Iwakum Kecam Aksi Doxing terhadap Jurnalis CNN: Ancaman terhadap Kebebasan Pers
Ikatan Wartawan Hukum Indonesia (Iwakum) mengecam aksi doxing terhadap jurnalis CNN, AM dan YA, yang dinilai sebagai ancaman serius terhadap kebebasan pers dan integritas jurnalistik.

Jakarta, 22 Februari 2024 - Sekretaris Jenderal Ikatan Wartawan Hukum Indonesia (Iwakum), Ponco Sulaksono, mengecam keras aksi doxing yang menimpa dua jurnalis CNN, AM dan YA, menyusul pemberitaan mereka tentang aksi "Indonesia Gelap" di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Jumat (21/2). Aksi ini dinilai sebagai serangan terhadap kebebasan pers dan integritas jurnalistik di Indonesia. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai keamanan dan perlindungan bagi para jurnalis yang menjalankan tugasnya di lapangan.
Dalam siaran pers yang dikeluarkan Sabtu (22/2), Ponco menegaskan bahwa kedua jurnalis tersebut tidak pantas mendapatkan intimidasi atau doxing karena telah menjalankan tugas jurnalistik sesuai kode etik. Ia menekankan bahwa tindakan doxing tidak hanya merusak integritas wartawan dan media, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap pers. "Tindakan doxing oleh seseorang dapat merusak integritas wartawan dan media tempat bernaung. Lebih dari itu, doxing hanya akan menyudutkan wartawan dan mengerdilkan kepercayaan masyarakat terhadap pers," tegas Ponco.
Ponco menjelaskan bahwa seluruh proses kerja jurnalistik di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang merupakan lex specialis terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Oleh karena itu, permasalahan yang berkaitan dengan pemberitaan seharusnya diselesaikan melalui mekanisme yang tertuang dalam UU Pers, bukan dengan menggunakan KUHP.
Ancaman Hukum bagi Pelaku Doxing
Kepala Departemen Advokasi Iwakum, Faisal Aristama, menjelaskan bahwa pelaku doxing dapat dijerat hukum melalui beberapa jalur. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 26. Pasal-pasal tersebut memungkinkan korban untuk mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan.
Lebih lanjut, Faisal menambahkan bahwa pelaku doxing juga dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), terutama Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 67 ayat (1) UU PDP menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian subjek data pribadi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 miliar. Sementara itu, Pasal 67 ayat (2) menetapkan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp4 miliar bagi yang dengan sengaja dan melawan hukum mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya.
Faisal juga mengingatkan masyarakat untuk bijak dalam menggunakan media sosial dan tidak mudah terprovokasi untuk melakukan doxing. "Di era media sosial saat ini penting bagi semua pihak untuk lebih bijaksana dalam menyikapi suatu persoalan. Jangan sampai tindakan yang kita lakukan justru merugikan orang lain," pesannya.
Tanggung Jawab Jurnalis dan Mekanisme Koreksi
Meskipun Iwakum mengecam keras aksi doxing, Ponco mengakui kemungkinan adanya kesalahan yang dilakukan wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik. Namun, ia menekankan bahwa penyelesaian permasalahan tersebut tidak bisa melalui jalur pidana, melainkan melalui mekanisme yang sudah diatur, seperti hak jawab atau hak koreksi bagi pihak yang merasa dirugikan. "Artinya jika wartawan keliru dalam proses penyajian berita, maka ada mekanisme yang bisa dilakukan untuk memperbaiki informasi tersebut," jelas Ponco.
Kasus doxing terhadap jurnalis CNN ini menyoroti pentingnya perlindungan terhadap jurnalis dan kebebasan pers di Indonesia. Iwakum menyerukan kepada semua pihak untuk menghormati kerja jurnalistik dan menolak segala bentuk intimidasi dan kekerasan terhadap profesi wartawan.
Peristiwa ini juga menjadi pengingat akan pentingnya literasi digital dan tanggung jawab individu dalam menggunakan media sosial. Penyebaran informasi yang tidak bertanggung jawab dan tindakan doxing dapat berdampak serius bagi korban dan merusak iklim demokrasi.