Dilema Impor Minyak Indonesia: Antara Singapura dan AS
Kebijakan proteksionis AS dan dinamika harga minyak global memaksa Indonesia menghadapi dilema dalam impor minyak, antara Singapura dan AS, dengan pertimbangan ekonomi dan geopolitik.

Indonesia menghadapi dilema dalam impor minyak. Pergeseran impor dari Singapura ke Amerika Serikat (AS) dalam beberapa tahun terakhir bukan hanya karena fluktuasi harga global atau diversifikasi pasokan, tetapi juga tekanan geopolitik dan kebijakan perdagangan AS yang proteksionis.
Perubahan ini bermula dari kebijakan tarif agresif AS di era Donald Trump (2018-2020). Tarif tambahan 25 persen untuk baja dan 10 persen untuk aluminium, termasuk dari Indonesia, berdampak signifikan pada ekspor Indonesia ke AS. Meskipun pangsa ekspor baja Indonesia ke AS kecil, kebijakan ini mengakibatkan penurunan drastis nilai ekspor baja Indonesia ke AS.
Selain itu, ancaman pencabutan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) oleh AS pada 2019, yang memungkinkan produk Indonesia masuk ke AS dengan tarif rendah, semakin memperumit situasi. Ancaman tarif tambahan untuk impor dari Indonesia, termasuk pakaian jadi, juga memberikan tekanan besar pada Indonesia.
Peningkatan Impor Minyak sebagai Diplomasi Ekonomi
Pemerintah Indonesia menggunakan peningkatan impor minyak dari AS sebagai strategi diplomasi ekonomi. Dengan meningkatkan impor energi dari AS, Indonesia berupaya mengurangi defisit perdagangan, memperkuat posisi tawar dalam negosiasi tarif, mempertahankan fasilitas GSP, dan menghindari sanksi tambahan.
Strategi ini mirip dengan yang diterapkan China sebelumnya. Meningkatkan impor dari AS bertujuan untuk mengurangi defisit perdagangan dan mencegah eskalasi perang dagang. Namun, Singapura, sebagai hub energi utama Asia, juga merasakan dampak penurunan impor minyak Indonesia.
Penurunan impor Indonesia berpotensi mengurangi pendapatan sektor energi Singapura. Meskipun Singapura mampu memitigasi risiko ini melalui diversifikasi pasar (meningkatkan ekspor ke India dan Vietnam), penurunan permintaan dari Indonesia tetap berdampak pada margin keuntungan kilang Singapura.
Analisis Perbandingan: Singapura vs. AS
Indonesia berhasil mempertahankan fasilitas GSP senilai 2,1 miliar dolar AS pada 2023 berkat peningkatan impor minyak dari AS. Harga minyak mentah AS (WTI) juga lebih murah dibandingkan minyak Singapura pada 2023. Diversifikasi risiko geopolitik juga menjadi pertimbangan, mengurangi ketergantungan pada Selat Malaka.
Namun, terdapat tantangan. Biaya logistik impor minyak dari AS jauh lebih tinggi daripada dari Singapura, dan ketergantungan pada dolar AS meningkatkan risiko akibat fluktuasi nilai tukar. Pelemahan Rupiah terhadap dolar AS pada 2023 menambah beban impor.
Meskipun ekspor non-migas Indonesia ke AS meningkat, defisit perdagangan Indonesia-AS juga meningkat pada 2023. Hal ini menunjukkan bahwa strategi peningkatan impor minyak dari AS belum sepenuhnya efektif dalam mengatasi defisit perdagangan secara keseluruhan.
Risiko Fluktuasi Harga Minyak Global dan Kebijakan Proteksionis AS
Kebijakan proteksionis AS berlanjut, dengan Inflation Reduction Act (IRA) yang mensubsidi energi hijau AS. Indonesia berisiko menghadapi tarif baru jika defisit perdagangan AS-Indonesia tidak terkendali. Harga minyak global juga menjadi faktor risiko.
Pasokan minyak AS ke Indonesia bisa terhambat jika harga global turun di bawah level yang menguntungkan produsen shale oil AS. Persaingan dengan produsen minyak lain, seperti Arab Saudi dan Rusia yang menawarkan harga lebih murah, juga menjadi ancaman.
Negara lain seperti Jepang dan India juga telah mengambil langkah-langkah untuk mengamankan pasokan minyak mereka, termasuk investasi di kilang AS dan diversifikasi pemasok.
Langkah Strategis Indonesia
Indonesia perlu memperkuat diplomasi perdagangan, mendorong skema barter CPO-minyak AS, dan memprioritaskan investasi di kilang domestik melalui proyek RDMP dan GRR untuk mengurangi ketergantungan impor BBM. Hedging terhadap risiko nilai tukar dan diversifikasi ke energi terbarukan juga sangat penting.
Dengan meningkatkan kapasitas kilang domestik dan berinvestasi pada energi terbarukan, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor minyak jangka panjang dan memperkuat ketahanan energinya. Hal ini akan mengurangi kerentanan terhadap fluktuasi harga minyak global dan kebijakan proteksionis negara lain.
Kesimpulannya, dilema impor minyak Indonesia antara Singapura dan AS menuntut strategi yang komprehensif, menggabungkan diplomasi ekonomi, diversifikasi pasokan, peningkatan kapasitas kilang domestik, dan transisi ke energi terbarukan. Hanya dengan pendekatan terintegrasi tersebut, Indonesia dapat memastikan ketahanan energi dan mengurangi kerentanan terhadap gejolak global.