DPR RI Tegaskan Pentingnya Etika Digital, Waspada 80% Informasi di Medsos Tak Selalu Benar!
Legislator DPR RI Syamsu Rizal menyoroti urgensi etika digital di tengah banjir informasi media sosial. Lebih dari 80% sumber berasal dari digital, menuntut kecakapan memilih dan memilah.

Legislator Komisi I DPR RI, Syamsu Rizal, menekankan pentingnya pemahaman etika digital bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama pengguna media sosial. Di era digitalisasi saat ini, ribuan konten, baik positif maupun negatif, membanjiri ruang maya, menuntut kecakapan digital yang mumpuni.
Pernyataan ini disampaikan Syamsu Rizal saat kegiatan pelatihan Digital Entrepreneur Akademi (DEA) di Kantor BBPSDMP Makassar, Sulawesi Selatan. Menurutnya, kecakapan digital bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga kemampuan memilih informasi yang penting, benar, dan produktif.
Ia mengingatkan bahwa perilaku di dunia maya sangat mencerminkan identitas seseorang di dunia nyata. Oleh karena itu, pentingnya etika digital, seperti tidak sembarangan mengunggah atau menyebarkan informasi, menjadi krusial untuk menjaga citra diri dan menghindari dampak negatif.
Dominasi Informasi Digital dan Tantangan Etika
Syamsu Rizal mengungkapkan bahwa lebih dari 80 persen sumber informasi saat ini berasal dari media digital atau media sosial. Angka ini jauh melampaui media konvensional seperti koran, radio, dan televisi yang hanya menyumbang sekitar 20 persen dan mulai ditinggalkan.
Meskipun demikian, ia mengingatkan bahwa tidak semua informasi digital yang tersebar adalah benar dan relevan. Masyarakat diminta untuk tidak terjebak pada konten-konten yang justru menyita waktu dan energi tanpa memberikan manfaat.
Perilaku sembrono di media sosial dapat berdampak serius pada citra diri seseorang di kehidupan nyata. Jika seseorang tidak memahami etika digital, meskipun merasa cakap menggunakan platform digital, ia sebenarnya belum memahami esensi kemampuan digital seutuhnya.
Etika Digital: Lebih dari Sekadar Cakap Teknologi
Perkembangan digitalisasi terus melaju pesat, tidak hanya melibatkan generasi milenial dan Gen-Z, tetapi juga telah merambah ke generasi Alpha. Berbeda dengan generasi Baby Boomer (kelahiran 1940-1960-an) yang mungkin kesulitan beradaptasi, generasi muda harus lebih proaktif.
Syamsu Rizal menegaskan bahwa cakap teknologi saja tidak cukup; pemahaman etika digital adalah keharusan. Etika digital membimbing pengguna untuk memilah informasi yang cocok, benar, dan tidak mengganggu orang lain di dunia maya, sekaligus mengedukasi untuk melakukan hal-hal positif.
Kesalahan dalam penggunaan media sosial dapat berujung pada konsekuensi hukum serius, seperti pencemaran nama baik dan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pelanggaran ini bisa menyebabkan tuntutan hukum, persidangan, hingga kerenggangan hubungan sosial.
Apresiasi dan Harapan untuk Generasi Digital Produktif
Mantan Wakil Wali Kota Makassar ini menyampaikan apresiasi kepada peserta pelatihan DEA yang memilih hadir dan belajar demi meningkatkan kapasitas diri di era digital. Ia menyoroti bahwa kecakapan digital sangat penting, terutama bagi generasi berusia di atas 50 tahun.
Syamsu Rizal berharap lulusan DEA tidak membuang energi untuk hal-hal negatif di media sosial, melainkan fokus pada pengembangan usaha yang lebih produktif dan beretika. Pelatihan DEA, yang diselenggarakan oleh Komdigi RI, membekali peserta dengan kemampuan marketing digital berbasis Artificial Intelligence (AI), khususnya bagi pengusaha pemula, UMKM, dan mahasiswa.
Kepala Pusat Pengembangan Literasi Digital BPSDM Komdigi RI, Rizki Ameliah, menambahkan bahwa BPSDM Komdigi RI telah mengembangkan modul CABE, singkatan dari Cakap Digital, Aman Digital, Budaya Digital, dan Etika Digital. Kepala Balai Besar Pengembangan SDM dan Penelitian (BBPSDMP) Kominfo Makassar, Baso Saleh, juga menegaskan manfaat pelatihan ini mengingat gadget tidak bisa lepas dari aktivitas keseharian di zaman digital.