Fakta Unik: Pilkada Langsung Diklaim Picu Konflik Keluarga hingga Perceraian, Golkar Kaji Ulang Sistem Pemilihan Kepala Daerah
Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, menyoroti dampak negatif Pilkada Langsung, termasuk konflik horizontal dan perceraian. Golkar kini mengkaji opsi pemilihan kepala daerah via DPRD. Mengapa demikian?

Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, baru-baru ini menyoroti berbagai dampak negatif yang timbul dari sistem Pilkada Langsung di Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan Bahlil di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Senin (28/7). Sorotan ini mencakup potensi konflik horizontal di tengah masyarakat hingga tingginya biaya politik yang harus ditanggung.
Menurut Bahlil, Pilkada Langsung kerap memicu perpecahan dan perselisihan di kalangan warga. Ia bahkan menyebutkan kasus-kasus di mana perbedaan pilihan politik dalam Pilkada dapat berujung pada keretakan hubungan bertetangga atau bahkan perceraian dalam rumah tangga. Kondisi ini menjadi perhatian serius bagi Partai Golkar.
Menanggapi fenomena tersebut, Partai Golkar saat ini tengah melakukan kajian mendalam terhadap berbagai alternatif penataan ulang sistem demokrasi. Salah satu opsi yang sedang dipertimbangkan adalah kemungkinan pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sebagai upaya mencari solusi yang lebih baik.
Dampak Sosial dan Biaya Tinggi Pilkada Langsung
Bahlil Lahadalia secara lugas mengungkapkan "sakitnya" kekalahan dalam Pilkada Langsung, bahkan bagi pihak yang menang sekalipun. Ia menggambarkan bagaimana dampak negatif dari pihak yang kalah dapat memicu konflik sosial, seperti perseteruan antartetangga yang tadinya akur menjadi tidak saling bertegur sapa. Fenomena ini menunjukkan bahwa Pilkada Langsung berpotensi mengikis kohesi sosial di masyarakat.
Lebih jauh, Bahlil mencontohkan dampak ekstrem seperti perceraian yang terjadi hanya karena perbedaan pilihan politik dalam Pilkada. Pernyataan ini menggarisbawahi betapa seriusnya perpecahan yang dapat ditimbulkan oleh kontestasi politik langsung di tingkat daerah. Golkar, pada Desember lalu, telah menyampaikan urgensi penataan sistem demokrasi Indonesia, termasuk melalui perubahan undang-undang politik terkait pemilu legislatif dan Pilkada.
Selain konflik sosial, sistem Pilkada Langsung juga dikenal memiliki biaya politik yang sangat tinggi. Hal ini tidak hanya membebani kandidat, tetapi juga berpotensi menciptakan praktik-praktik yang kurang sehat dalam proses demokrasi. Oleh karena itu, Golkar melihat perlunya evaluasi komprehensif terhadap efektivitas dan dampak dari sistem pemilihan kepala daerah yang berlaku saat ini.
Opsi Pengembalian Pemilihan Kepala Daerah ke DPRD
Salah satu skema yang kini tengah dirumuskan oleh Partai Golkar adalah opsi agar kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota, dipilih melalui DPRD, bukan lagi secara langsung oleh rakyat. Argumentasi utama yang dikemukakan adalah bahwa Undang-Undang Dasar 1945 tidak secara eksplisit menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah harus dilakukan secara langsung.
Menurut Bahlil, UUD 1945 hanya menyebutkan bahwa pemilihan dilakukan secara demokratis, tanpa merinci metode langsung. Interpretasi ini membuka ruang bagi berbagai mekanisme pemilihan yang dianggap demokratis, termasuk melalui perwakilan rakyat di DPRD. Opsi ini diharapkan dapat mengurangi potensi konflik horizontal dan menekan biaya politik yang tinggi.
Meskipun demikian, Bahlil menegaskan bahwa Partai Golkar belum mengambil keputusan final terkait skema ini. Saat ini, Golkar masih dalam tahap penyusunan berbagai kajian, alternatif, dan skema yang komprehensif. Proses ini melibatkan analisis mendalam terhadap untung-rugi dari setiap mekanisme pemilihan, demi menemukan format terbaik yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan demokrasi Indonesia.