APBN Defisit Rp31,2 Triliun: Reformasi Fiskal Jadi Kunci?
Defisit APBN Rp31,2 triliun di awal 2025 menjadi sinyalemen krisis fiskal dan mendesak reformasi fiskal untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia.

Jakarta, 13 Maret 2025 - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia mencatatkan defisit Rp31,2 triliun hingga 28 Februari 2025. Angka ini setara dengan 0,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan menjadi sorotan tajam para ekonom. Defisit ini muncul di tengah penurunan pendapatan negara dan penerimaan pajak yang signifikan, memicu kekhawatiran akan kesehatan fiskal Indonesia.
Penurunan pendapatan negara hingga 20,85 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, menjadi bukti tekanan berat yang dihadapi fondasi fiskal Indonesia. Penerimaan pajak juga anjlok drastis sebesar 30,19 persen, mencapai hanya Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target. Kondisi ini terjadi meskipun belanja negara tetap tinggi, mencapai Rp348,1 triliun.
Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, menyatakan bahwa situasi ini merupakan sinyalemen krisis fiskal yang serius. "Munculnya defisit fiskal sejak awal tahun menandai bahwa tahun 2025 tidak bisa lagi dipandang sebagai tahun fiskal biasa," tegas Achmad. Ia menambahkan bahwa implementasi sistem Coretax, yang diharapkan memodernisasi perpajakan, justru menjadi salah satu penghambat utama penerimaan pajak.
Analisis Defisit APBN dan Penurunan Penerimaan Pajak
Penurunan pendapatan negara dan penerimaan pajak secara signifikan menjadi perhatian utama. Achmad Nur Hidayat menyorot kesulitan wajib pajak dalam melaporkan dan membayar pajak melalui sistem Coretax sebagai salah satu faktor penyebab utama. Sistem baru ini, yang diharapkan menjadi tulang punggung modernisasi perpajakan, justru menimbulkan tantangan baru dan berdampak pada anjloknya penerimaan pajak.
Lebih lanjut, Achmad menjelaskan bahwa belanja negara yang tinggi, meskipun sedikit lebih rendah dari tahun lalu, tetap memberikan tekanan fiskal yang signifikan. Kebutuhan belanja yang mendesak, termasuk belanja sosial dan subsidi, turut memperparah kondisi defisit APBN. Perbandingan dengan surplus Rp26,04 triliun pada periode yang sama tahun lalu semakin mempertegas keprihatinan akan kondisi fiskal Indonesia saat ini.
Achmad juga memperingatkan potensi membengkaknya defisit hingga Rp800 triliun atau sekitar tiga persen dari PDB jika pemerintah tidak segera mengambil langkah antisipatif. "Jika reformasi fiskal tidak segera dilakukan, kita berisiko masuk dalam lingkaran defisit yang terus melebar, beban utang yang meningkat, dan terbatasnya ruang fiskal untuk mendukung kebutuhan dasar rakyat," ujarnya.
Solusi Strategis: Reformasi Fiskal yang Komprehensif
Untuk mengatasi krisis fiskal ini, Achmad merekomendasikan tiga langkah strategis. Pertama, audit independen terhadap sistem Coretax untuk mengatasi hambatan teknis dan mengembalikan penerimaan pajak ke jalur normal. Kedua, peninjauan ulang prioritas belanja negara dengan fokus pada program yang berdampak langsung pada rakyat miskin dan pemulihan ekonomi. Program-program populis yang tidak berkelanjutan perlu dievaluasi ulang.
Ketiga, diversifikasi sumber pendapatan negara melalui optimalisasi dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan efisiensi aset negara. Achmad menekankan pentingnya langkah nyata dalam menata fiskal negara, bukan hanya optimisme atau penundaan kebijakan. "Indonesia saat ini membutuhkan reformasi fiskal yang terukur dan dapat dilaksanakan dalam waktu dekat," pungkasnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa defisit Rp31,2 triliun masih berada dalam target APBN 2025 sebesar Rp616,2 triliun atau 2,53 persen dari PDB. Pernyataan ini tetap tidak mengurangi keprihatinan akan kondisi fiskal Indonesia yang membutuhkan reformasi yang komprehensif dan segera.