Penertiban Kawasan Hutan Harus Berkepastian Hukum dan Adil, Pakar Hukum Tegaskan
Pakar hukum kehutanan ingatkan pentingnya penertiban kawasan hutan yang adil dan berkepastian hukum, serta memperhatikan Hak Guna Usaha (HGU) yang telah terbit.
Jakarta, 29 April 2024 - Seorang pakar hukum kehutanan dari Universitas Al Azhar Indonesia, Sadino, menyoroti pentingnya penertiban kawasan hutan dengan mengedepankan asas hukum dan keadilan. Pernyataan ini muncul menyusul adanya peraturan lahan yang telah memiliki Hak Guna Usaha (HGU) di perkebunan sawit, yang memiliki kekuatan hukum kuat dan tidak bisa disita atau disegel secara sembarangan. Penertiban yang tidak memperhatikan aspek hukum ini berpotensi menimbulkan masalah hukum yang berkepanjangan.
Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan kehutanan, HGU merupakan hak atas tanah yang ditetapkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Keberadaan HGU tidak dapat dibatalkan secara sepihak tanpa melalui proses pengadilan. Sadino menekankan, "HGU merupakan penetapan Menteri ATR/BPN. Jika sudah lebih dari empat tahun, seorang menteri tidak bisa melakukan evaluasi kecuali ada putusan pengadilan yang membatalkan HGU sesuai asas hukum Presumption lustae Causa."
Asas Presumption lustae Causa menyatakan bahwa setiap keputusan negara dianggap sah kecuali ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang membatalkannya. Hal ini menjadi landasan penting dalam penertiban kawasan hutan agar tidak terjadi tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran hukum. Pernyataan ini juga menjadi sorotan penting mengingat adanya penugasan Presiden kepada Menteri ATR/BPN untuk melakukan penataan dan pemetaan pertanahan dengan prinsip pemerataan, keadilan, dan kesinambungan ekonomi.
Pernyataan Menteri ATR/BPN dan Implikasinya
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, sebelumnya telah menerima penugasan dari Presiden untuk melakukan penataan dan pemetaan pertanahan. Berdasarkan Surat Edaran Sekjen Kementerian ATR/BPN No. 9/SE.HT.01/VII/2024 tanggal 12 Juli 2024, terungkap bahwa di Provinsi Riau terdapat 126 perusahaan yang memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) tetapi belum memiliki HGU. Menteri Nusron telah mengimbau jajarannya untuk mengkategorikan perusahaan tersebut berdasarkan letaknya, di dalam atau di luar kawasan hutan.
Lebih lanjut, Menteri Nusron menjelaskan, "Dilakukan identifikasi dari 126 perusahaan yang HGU-nya terbit lebih dulu daripada peta kawasan hutan mana saja. Mana yang HGU-nya terbit setelah ditetapkan kawasan hutan. Terkait MoU dengan Kementerian Kehutanan, jika HGU lebih dahulu terbit daripada penetapan kawasan hutan maka HGU itu yang akan menang." Pernyataan ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan pertanahan dengan memperhatikan aspek hukum yang berlaku.
Sadino menyatakan kesetujuannya terhadap langkah Menteri ATR/BPN tersebut. Menurutnya, pernyataan Nusron Wahid sejalan dengan ketentuan hukum yang berlaku, khususnya UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sadino menambahkan, "Tentu Satgas menjalankan Perpres 5 tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan ya harus menjalankan itu (UU Kehutanan) agar klaim kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan bisa diluruskan dan tidak menjadi berlanjut menimbulkan permasalahan hukum."
Konteks Hukum dan Penertiban Kawasan Hutan
Penertiban kawasan hutan harus dilakukan dengan memperhatikan aspek hukum yang berlaku. HGU yang telah terbit dan sah secara hukum harus dihormati dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Proses penertiban harus transparan, akuntabel, dan melibatkan semua pihak terkait untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum. Penting untuk memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan tidak merugikan pihak manapun.
Peraturan pertanahan yang jelas dan tegas sangat penting untuk mencegah konflik dan sengketa lahan di masa mendatang. Pemerintah perlu terus berupaya untuk menyempurnakan regulasi dan mekanisme penertiban kawasan hutan agar lebih efektif dan efisien, serta memastikan bahwa proses penertiban dilakukan secara adil dan berkepastian hukum. Dengan demikian, penertiban kawasan hutan dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan masalah hukum baru.
Langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah dalam penertiban kawasan hutan harus diiringi dengan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat agar memahami hak dan kewajiban mereka terkait dengan pengelolaan lahan dan hutan. Penting juga untuk melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan agar tercipta solusi yang berkelanjutan dan diterima oleh semua pihak.
Kesimpulannya, penertiban kawasan hutan harus dilakukan dengan bijak, memperhatikan aspek hukum, dan mengedepankan keadilan. Dengan demikian, penertiban tersebut akan memberikan manfaat yang optimal bagi lingkungan dan masyarakat tanpa menimbulkan konflik dan masalah hukum baru.