Akademisi Uncen: Lestarikan Kearifan Lokal Papua Melalui Sagu!
Akademisi Uncen, Marlina Flassy, menyerukan pelestarian kearifan lokal Papua dalam pengelolaan sagu, yang kaya akan nilai filosofis dan budaya.
Jayapura, 1 Januari 2024 (ANTARA) - Marlina Flassy, akademisi Universitas Cenderawasih (Uncen) di Jayapura, Papua, menyerukan pelestarian kearifan lokal Papua, khususnya dalam pengelolaan komoditas sagu. Seruan ini disampaikan saat beliau menghadiri Festival Sagu di Kampung Yoboi, Jayapura, Sabtu lalu. Beliau menekankan pentingnya menjaga warisan budaya yang melekat pada proses pengolahan sagu, agar tidak tergerus oleh modernisasi.
Flassy menjelaskan bahwa sagu bukan sekadar sumber pangan, tetapi memiliki multifungsi yang luas. Mulai dari daun, batang, hingga isinya, sagu memberikan manfaat besar bagi kehidupan masyarakat Papua. Lebih dari itu, proses pengolahan sagu menyimpan nilai filosofis yang dalam dan perlu dilindungi. Menurutnya, modernisasi berpotensi menggeser peran perempuan dan masyarakat adat dalam produksi sagu jika tidak diimbangi dengan kesadaran untuk menjaga budaya.
"Sagu menyimpan nilai filosofis yang harus dijaga di tengah arus modernisasi, kita tidak hanya mengambil isinya tetapi nilai-nilai kebudayaan dalam proses pengelolaannya harus dilestarikan, agar tidak tergerus zaman," tegas Flassy.
Nilai Budaya dalam Pengolahan Sagu
Flassy menyoroti proses menokok sagu (mengolah sagu) sebagai contoh nyata kearifan lokal yang perlu dilestarikan. Aktivitas ini bukan hanya sekadar kegiatan ekonomi, tetapi juga sarat akan nilai gotong royong dan kebersamaan. Lebih lanjut, proses menokok sagu menjadi media transfer pengetahuan antar generasi, dari orang tua kepada anak-anak dan pemuda. Hal ini merupakan aspek antropologis yang kaya dan perlu dijaga kelestariannya.
"Proses menokok sagu (mengolah sagu) mencerminkan nilai gotong royong dan kebersamaan, karena saat aktivitas ini berlangsung ada proses transfer pengetahuan antar generasi, yakni dari orang tua ke anak-anak dan pemuda, ini merupakan aspek antropologis yang kaya," ujarnya.
Selain itu, proses pengolahan sagu juga diiringi oleh nyanyian, lagu daerah, dan nasehat adat. Elemen-elemen budaya ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kearifan lokal Papua dan harus tetap dijaga kelestariannya. Flassy mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan antara kemajuan dan pelestarian budaya.
Ancaman Modernisasi dan Peran Pemerintah
Flassy menekankan pentingnya bijak dalam menyikapi pengaruh globalisasi. Aspek positif dari luar boleh diterima, tetapi nilai-nilai lokal yang telah ada sejak dahulu tidak boleh hilang. Beliau mengajak semua pihak, termasuk pemerintah dan akademisi, untuk bersinergi dalam upaya pelestarian budaya.
Festival Sagu, menurut Flassy, merupakan momen yang tepat untuk mengangkat nilai ekonomi sagu tanpa mengabaikan kearifan lokal. Program pembangunan modern harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak menggeser peran penting perempuan dan masyarakat adat dalam produksi sagu. Kesadaran bersama untuk menjaga budaya sangatlah penting dalam menghadapi tantangan modernisasi.
"Jangan sampai kita terbawa arus globalisasi hingga melupakan warisan leluhur, yang baik dari budaya kita ini harus tetap dijaga agar tetap hidup," pesannya.
Flassy berharap adanya sinergi antara pemerintah dan akademisi untuk menciptakan program-program yang mendukung pelestarian budaya. Hal ini penting agar kearifan lokal Papua, khususnya dalam pengelolaan sagu, tetap lestari untuk generasi mendatang.
Kesimpulan
Melalui Festival Sagu, Marlina Flassy mengajak semua pihak untuk menyadari pentingnya menjaga kearifan lokal Papua dalam pengelolaan sagu. Sagu bukan hanya komoditas ekonomi, tetapi juga simbol budaya dan identitas masyarakat Papua yang perlu dilindungi dari ancaman modernisasi. Pentingnya kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat adat dalam upaya pelestarian budaya ini sangatlah krusial.