Terungkap! Kejati Bengkulu Dalami Dugaan TPPU Tambang Batu Bara Senilai Setengah Triliun Rupiah
Kejaksaan Tinggi Bengkulu tengah mendalami dugaan TPPU tambang batu bara yang merugikan negara hingga Rp500 miliar. Akankah para tersangka dapat menikmati hasil kejahatan?
Tim penyidik Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Bengkulu secara intensif mendalami dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait kasus korupsi tambang batu bara. Kasus ini juga melibatkan perambahan hutan di Kabupaten Bengkulu Tengah. Pendalaman ini merupakan bagian dari upaya Kejati Bengkulu untuk membongkar praktik penyamaran aset hasil kejahatan.
Asisten Pengawas Kejaksaan Tinggi Bengkulu, Andri Kurniawan, yang juga menjabat Ketua tim penyidik, menyatakan bahwa proses penyidikan TPPU sedang berlangsung. Penyitaan aset yang telah dilakukan dapat menjadi petunjuk penting dalam pembuktian kasus ini. Kejati Bengkulu berkomitmen penuh untuk memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya, termasuk memastikan pelaku tidak menikmati hasil kejahatan.
Kerugian negara dalam kasus korupsi produksi dan eksplorasi pertambangan ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp500 miliar. Jumlah fantastis ini mencakup kerusakan lingkungan yang ditimbulkan serta kerugian pokok akibat ketidakbenaran dalam penambangan dan penjualan batu bara. Pengungkapan skema pencucian uang menjadi langkah krusial untuk melacak aliran dana ilegal.
Penelusuran Aset dan Modus Operasi TPPU
Tim penyidik Kejati Bengkulu sedang mencermati kemungkinan adanya upaya penyamaran aset oleh para tersangka. Jika terbukti, hal ini akan menambah daftar jerat hukum yang akan dikenakan kepada mereka. Penelusuran ini bertujuan untuk melacak dan menyita aset-aset yang berasal dari hasil kejahatan korupsi.
Kerugian negara yang ditimbulkan dalam kasus ini sangat besar, mencapai lebih dari Rp500 miliar. Angka ini merupakan akumulasi dari kerugian lingkungan akibat perambahan hutan dan kerugian finansial dari praktik penambangan serta penjualan batu bara yang tidak sah. Modus operandi yang terindikasi adalah penjualan batu bara secara tidak sah atau tidak sesuai aturan yang berlaku.
Kepala Seksi Penyidikan Pidsus Kejati Bengkulu, Danang Prasetyo, menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum ini menyebabkan kerugian keuangan negara. Karakteristik kasus ini berbeda dengan pidana umum, lebih spesifik pada undang-undang pertambangan. Penjualan batu bara yang bukan merupakan haknya menjadi inti permasalahan yang menyebabkan kerugian negara.
Lima Tersangka dan Latar Belakang Kasus
Sebelumnya, Kejati Bengkulu telah menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi ini. Mereka adalah para pengusaha tambang batu bara di Provinsi Bengkulu. Kelima tersangka tersebut meliputi Komisaris Tunas Bara Jaya Bebby Hussy, General Manager PT Inti Bara Perdana Saskya Hussy, Direktur Utama Tunas Bara Jaya Julius Soh, Marketing PT Inti Bara Perdana Agusman, dan Direktur Tunas Bara Jaya Sutarman.
Para tersangka diduga melakukan penjualan batu bara secara tidak sah atau tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Peran mereka dalam kasus ini adalah ketidakbenaran saat sebelum proses jual beli, yang berarti perolehan batu bara tersebut tidak sah. Kejati Bengkulu telah menghitung kerugian awal berdasarkan kesimpulan bahwa barang yang dijual bukanlah hak mereka.
Kasus ini melibatkan dua perusahaan pertambangan, yaitu PT Ratu Samban Mining (RSM) dan PT Tunas Bara Jaya. Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Ratu Samban Mining (RSM) diketahui telah bermasalah sejak tahun 2011. Sementara itu, temuan adanya ketidakbenaran penjualan batu bara terjadi pada periode tahun 2021 hingga 2022. Ini menunjukkan adanya praktik ilegal yang berlangsung cukup lama.