Fakta Unik: Pelestarian Pusaka Bukan Sekadar Objek Mati, Sultan HB X Dorong Pendekatan Inklusif
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menekankan pentingnya Pelestarian Pusaka yang inklusif dan responsif. Bagaimana pendekatan baru ini dapat menjaga jati diri kota?

Yogyakarta, 06 Agustus – Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X menegaskan pentingnya Pelestarian Pusaka yang terus berkembang. Pendekatan ini harus lebih inklusif, responsif, dan berakar pada kesadaran kolektif masyarakat. Menurut Sultan, yang ingin dirawat bukan hanya objek fisik, tetapi juga jati diri yang terus hidup di dalamnya.
Pernyataan tersebut disampaikan Sultan saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) XI Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) 2025 di Yogyakarta pada Rabu. Rakernas ini mengusung tema “Resiliensi Kawasan Cagar Budaya Guna Mendorong Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan”. Acara tersebut dihadiri oleh 58 delegasi JKPI yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Raja Keraton Yogyakarta ini menilai bahwa Pelestarian Pusaka tidak cukup dilakukan secara administratif atau simbolik semata. Ia meminta pendekatan yang digunakan mampu menyentuh masyarakat secara nyata. Sultan berharap semua pihak bukan hanya menjadi penjaga pusaka, melainkan juga penggerak yang mampu menempatkan warisan sumber daya nilai dalam membentuk masa depan kota secara cerdas, beretika, dan kontekstual.
Pendekatan Inklusif dalam Pelestarian Pusaka
Sri Sultan Hamengku Buwono X menekankan bahwa cara menjaga pusaka harus terus berkembang. Pendekatan ini harus lebih inklusif dan responsif. Tujuannya agar berakar pada kesadaran kolektif masyarakat.
Menurutnya, yang ingin dirawat bukan hanya objek fisik semata. Lebih dari itu, Pelestarian Pusaka harus mencakup jati diri yang terus hidup di dalamnya. Ini menandakan pergeseran paradigma dalam konservasi budaya.
Raja Keraton Yogyakarta ini menekankan bahwa pelestarian tidak cukup hanya secara administratif atau simbolik. Diperlukan pendekatan yang mampu menyentuh masyarakat secara nyata.
Ia menyerukan agar semua pihak bukan hanya menjadi penjaga pusaka. Namun, juga penggerak yang cerdas dan beretika. Mereka harus mampu menempatkan warisan nilai dalam membentuk masa depan kota.
Tantangan dan Pembelajaran dari Yogyakarta
Tantangan dalam merawat pusaka kini telah berubah signifikan. Hal ini dibandingkan dengan satu dekade lalu. Dinamika sosial, budaya, dan ekonomi semakin kompleks.
Cara manusia berinteraksi dengan ruang juga terus berubah. DIY sendiri telah mengalami tekanan ruang dan desakan ekonomi. Ekspektasi masyarakat pun terus berubah seiring waktu.
Di tengah semua tantangan ini, DIY belajar pentingnya menjaga pusaka. Bukan hanya sebagai objek mati, melainkan sebagai proses sosial yang hidup. Proses ini harus dirawat melalui dialog dan partisipasi aktif.
Keberanian membaca ulang konteks juga menjadi kunci. Ini memungkinkan Pelestarian Pusaka beradaptasi dengan zaman. Wali Kota Yogyakarta Hasto Wardoyo berharap JKPI menjadi wadah berbagi pengetahuan.
Peran Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI)
Setiap anggota JKPI memiliki identitas khas dengan warisan budayanya masing-masing. Jaringan ini diharapkan dapat terus memperkuat advokasi pelestarian. Ini penting untuk perlindungan budaya di seluruh Indonesia.
Ketua Presidium JKPI, Muhammad Yamin HR, menyatakan komitmen JKPI. Mereka terus berupaya menjaga pusaka sejarah di tengah tekanan pembangunan. Setiap wilayah perlu merawat warisan yang dimiliki.
Yogyakarta dianggap sebagai contoh daerah yang memiliki sejarah panjang. Daerah ini berhasil merawat pusaka dalam segala bentuknya. Ini menjadi inspirasi bagi anggota JKPI lainnya.
Yamin mengajak semua pihak untuk belajar bersama. Tujuannya adalah merawat dan melestarikan kebudayaan di daerah masing-masing. Dari kota warisan, menuju kota masa depan yang berkelanjutan.