100 Tahun Pramoedya Ananta Toer: Maestro Sastra Indonesia yang Abadi
Peringatan 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer di Blora, Jawa Tengah, merayakan warisan sang maestro sastra Indonesia yang karya-karyanya telah diterjemahkan ke puluhan bahasa dan menginspirasi generasi penerus.
Peringatan seabad kelahiran Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia, akan dipusatkan di Blora, Jawa Tengah, pada 6-8 Februari. Acara ini bukan sekadar perhelatan lokal, melainkan rangkaian kegiatan nasional yang mencerminkan pengaruh luas sang maestro.
Budayawan Hilmar Farid dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menyebut Pram—sapaan akrab Pramoedya—sebagai tokoh yang tak tergantikan. Karyanya yang diterjemahkan ke puluhan bahasa telah mengharumkan nama Indonesia di dunia lewat narasi-narasi yang memukau. Dari Bumi Manusia hingga Bukan Pasar Malam, Pram menuliskan sejarah dan refleksi diri yang memikat berbagai generasi.
Lebih dari sekadar penulis, Pram adalah penjaga ingatan bangsa. Ia teguh pada prinsipnya, bahkan di masa penjajahan hingga Orde Baru, meskipun harus menghadapi berbagai tantangan, termasuk pemenjaraan. Baginya, menulis adalah tugas nasional, sebuah dedikasi seumur hidup.
Sastra Klasik di Era Digital
Di era media sosial, tantangan muncul: bagaimana karya sastra klasik tetap relevan? Hilmar Farid melihat potensi besar dalam adaptasi karya-karya Pram ke format yang lebih mudah diakses generasi muda. Ia mencontohkan, potongan cerpen Pram yang menggambarkan Jakarta bisa ditampilkan di media sosial, atau tur ke lokasi-lokasi dalam karyanya. Hal ini akan menjadi respons kreatif yang menghubungkan generasi baru dengan sastra klasik.
Komunitas muda telah merespons dengan cara-cara yang segar. Banyak yang menciptakan karya storytelling terinspirasi tulisan Pram, membuktikan gairah berkarya tetap hidup meski lanskap media berubah. Salah satu karya Pram yang berkesan bagi Hilmar adalah Bukan Pasar Malam, yang merefleksikan hubungan Pram dengan ayahnya, dan menunjukkan sisi manusiawi sang maestro.
Warisan Pramoedya Ananta Toer yang Tak Ternilai
Seabad setelah kelahirannya, Pramoedya Ananta Toer tetap menjadi mercusuar sastra Indonesia. Dedikasi dan konsistensinya membentuk identitas budaya bangsa dan mengingatkan kita bahwa kata-kata dapat menjaga ingatan dan merajut masa depan. Perayaan ini bukan sekadar mengenang masa lalu, melainkan memastikan api perjuangan Pram tetap menyala.
Aktris Happy Salma melihat Festival 100 Tahun Pram di Blora sebagai kesempatan menghidupkan kembali semangat Pramoedya. Baginya, Pram adalah inspirasi abadi, sosok yang mengajarkan keberanian, solidaritas, dan kecintaan tanah air. Karya-karya Pram, seperti Gadis Pantai, Bumi Manusia, dan Perburuan, memiliki tempat spesial di hatinya. Semangat Pram bahkan menginspirasinya dalam dunia seni pertunjukan.
Bahkan, kutipan Pram dari Anak Semua Bangsa menghiasi anting Happy Salma: 'Cinta itu indah, begitu juga kebinasaan yang akan membuntutinya. Orang harus berani menanggung akibatnya.' Kutipan ini menjadi pengingat untuk selalu berani menghadapi hidup.
Jejak Maestro Sastra Indonesia
Pramoedya Ananta Toer, lahir di Blora, 6 Februari 1925, membaktikan hidupnya untuk mencatat sejarah, perlawanan, dan kemanusiaan. Ia memulai karier menulis sejak muda, dengan karya-karya seperti Kranji dan Bekasi Jatuh yang bercerita tentang pengalamannya selama revolusi. Namun, namanya melambung lewat Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), yang ditulis saat pembuangan di Pulau Buru.
Lewat tokoh Minke, Pram mengisahkan perjuangan melawan kolonialisme dan isu sosial-politik. Karyanya diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa, menjadikannya simbol sastra Indonesia di dunia. Ia pernah dinominasikan Nobel Sastra dan diakui sebagai tokoh penting yang membawa wajah Indonesia ke kancah internasional. Meski hidupnya penuh kontroversi karena keberpihakannya pada rakyat kecil, keberanian dan konsistensinya tetap menjadi inspirasi hingga akhir hayatnya pada 30 April 2006.