka akan sangat membantu KPK dalam menuntaskan kasus ini.
Modus Dugaan Penyimpangan Kuota Haji
KPK mengindikasikan adanya penyimpangan dalam penentuan kuota haji yang perlu diungkap. Salah satu modus yang disoroti adalah perubahan status layanan haji dari khusus menjadi reguler atau haji furoda yang tidak sesuai. Fenomena ini terindikasi terjadi pada sejumlah jamaah haji selama periode penyelenggaraan ibadah haji 2023-2024.
Informasi yang diterima KPK menunjukkan bahwa beberapa jamaah haji furoda justru mendapatkan layanan haji khusus. Sementara itu, ada pula jamaah haji khusus yang malah dialihkan ke layanan haji reguler. Dugaan ini menguatkan sinyal adanya praktik tidak transparan dalam pengelolaan kuota haji.
Penyimpangan ini diduga kuat berkaitan dengan pembagian 20.000 kuota tambahan dari Pemerintah Arab Saudi. Kuota tambahan tersebut seharusnya dibagi sesuai ketentuan yang berlaku. Namun, KPK menduga pembagiannya tidak dilakukan secara semestinya, sehingga memicu berbagai masalah.
Keterangan dari jamaah yang mengalami langsung perubahan layanan ini akan menjadi bukti penting. Hal ini akan membantu KPK dalam mengidentifikasi pihak-pihak yang bertanggung jawab atas dugaan praktik korupsi tersebut. Penelusuran lebih lanjut terus dilakukan untuk mengumpulkan data akurat.
Kronologi dan Kerugian Negara
Penyidikan kasus dugaan korupsi kuota haji ini telah dimulai oleh KPK sejak 9 Agustus 2025. Proses ini diawali dengan permintaan keterangan kepada mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 7 Agustus 2025. Keterangan awal tersebut menjadi dasar bagi KPK untuk melangkah lebih jauh.
Pada 11 Agustus 2025, KPK mengumumkan perkiraan awal kerugian negara dalam kasus ini. Angka yang fantastis, yaitu mencapai lebih dari Rp1 triliun, mengejutkan publik. Jumlah kerugian ini menunjukkan skala besar dugaan korupsi yang terjadi dalam pengelolaan ibadah haji.
Sebagai langkah awal, KPK juga telah mencegah tiga orang untuk bepergian ke luar negeri. Salah satu dari ketiga orang tersebut adalah mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Pencegahan ini dilakukan untuk memastikan para pihak terkait tetap berada di Indonesia selama proses penyidikan berlangsung.
KPK juga sedang berkoordinasi intensif dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Koordinasi ini bertujuan untuk menghitung secara pasti jumlah kerugian keuangan negara yang timbul dari kasus tersebut. Hasil penghitungan BPK akan menjadi dasar kuat dalam proses hukum selanjutnya.
Sorotan Pansus Angket Haji DPR RI
Selain ditangani oleh KPK, kasus penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024 juga menjadi sorotan serius di DPR RI. Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR RI sebelumnya telah mengklaim menemukan sejumlah kejanggalan. Temuan ini menambah daftar panjang dugaan penyimpangan dalam pengelolaan haji.
Titik poin utama yang disoroti oleh Pansus adalah perihal pembagian kuota 50:50 dari alokasi 20.000 kuota tambahan. Kuota tambahan ini diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia. Kementerian Agama membagi kuota tersebut menjadi 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Pembagian ini dianggap tidak sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019. Undang-undang tersebut mengatur bahwa kuota haji khusus seharusnya hanya sebesar 8 persen. Sementara itu, 92 persen sisanya dialokasikan untuk kuota haji reguler. Ketidaksesuaian ini menjadi dasar kuat dugaan pelanggaran.
Temuan Pansus DPR RI ini sejalan dengan dugaan yang diselidiki oleh KPK. Hal ini menunjukkan adanya indikasi kuat praktik tidak sesuai aturan dalam pengelolaan kuota haji. Sinergi antara penyelidikan KPK dan temuan DPR diharapkan dapat mengungkap tuntas kasus ini.