ASEAN-IPR: Kepemimpinan RI di JIM Buka Jalan Perdamaian Kamboja
ASEAN-IPR memuji peran Indonesia dalam Jakarta Informal Meeting (JIM) di akhir 1980-an yang dinilai berhasil menciptakan ruang dialog untuk perdamaian di Kamboja.

Jakarta, 29 April (ANTARA) - Institut ASEAN untuk Perdamaian dan Rekonsiliasi (ASEAN-IPR) memberikan apresiasi tinggi terhadap kepemimpinan Indonesia dalam Jakarta Informal Meeting (JIM) pada akhir 1980-an. ASEAN-IPR menilai peran tersebut sangat krusial dalam menciptakan ruang dialog yang membuka jalan bagi proses perdamaian di Kamboja yang dilanda konflik berdarah selama bertahun-tahun.
JIM, sebuah inisiatif diplomatik pemerintah Indonesia, dibentuk untuk menyelesaikan konflik antara Kamboja dan Vietnam. Direktur Eksekutif ASEAN-IPR, I Gusti Agung Wesaka Puja, dalam seminar di Jakarta pada Selasa (29/4) menekankan pentingnya peran Indonesia dalam membuka dialog inklusif sebagai kunci utama dalam proses perdamaian yang panjang dan kompleks ini. “Ini bukan acara yang berlangsung dalam semalam. Dibutuhkan banyak proses dan negosiasi. Dan membuka dialog yang inklusif adalah proses yang sangat, sangat penting,” ujar Puja.
Proses perdamaian Kamboja melalui JIM bukanlah hal yang mudah. Pertemuan pertama di Bogor pada 25-28 Juli 1988, dihadiri delapan negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand, Filipina, Laos, dan Vietnam) serta empat faksi Kamboja yang terlibat konflik. Hasilnya, tercapai pemahaman untuk menghentikan penderitaan rakyat Kamboja, membentuk Kamboja yang merdeka, berdaulat, netral, dan tidak memihak, serta membentuk pemerintahan rekonsiliasi nasional. Namun, implementasi dari poin-poin tersebut menghadapi tantangan besar.
Tantangan Perdamaian Kamboja dan Peran Indonesia
Salah satu tantangan utama adalah menetapkan kerangka rekonsiliasi nasional dan menyingkirkan kekuatan Pol Pot sebagai entitas politik dan militer. Tantangan ini menjadi fokus utama dalam JIM fase kedua yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Ali Alatas. Dalam JIM II di Jakarta pada 16-18 Februari, bahasan difokuskan pada penarikan pasukan Vietnam dari Kamboja dan pembentukan pemerintahan transisi kuadripartit.
Pertemuan JIM II menghasilkan Pernyataan Ketua yang meliputi penarikan pasukan Vietnam, Mekanisme Kontrol Internasional, dan pengesahan Konferensi Internasional. Hasil ini mendorong terselenggaranya Konferensi Internasional mengenai Kamboja di Paris pada Juli 1989. Indonesia kembali berperan penting dengan menyelenggarakan pertemuan lanjutan di Jakarta, menghasilkan poin-poin kemungkinan kesepahaman, termasuk keterlibatan PBB dan pembentukan Dewan Nasional Tertinggi (Supreme National Council/SNC).
Indonesia tidak hanya berhasil menciptakan ruang dialog, tetapi juga memahami batasan dan membuka dialog inklusif. Puja menambahkan, “Perdamaian adalah persoalan kehendak. Setiap konflik dapat diselesaikan, dan tidak ada alasan untuk membiarkan konflik menjadi abadi.” Pernyataan ini menggarisbawahi komitmen Indonesia dalam menyelesaikan konflik dan membangun perdamaian.
Kesimpulan
Peran Indonesia dalam JIM menjadi contoh nyata bagaimana diplomasi yang inklusif dan komprehensif dapat membuka jalan menuju perdamaian. Keberhasilan Indonesia dalam memfasilitasi dialog dan negosiasi antar pihak yang bertikai di Kamboja menunjukkan pentingnya kepemimpinan regional dalam menyelesaikan konflik dan membangun perdamaian berkelanjutan. Proses perdamaian Kamboja membuktikan bahwa dengan ketekunan dan komitmen, bahkan konflik yang paling kompleks pun dapat diselesaikan.