APBN Gelontorkan Rp610 Triliun untuk Aksi Iklim hingga 2023
Pemerintah telah menggelontorkan Rp610,12 triliun dari APBN untuk aksi iklim sejak 2016 hingga 2023, namun masih membutuhkan dana lebih besar untuk mencapai target 2030.

Jakarta, 25 April 2024 - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah mengalokasikan dana signifikan untuk upaya penanggulangan perubahan iklim. Sejak tahun 2016 hingga 2023, total dana yang telah digelontorkan mencapai angka Rp610,12 triliun. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menghadapi tantangan perubahan iklim yang semakin mendesak.
Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral BKF Kemenkeu, Boby Wahyu Hernawan, menjelaskan bahwa rata-rata pendanaan APBN untuk iklim mencapai Rp76,3 triliun per tahun, atau sekitar 3,2 persen dari total APBN. Meskipun angka ini terbilang besar, Boby menekankan bahwa jumlah tersebut baru mencakup 12,3 persen dari total kebutuhan pembiayaan iklim hingga tahun 2030. Artinya, masih dibutuhkan upaya yang lebih besar untuk mencapai target yang telah ditetapkan.
Data dari Bank Dunia menunjukkan potensi positif dari transisi energi bagi perekonomian Indonesia. Transisi ini diproyeksikan dapat meningkatkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 1-1,5 persen per tahun hingga tahun 2030. Peningkatan ini akan didorong oleh investasi di sektor energi terbarukan, diversifikasi industri, dan penciptaan lapangan kerja baru.
Insentif Fiskal dan Pembiayaan Inovatif
Pemerintah terus berupaya mengoptimalkan pembiayaan publik dan mendorong partisipasi aktif sektor swasta dalam upaya penanggulangan perubahan iklim. Dari sisi pemerintah, Kemenkeu telah memberikan berbagai insentif pajak, khususnya untuk sektor pembangkit listrik terbarukan dan kendaraan listrik. Sejak tahun 2019 hingga 2024, total insentif fiskal yang diberikan mencapai Rp38,8 triliun, dan diperkirakan akan mencapai Rp51,5 triliun hingga akhir tahun 2025.
Selain insentif pajak, pemerintah juga tengah mengembangkan skema pembiayaan inovatif, seperti penerbitan green sukuk dan SDG bonds. Penerapan taksonomi keuangan berkelanjutan juga menjadi bagian dari strategi pemerintah untuk mengarahkan investasi ke sektor-sektor yang ramah lingkungan. Model blended finance, yang menggabungkan pembiayaan publik dan swasta, juga diterapkan untuk memperluas jangkauan pendanaan.
Pemerintah juga mendorong sektor swasta untuk berperan aktif dalam mengurangi emisi karbon. Hal ini mencakup penerapan praktik bisnis berkelanjutan, inovasi teknologi ramah lingkungan, efisiensi energi, ekonomi sirkular, dan pelaporan jejak karbon produk. Program climate budget tagging dan kebijakan nilai ekonomi karbon juga diterapkan untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas.
Dorongan untuk Swasta dan Pasar Internasional
Pemerintah mendorong pelaku usaha untuk proaktif dalam mengurangi emisi karbon dan menerapkan praktik berkelanjutan. Hal ini termasuk berinovasi dalam teknologi ramah lingkungan seperti efisiensi energi, ekonomi sirkular, dan pelaporan jejak karbon produk. Lebih lanjut, pemerintah juga mendorong pelaku usaha untuk melakukan climate budget tagging dan mendukung pelaksanaan kebijakan nilai ekonomi karbon, yang kini telah terbuka untuk pasar domestik dan internasional.
Dengan keterbukaan pasar domestik dan internasional untuk kebijakan nilai ekonomi karbon, diharapkan akan semakin banyak investasi yang masuk ke Indonesia untuk mendukung upaya penanggulangan perubahan iklim. Hal ini akan mempercepat transisi energi dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kesimpulannya, upaya pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim melalui alokasi dana APBN yang besar dan berbagai strategi inovatif menunjukkan komitmen yang kuat. Namun, kolaborasi yang erat antara pemerintah dan sektor swasta, serta dukungan dari pasar internasional, tetap menjadi kunci keberhasilan dalam mencapai target pembiayaan iklim hingga tahun 2030.