Gizi Buruk Pengaruhi Performa Sepak Bola Indonesia? BGN Ungkap Fakta Mengejutkan
Kepala BGN ungkap fakta mengejutkan: kualitas gizi pemain sepak bola Indonesia berpengaruh signifikan pada performa di lapangan, terutama karena banyak pemain berasal dari daerah dengan akses gizi terbatas.

Jakarta, 22 Maret (ANTARA) - Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, baru-baru ini mengungkapkan fakta mengejutkan terkait performa tim sepak bola Indonesia. Menurutnya, kualitas gizi pemain memiliki keterkaitan erat dengan performa mereka di lapangan. Pernyataan ini disampaikan di Pendopo Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta, Sabtu lalu.
Dadan Hindayana menjelaskan, "Jangan heran kalau PSSI sulit menang karena main 90 menit berat. Kenapa? Karena gizinya tidak bagus dan banyak pemain bola lahir dari kampung." Pernyataan ini menyoroti permasalahan mendasar yang selama ini mungkin luput dari perhatian publik: kualitas gizi pemain Indonesia, khususnya mereka yang berasal dari daerah dengan akses terbatas terhadap makanan bergizi.
Meskipun mengakui adanya peningkatan kualitas pemain Indonesia, dengan sekitar 17 pemain naturalisasi yang memiliki riwayat gizi baik dari negara asal seperti Belanda, Dadan menekankan bahwa olahraga profesional bukan hanya soal latihan fisik semata. Kecerdasan dalam bermain dan membaca strategi lawan juga sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik dan mental yang optimal, yang pada akhirnya bergantung pada asupan gizi yang cukup.
Gizi Seimbang: Kunci Performa dan Masa Depan
Lebih lanjut, Dadan Hindayana menjelaskan bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) diharapkan dapat mengintervensi masalah gizi buruk sejak dini. Program ini menargetkan bayi dalam kandungan, balita, serta anak-anak SD hingga SMA. Tujuannya adalah untuk menciptakan generasi muda yang sehat dan produktif di masa depan, mengingat pertumbuhan penduduk Indonesia yang tinggi.
Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar berupa pertumbuhan penduduk yang signifikan, dengan rata-rata kelahiran 6 bayi per menit atau sekitar 3 juta bayi per tahun. Jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 280 juta jiwa saat ini, dan akan meningkat menjadi 324 juta jiwa pada tahun 2045. Pertumbuhan ini sebagian besar didorong oleh angka kelahiran di keluarga miskin dan rentan miskin.
Data menunjukkan bahwa dari 100 keluarga miskin, 78 keluarga memiliki tiga anak dan 12 keluarga memiliki dua anak. Kondisi serupa juga terlihat pada keluarga miskin dan rentan miskin, di mana 50 keluarga memiliki tiga anak dan 50 keluarga lainnya memiliki dua anak. Hal ini menjadi perhatian serius karena 60 persen anak dari kelompok ini tidak pernah mengonsumsi makanan bergizi seimbang, bahkan akses terhadap susu pun terbatas bukan karena keinginan, melainkan karena keterbatasan ekonomi.
Perbedaan Pola Konsumsi Antar Kelas Sosial
Sebaliknya, pertumbuhan penduduk dari kalangan atas dan menengah tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap pertambahan penduduk secara keseluruhan. Dadan Hindayana menjelaskan, "Jadi, kalau ada 100 orang keluarga kelas atas, itu 84 keluarga anaknya satu, 16 keluarga tidak punya anak. (Lalu) kalau ada 100 orang kelas menengah, 12 keluarga anaknya dua, 88 anaknya satu." Perbedaan pola konsumsi dan jumlah anak ini menunjukkan disparitas yang signifikan dalam akses terhadap gizi seimbang di Indonesia.
Kesimpulannya, masalah gizi di Indonesia merupakan isu kompleks yang berdampak luas, termasuk pada performa atlet profesional seperti pemain sepak bola. Intervensi dini melalui program seperti MBG sangat krusial untuk memperbaiki kualitas gizi masyarakat, khususnya di kalangan keluarga kurang mampu, demi menciptakan generasi yang lebih sehat dan produktif, serta meningkatkan prestasi olahraga nasional.
Program MBG diharapkan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mengatasi masalah gizi buruk dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Dengan gizi yang baik, diharapkan para atlet, termasuk pemain sepak bola, dapat mencapai potensi maksimal mereka dan mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.