Dugaan Pertamax Oplosan: Ujian Integritas Tata Kelola Energi Indonesia
Kasus dugaan pencampuran Pertalite ke Pertamax mengguncang Pertamina dan memicu krisis kepercayaan publik terhadap tata kelola energi Indonesia, menuntut transparansi dan pengawasan yang lebih ketat.

Dugaan pencampuran bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite ke dalam Pertamax telah menimbulkan polemik besar dan menguji kepercayaan publik terhadap PT Pertamina Patra Niaga. Peristiwa ini terjadi di Jakarta dan sekitarnya, bermula dari temuan Kejaksaan Agung terkait dugaan korupsi yang menyebabkan kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah. Pihak Pertamina membantah keras tuduhan tersebut, menyatakan bahwa proses penambahan aditif dan pewarna pada Pertamax dilakukan sesuai standar dan diawasi ketat, sementara Kejaksaan Agung telah menetapkan sejumlah tersangka terkait dugaan pengoplosan BBM.
Pertamina menegaskan bahwa mereka tidak melakukan pencampuran BBM RON 90 (Pertalite) menjadi RON 92 (Pertamax). Mereka mengklaim telah menerapkan sistem quality control yang ketat, termasuk penggunaan teknologi Electronic Test Report Internal Pertamina (ELTRO), untuk memastikan kualitas BBM sesuai spesifikasi. Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo, bahkan menyatakan bahwa penambahan aditif bertujuan meningkatkan performa BBM, bukan mengubah nilai oktan. Namun, pernyataan ini masih dipertanyakan oleh berbagai pihak, termasuk publik yang merasa dirugikan.
Polemik ini bukan hanya soal dugaan Pertamax oplosan, melainkan juga tentang tata kelola energi di Indonesia. Kepercayaan publik yang tergerus menuntut keterbukaan, sistem yang kuat, dan pengawasan independen. Kerugian negara yang ditaksir mencapai ratusan triliun rupiah semakin memperparah situasi dan menambah tekanan bagi Pertamina dan pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah ini dengan transparan dan akuntabel.
Dugaan Pengoplosan dan Tanggapan Pertamina
PT Pertamina Patra Niaga secara tegas membantah tuduhan pengoplosan Pertamax. Mereka menjelaskan bahwa proses di terminal BBM hanya melibatkan penambahan aditif dan pewarna, tanpa mengubah nilai oktan. Sistem ELTRO diklaim mampu memastikan kualitas BBM tetap sesuai standar. Pernyataan ini diperkuat oleh penjelasan panjang lebar mengenai keterbatasan fasilitas blending di terminal penyimpanan Pertamina.
Pertamina juga menekankan pengawasan ketat dari pemerintah terhadap distribusi dan kualitas BBM. Sampling BBM secara rutin dilakukan oleh pihak independen. Namun, penetapan tersangka oleh Kejaksaan Agung terkait dugaan korupsi dan pengoplosan BBM periode 2018-2023 menimbulkan pertanyaan besar dan keraguan publik terhadap penjelasan Pertamina.
Penjelasan dari Pertamina yang menyebut bahwa blending hanya untuk meningkatkan kualitas BBM, bukan mengubah nilai oktan, masih memerlukan bukti yang lebih kuat dan transparan untuk meyakinkan publik. Kepercayaan publik tidak bisa dibangun hanya dengan pernyataan, tetapi membutuhkan bukti nyata dan akuntabilitas yang tinggi.
Reaksi Publik dan Tuntutan Transparansi
Polemik ini memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). YLKI mendesak audit ulang kualitas BBM Pertamina dan publikasi hasil pengujian secara transparan. Hal ini menunjukkan ketidakpercayaan publik terhadap jaminan kualitas yang diberikan Pertamina.
Dampak dari BBM di bawah standar tidak hanya teknis, tetapi juga berdampak ekonomi dan lingkungan. Kerusakan mesin kendaraan, biaya perawatan yang meningkat, dan penurunan produktivitas masyarakat adalah beberapa konsekuensi yang mungkin terjadi. Ketidakpercayaan ini juga berpotensi mengganggu stabilitas pasar dan mendorong konsumen beralih ke alternatif lain yang lebih mahal.
Wakil Ketua Komisi XII DPR, Bambang Haryadi, setelah mendengarkan penjelasan Pertamina, meyakini adanya mispersepsi terkait istilah blending. Namun, hal ini tidak cukup untuk meredam polemik. Langkah konkret dan transparansi mutlak diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Pentingnya Pengawasan dan Reformasi
Pengawasan kualitas BBM di Indonesia perlu direformasi untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Meskipun sistem ELTRO telah memberikan fondasi yang baik, peningkatan lebih lanjut diperlukan untuk mencegah potensi kecurangan. Pemberdayaan konsumen melalui kanal pengaduan yang responsif dan berbasis teknologi juga penting untuk meningkatkan pengawasan.
Pemerintah perlu membentuk tim independen untuk mengaudit kualitas BBM dan mempublikasikan hasilnya secara berkala. Pengawasan ketat terhadap rantai distribusi, sanksi tegas bagi pelaku penyimpangan, dan peningkatan standar produksi BBM dalam negeri juga merupakan langkah krusial untuk jangka panjang. Investasi dalam teknologi kilang yang lebih modern akan mengurangi ketergantungan pada impor BBM dan meningkatkan kualitas BBM di dalam negeri.
Persoalan ini tidak hanya tentang dugaan pencampuran BBM atau kerugian negara, tetapi juga tentang kepercayaan publik terhadap sistem pengelolaan energi nasional. Transparansi, pengawasan independen, dan inovasi teknologi menjadi kunci untuk mengembalikan kepercayaan tersebut. Pertamina, pemerintah, dan Kejaksaan Agung harus bekerja sama untuk menyelesaikan polemik ini secara transparan dan akuntabel.