Paradoks Penghematan Anggaran Prabowo: Kabinet Gemuk vs. Pengurangan Belanja
Presiden Prabowo Subianto berupaya efisiensi anggaran, namun pembentukan kabinet besar berpotensi menggagalkan upaya penghematan tersebut, menimbulkan paradoks kebijakan.
Presiden Prabowo Subianto dilantik dan langsung menghadapi dilema klasik dalam pemerintahan: idealisme versus pragmatisme. Komitmen awal beliau untuk efisiensi anggaran negara, mengurangi pemborosan, dan memperkuat fondasi fiskal, kini diuji dengan realita. Di satu sisi, pemerintah berupaya memangkas anggaran hingga Rp306 triliun (USD 18 miliar). Di sisi lain, pembentukan Kabinet Indonesia Maju yang terdiri dari 112 pejabat (48 menteri, 5 kepala lembaga, dan 59 wakil menteri) menimbulkan pertanyaan besar terkait efektivitas kebijakan penghematan ini.
Efisiensi Anggaran: Antara Janji dan Realita
Penghematan anggaran digaungkan sebagai wujud manajemen keuangan negara yang hati-hati, terutama di tengah ketidakpastian pasca-pandemi, krisis energi, dan ketegangan geopolitik. Langkah-langkah yang diambil termasuk pemotongan anggaran perjalanan dinas, pengurangan alat tulis kantor hingga 90 persen, dan pembatalan program-program yang tidak esensial. Namun, pertanyaan muncul: apakah penghematan ini cukup untuk mengimbangi biaya operasional kabinet yang membengkak?
Beberapa kementerian merasakan dampak signifikan dari kebijakan efisiensi ini. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan misalnya, mengalami pemotongan anggaran hingga Rp8 triliun (USD 474 juta), termasuk pengurangan pos anggaran alat tulis kantor. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat juga menghadapi pemotongan lebih dari 70 persen, mengakibatkan penundaan proyek infrastruktur seperti jalan tol dan bendungan. Meskipun Menteri PUPR, Dody Hanggodo, berupaya mengoptimalkan anggaran yang tersisa (Rp81 triliun atau USD 4,8 miliar dari total Rp110 triliun atau USD 6,5 miliar sebelumnya) dengan memprioritaskan empat sektor, tetap saja banyak proyek yang tertunda.
Perbandingan dengan Negara Lain
Sebagai perbandingan, negara-negara seperti Jerman dan Selandia Baru menunjukkan pemerintahan yang efektif dengan struktur kabinet yang ramping. Jerman, ekonomi terbesar di Eropa, memiliki kabinet yang memprioritaskan kementerian strategis dan meminimalkan birokrasi. Selandia Baru, dengan pendekatan berbasis data dan transparansi, membuktikan bahwa efisiensi birokrasi tidak hanya menghemat anggaran tetapi juga meningkatkan kepercayaan publik. Studi komparatif ini menunjukkan bahwa ukuran kabinet bukan faktor utama yang menentukan efektivitas pemerintahan, melainkan bagaimana setiap kementerian beroperasi secara efisien dan selaras dengan visi nasional.
Biaya Birokrasi dan Potensi Ketidaksetaraan
Para analis menilai kebijakan efisiensi anggaran Prabowo tidak akan sepenuhnya efektif jika struktur kabinet tetap besar. Biaya birokrasi yang besar dapat meniadakan atau bahkan melampaui penghematan dari pemotongan pos anggaran lainnya. Pemotongan anggaran yang tidak selektif dapat menghambat inovasi, menurunkan kualitas pendidikan, atau mengurangi akses publik terhadap layanan penting. Kusfiardi dari Fine Institute menekankan pentingnya transparansi dan pengawasan untuk mencegah penyalahgunaan kebijakan efisiensi anggaran yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025. Hal ini termasuk publikasi rinci pemotongan anggaran per sektor dan daerah, audit independen oleh BPK dan KPK, serta pengawasan oleh DPR dan lembaga independen.
Di satu sisi, mempertahankan anggaran untuk sektor strategis seperti infrastruktur, energi, dan teknologi dapat mendorong ekspansi ekonomi. Namun, jika dilakukan tanpa mempertimbangkan aspek sosial, hal ini dapat memperlebar kesenjangan ketimpangan. Presiden Prabowo sendiri menyebut adanya 'raja-raja kecil' di pemerintahan yang sering memboroskan anggaran untuk kepentingan pribadi. Namun, publik tetap skeptis karena adanya ketidakkonsistenan antara upaya penghematan dan pembengkakan birokrasi.
Tantangan Konsistensi dan Dampak Nyata
Pemerintahan yang efisien harus mampu menyediakan layanan publik berkualitas tinggi dengan biaya yang wajar, mengelola sumber daya dengan bijak, dan memastikan setiap kebijakan memberikan manfaat nyata bagi rakyat. Presiden Prabowo memiliki kesempatan untuk menunjukkan bahwa struktur pemerintahan yang besar pun dapat efisien dan efektif. Tantangannya adalah menjaga konsistensi antara retorika dan realita, janji dan tindakan nyata. Pada akhirnya, publik tidak akan menilai ukuran kabinet, melainkan dampak positif kebijakan terhadap kehidupan sehari-hari mereka.