Dari Amir JI Jadi Pelopor NKRI: Kisah Para Wijayanto dan Transformasi Ideologi Napiter di Nusakambangan
Saksikan bagaimana mantan amir Jamaah Islamiyah, Para Wijayanto, memimpin gerakan Transformasi Ideologi Napiter di Nusakambangan, menyerukan kembali setia pada NKRI dari balik jeruji besi.

Di balik jeruji besi Lapas Nusakambangan, sebuah narasi perubahan signifikan tengah bergulir. Mantan pemimpin tertinggi Jamaah Islamiyah (JI), Para Wijayanto, kini lantang menyuarakan dakwah moderat yang mengajak narapidana terorisme (napiter) kembali setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ajakan ini bukan sekadar retorika, melainkan sebuah seruan untuk transformasi ideologi mendalam. Para Wijayanto, yang pernah menjabat amir JI dari 2008 hingga 2019, kini menjadi pelopor gerakan "Rumah Wasathiyah" di tengah lapas.
Kegiatan ini bertujuan membalikkan pemahaman ekstremisme menjadi Islam moderat dan cinta tanah air. Inisiatif ini dilaksanakan di empat lapas di Nusakambangan, menyasar puluhan napiter, termasuk mereka dari kelompok lain.
Rumah Wasathiyah: Gerakan Transformasi Ideologi dari Dalam
Rumah Wasathiyah merupakan inisiatif transformatif yang diinisiasi oleh para mantan tokoh JI. Program ini mendapat dukungan dari berbagai akademisi lintas ormas, termasuk NU, Muhammadiyah, UIN, dan UNU.
Gerakan ini berupaya membangun kesadaran ideologis berbasis literatur klasik Islam, dikenal sebagai turats. Pendekatan yang digunakan bersifat damai dan dialogis, menekankan konsep wasathiyah atau jalan tengah.
Berbeda dengan program deradikalisasi konvensional, Rumah Wasathiyah menembus akar ideologi. Mereka menggunakan kitab-kitab klasik ulama seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu Katsir sebagai rujukan utama.
Pendekatan ini dipilih agar para napiter tidak resisten, karena materi disampaikan melalui sumber yang mereka akui. Para Wijayanto menekankan bahwa perubahan ideologi harus didasari ilmu, bukan sekadar pura-pura demi remisi.
Pembubaran JI dan Penerimaan NKRI
Para Wijayanto menjelaskan bahwa pembubaran Al-Jamaah Al-Islamiyah didasarkan pada 42 pertimbangan syariat. Pertimbangan ini tertuang dalam buku "JI: The Untold Story" yang terbit tahun 2024.
Aspek-aspek seperti kemaslahatan umum (maslahah) dan politik syar’i (siyasah syar’iyyah) menjadi dasar utama. Kontekstualisasi hukum Islam dalam negara modern seperti Indonesia turut dipertimbangkan secara mendalam.
Salah satu poin krusial adalah penerimaan NKRI sebagai kesepakatan nasional yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Para Wijayanto mencontohkan sistem pemerintahan pada masa awal Islam yang bervariasi, menunjukkan bahwa Islam tidak mengharuskan bentuk khilafah.
Ia mengakui pernah menolak demokrasi dan menganggap NKRI sebagai thaghut. Namun, setelah studi mendalam, ia menyadari kekeliruan pemikiran yang terlalu rigid dan ahistoris tersebut.
Legitimasi dari Dalam: Efektivitas Pendekatan Figuratif
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Provinsi Jawa Tengah, Mardi Santoso, mengapresiasi pendekatan figuratif ini. Ia menilai hal ini sangat penting dalam proses pemulihan ideologi napiter.
Para Wijayanto dianggap sosok yang tepat karena latar belakangnya sebagai mantan yang kini berkomitmen kepada NKRI. Budaya bangsa Indonesia memang membutuhkan figur dan keteladanan dalam perubahan.
Pihak lapas mendukung penuh upaya ini karena Para Wijayanto memiliki legitimasi moral yang kuat. Ia bukan orang luar yang menggurui, melainkan seseorang yang pernah berada di dalam dan memilih jalan kembali.
Transformasi ideologi bukanlah proses instan, melainkan membutuhkan waktu, dialog, dan keberanian. Kisah Para Wijayanto menjadi bukti nyata bahwa harapan dapat tumbuh bahkan dalam kondisi tergelap sekalipun.