Fakta Mengejutkan: Anak Keluarga Perokok Lebih Rentan Alami Stunting, Ini Penjelasan PKJS UI
Penelitian PKJS UI mengungkap anak dari keluarga perokok sangat rentan mengalami stunting. Pengeluaran untuk rokok mengurangi gizi, asap rokok mengganggu janin.

Jakarta – Permasalahan stunting pada anak menjadi isu krusial yang terus diupayakan penanganannya di Indonesia. Studi terbaru dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menyoroti salah satu faktor risiko yang mungkin terlewatkan: kebiasaan merokok dalam keluarga.
Ketua PKJS UI, Aryana Satrya, mengungkapkan bahwa perilaku merokok orang tua memiliki dampak signifikan terhadap pertumbuhan anak, khususnya dalam kasus stunting. Hal ini terjadi baik secara tidak langsung melalui alokasi dana maupun secara langsung melalui paparan asap rokok.
Temuan ini menggarisbawahi pentingnya kesadaran akan bahaya rokok yang melampaui kesehatan individu perokok, menjangkau kesejahteraan generasi mendatang. Diskusi mengenai dampak ini mengemuka dalam sebuah workshop media bertajuk "Advokasi Tobacco Tax dan Tobacco Control" yang diselenggarakan di Jakarta pada Rabu (24/7).
Dampak Langsung dan Tidak Langsung Rokok pada Stunting Anak
Aryana Satrya menjelaskan bahwa rokok berkontribusi pada stunting melalui dua jalur utama. Pertama, secara tidak langsung, keluarga dengan kondisi ekonomi pas-pasan yang memiliki anggota perokok cenderung mengalokasikan dana untuk membeli rokok, alih-alih memenuhi kebutuhan gizi anak. Prioritas pengeluaran ini secara langsung memengaruhi asupan nutrisi esensial yang diperlukan untuk tumbuh kembang optimal anak, sehingga meningkatkan risiko stunting.
Kedua, dampak langsung terjadi ketika ibu hamil terpapar asap rokok. Zat karsinogenik dari asap rokok yang terhirup dapat masuk ke sirkulasi darah janin, kemudian mengganggu pusat otak janin. Gangguan pada perkembangan otak ini secara fundamental dapat menghambat pertumbuhan janin dan berujung pada kondisi stunting saat lahir atau di kemudian hari.
Riset yang dilakukan oleh PKJS UI pada tahun 2018 juga memperkuat temuan ini. Studi tersebut menunjukkan bahwa perilaku merokok orang tua tidak hanya memengaruhi tinggi badan anak, tetapi juga inteligensia mereka. Anak-anak dari keluarga perokok ditemukan memiliki tinggi badan rata-rata 0,34 cm lebih pendek dibandingkan anak dari keluarga yang tidak merokok. Selain itu, mereka cenderung memiliki kesehatan yang lebih terganggu dan skor IQ yang lebih rendah.
Peran Orang Tua dan Kolaborasi Lintas Sektoral dalam Pencegahan
Menanggapi ancaman serius ini, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau dan Penyakit Paru Direktorat Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Benget Saragih, menekankan pentingnya peran orang tua sebagai teladan. Ia menyampaikan bahwa jika orang tua tidak merokok, kemungkinan anak untuk tidak merokok sangat tinggi, mencapai 89 persen. Sisanya, sekitar 11 persen, masih mungkin merokok karena pengaruh lingkungan atau teman sebaya.
Benget menambahkan bahwa nasihat orang tua mengenai bahaya merokok akan menjadi tidak efektif jika orang tua sendiri adalah perokok. Anak cenderung meniru perilaku orang tua, sehingga konsistensi antara perkataan dan perbuatan menjadi kunci dalam membentuk kebiasaan sehat pada anak. Kementerian Kesehatan terus berupaya melindungi anak-anak dari paparan rokok dan mendorong mereka untuk berhenti merokok.
Upaya ini merupakan bagian integral dari visi besar Indonesia Emas 2045, di mana generasi muda yang sehat dan cerdas akan menjadi tulang punggung pembangunan bangsa. Oleh karena itu, pengendalian tembakau tidak dapat hanya menjadi tugas satu pihak. Benget Saragih menegaskan bahwa diperlukan kolaborasi lintas sektoral dari semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan keluarga, untuk mencapai tujuan tersebut secara efektif.