Brigade Beruang Ringkus Pembalak Liar di Suaka Margasatwa Kerumutan, Riau
Brigade Beruang berhasil mengamankan pembalak liar beserta 211 keping kayu olahan ilegal di Suaka Margasatwa Kerumutan, Riau; pelaku merupakan residivis kasus serupa.

Tim Brigade Beruang Balai Penegakan Hukum Kementerian Kehutanan Wilayah Sumatera berhasil menangkap seorang pembalak liar di Suaka Margasatwa Kerumutan, Kabupaten Pelalawan, Riau. Penangkapan ini terjadi pada Minggu, 9 Maret 2024, di Jalan lintas Bono, Desa Pangkalan Terap, Kecamatan Teluk Meranti. Pelaku, berinisial RA (53), warga Desa Sukamulya, Bangkinang, Kabupaten Kampar, ditangkap saat mengangkut 211 keping kayu olahan berbagai jenis tanpa dokumen resmi.
Operasi gabungan yang melibatkan Balai Gakkum Kehutanan Wilayah Sumatera dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau ini membuahkan hasil signifikan. Selain penangkapan pelaku, tim juga mengamankan satu unit truk yang digunakan untuk mengangkut kayu ilegal tersebut. Keberhasilan ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam melindungi kawasan konservasi dari aktivitas ilegal.
Kepala Balai Gakkum Kehutanan Wilayah Sumatera, Hari Novianto, menyatakan bahwa RA merupakan residivis kasus serupa. Hal ini menunjukkan bahwa penindakan hukum terhadap kejahatan lingkungan perlu diperketat. Pihaknya juga tengah menyelidiki kemungkinan keterlibatan pihak lain dalam aksi pembalakan liar ini. "Dari hasil pemeriksaan, ternyata RA (53) juga merupakan residivis untuk perkara serupa. Kami juga telah memerintahkan Penyidik Gakkumhut untuk menjerat pelaku lainnya yang diduga terlibat," ujar Hari Novianto.
Penangkapan dan Proses Hukum
Setelah diamankan, RA (53) langsung ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rumah Tahanan Kelas I Pekanbaru pada Rabu, 12 Maret 2024. Barang bukti berupa truk dan kayu olahan ilegal kini diamankan di Seksi Gakkum Kehutanan Wilayah II Pekanbaru. Proses hukum terhadap tersangka terus berlanjut.
RA dijerat dengan Pasal 83 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagaimana telah diubah dengan Pasal 37 Angka 13 UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Ancaman hukuman yang dihadapi RA cukup berat, yaitu pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp2,5 miliar.
Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa kejahatan lingkungan, khususnya pembalakan liar, masih menjadi ancaman serius bagi kelestarian hutan Indonesia. Penindakan tegas dan konsisten dari aparat penegak hukum sangat diperlukan untuk memberikan efek jera dan melindungi kawasan konservasi seperti Suaka Margasatwa Kerumutan.
Dampak Pembalakan Liar
Pembalakan liar di Suaka Margasatwa Kerumutan memiliki dampak yang sangat merugikan bagi lingkungan dan ekosistem. Aktivitas ini mengakibatkan kerusakan hutan, hilangnya habitat satwa liar, dan berpotensi memicu bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Selain itu, pembalakan liar juga merugikan negara dari sisi ekonomi karena mengurangi potensi pendapatan dari sektor kehutanan yang berkelanjutan.
Pemerintah terus berupaya untuk memberantas pembalakan liar melalui berbagai strategi, termasuk peningkatan pengawasan, penegakan hukum, dan kerjasama dengan masyarakat. Partisipasi aktif masyarakat dalam melaporkan aktivitas ilegal sangat penting untuk mendukung upaya pelestarian hutan dan lingkungan.
Keberhasilan penangkapan RA diharapkan dapat menjadi contoh bagi pelaku kejahatan lingkungan lainnya. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten akan memberikan efek jera dan melindungi hutan Indonesia dari ancaman kerusakan yang lebih besar.
Langkah-langkah pencegahan dan penindakan terhadap pembalakan liar harus terus ditingkatkan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam. Kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan pihak terkait lainnya sangat penting dalam upaya ini.
Kesimpulan
Pengungkapan kasus pembalakan liar di Suaka Margasatwa Kerumutan oleh Brigade Beruang menunjukkan komitmen pemerintah dalam melindungi hutan dan satwa liar. Penangkapan residivis ini menjadi bukti pentingnya penegakan hukum yang tegas untuk mencegah praktik ilegal tersebut dan melindungi lingkungan Indonesia.