Larangan Gawai di SMA Boarding School: Perlu Ditinjau Ulang?
Praktisi pendidikan menyoroti perlunya peninjauan ulang larangan gawai di SMA boarding school, menekankan pentingnya literasi digital dan pengawasan bijak, bukan sekadar pembatasan akses.
Tangerang, 11 Mei 2024 (ANTARA) - Sebuah wacana hangat tengah berembus di dunia pendidikan Indonesia. Dr. Masduki Asbari, praktisi pendidikan dari Universitas Insan Pembangunan Indonesia, menyuarakan perlunya peninjauan ulang kebijakan larangan penggunaan gawai di sejumlah SMA boarding school. Pernyataan ini disampaikan beliau di Tangerang pada Minggu lalu. Ia berpendapat bahwa tantangan utama bukan membatasi teknologi, melainkan membimbing siswa untuk menggunakannya secara bijak dan bertanggung jawab.
Menurut Dr. Masduki, di era digital seperti saat ini, melarang akses teknologi sama artinya dengan menghambat proses pembelajaran dan perkembangan siswa. Generasi muda saat ini hidup dan berkembang dalam ekosistem digital yang terhubung secara global. Dengan membatasi akses, kita justru memutus kesempatan mereka untuk belajar dan berinteraksi dengan dunia luar, serta mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan reflektif.
Lebih lanjut, Dr. Masduki menekankan pentingnya integrasi literasi digital, etika daring, dan kemampuan mengatur diri (self-regulation) dalam kurikulum dan kehidupan sehari-hari siswa. Ia melihat gawai bukan sekadar alat komunikasi, melainkan media utama generasi muda untuk memahami dan menjelajahi dunia. Oleh karena itu, larangan penggunaan gawai bukanlah solusi yang tepat.
Pendidikan Karakter Digital: Bukan Sekadar Pelarangan
Dr. Masduki menggunakan analogi yang menarik: internet dan teknologi digital sebagai 'jalan tol peradaban'. Kita tidak akan menutup jalan tol hanya karena ada potensi kecelakaan, melainkan mengatur lalu lintas, menegakkan aturan, dan membentuk karakter pengguna jalan yang bertanggung jawab. Begitu pula dengan gawai di lingkungan sekolah.
Menurutnya, pendidikan karakter digital bukan tentang pelarangan, melainkan tentang pengelolaan dan pembinaan. Tantangannya bukan pada perangkat teknologi itu sendiri, melainkan pada sikap dan ketaatan siswa dalam menggunakannya. Dengan membuka akses, memang ada risiko, tetapi dengan pengawasan dan bimbingan yang tepat, kita dapat membentuk generasi yang mampu menggunakan teknologi dengan bijak dan bertanggung jawab.
Ia menambahkan, "Tantangan sesungguhnya bagi pendidik di era ini bukanlah menutup pintu teknologi, melainkan membuka jendela pengawasan yang bijak." Dengan demikian, sekolah perlu membekali siswa dengan kemampuan literasi digital yang memadai, bukan sekadar melarang mereka mengakses teknologi.
Dengan kata lain, "Gawai bukan lagi sekadar alat komunikasi, melainkan medium eksistensi generasi muda dalam memahami dan menjelajahi realitas global," tegas Dr. Masduki. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih holistik dan berfokus pada pembinaan karakter digital menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi tantangan era digital ini.
Membangun Generasi yang Bertanggung Jawab
Dr. Masduki juga menekankan pentingnya peran sekolah dalam membina akhlak dan kedewasaan digital peserta didik. Pelarangan akses terhadap gawai justru menghindarkan pendidik dari tanggung jawab utama mereka, yaitu membimbing siswa untuk menggunakan teknologi dengan bijak dan bertanggung jawab. Dengan memberikan akses dan sekaligus pengawasan yang ketat, sekolah dapat menciptakan lingkungan belajar yang aman dan produktif.
Dengan memberikan akses yang bertanggung jawab, kita mengundang risiko, tetapi dengan menyertakan nilai dan pembinaan, kita membangun generasi yang mampu menaklukkan risiko itu dengan integritas dan kecerdasan moral. Inilah inti dari pendidikan karakter digital yang sesungguhnya. Bukan sekadar membatasi akses, tetapi membimbing siswa untuk menggunakan teknologi dengan bijak dan bertanggung jawab.
Kesimpulannya, larangan penggunaan gawai di sekolah perlu ditinjau ulang. Fokus pendidikan seharusnya bergeser dari pembatasan akses menjadi pembinaan karakter digital, literasi digital, dan pengawasan yang efektif. Dengan demikian, siswa dapat memanfaatkan teknologi sebagai alat untuk belajar dan berkembang, tanpa mengorbankan nilai-nilai moral dan etika.