Kelas Menengah Indonesia: Lebih Pilih Tabungan daripada Pinjaman
Survei Katadata Insight Center (KIC) menunjukkan kelas menengah Indonesia cenderung mengandalkan tabungan daripada pinjaman untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah ketidakpastian ekonomi.

Jakarta, 18 Februari 2025 - Sebuah temuan menarik mengemuka dari survei terbaru Katadata Insight Center (KIC). Survei yang bertajuk 'Kelas Menengah di Tengah Ketidakpastian Ekonomi' ini mengungkapkan bahwa mayoritas kelas menengah Indonesia memilih untuk bertahan hidup dari tabungan mereka sendiri, bukan dengan mengandalkan pinjaman berbunga.
Perilaku Keuangan Kelas Menengah Indonesia
Direktur Riset KIC, Gundy Cahyadi, memaparkan hasil survei tersebut dalam acara Indonesia Data and Economic Conference (IDE) Katadata 2025. Gundy menekankan bahwa perilaku finansial kelas menengah Indonesia sebenarnya cukup positif. Sebanyak 70 persen responden mengaku melakukan perencanaan keuangan, setengahnya memisahkan anggaran untuk tagihan dan keperluan harian, dan lebih dari 40 persen mencatat pengeluaran mereka secara detail. Ini menunjukkan kesadaran akan pentingnya pengelolaan keuangan yang baik.
Salah satu temuan paling signifikan adalah bagaimana kelas menengah menghadapi pengeluaran yang melebihi pendapatan. Sebanyak 76,3 persen responden memilih untuk menggunakan tabungan mereka, atau yang sering disebut “makan tabungan”, untuk menutupi kekurangan tersebut. Hanya sebagian kecil, kurang dari 15 persen, yang memilih opsi pinjaman berbunga. Hal ini menunjukkan kecenderungan untuk menghindari utang dan mengutamakan pengelolaan keuangan yang sehat.
Lebih lanjut, Gundy menjelaskan bahwa kelas menengah mengalokasikan sekitar 19,3 persen penghasilan mereka untuk tabungan, sebagian besar sebagai dana darurat. Meskipun demikian, alokasi anggaran untuk perencanaan jangka panjang masih relatif rendah, menunjukkan bahwa perencanaan keuangan jangka panjang belum menjadi prioritas utama.
Pekerjaan Sampingan dan Prioritas Keuangan
Demi memenuhi kebutuhan hidup, hampir 50 persen responden mengaku memiliki pekerjaan sampingan atau side hustle. Alasan utamanya adalah untuk menambah pendapatan (70,6 persen), meningkatkan tabungan (42,2 persen), dan mencapai tujuan finansial (30,7 persen). Menariknya, faktor passion atau minat pribadi justru bukan menjadi tiga alasan utama.
Survei daring ini melibatkan 472 responden di 10 kota besar di Indonesia dan dilakukan pada 6-9 Januari 2025. Metodologi survei ini perlu dipertimbangkan saat menginterpretasi hasilnya.
Kekhawatiran Ekonomi dan Pertumbuhan Kelas Menengah
Gundy juga menyoroti bahwa kekhawatiran tentang perekonomian secara signifikan memengaruhi perspektif kelas menengah terhadap kebutuhan hidup, terutama dalam hal pendidikan, kesehatan, dan hunian. Pertumbuhan kelas menengah sendiri tertahan pascapandemi COVID-19, sehingga dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat untuk meningkatkan persentasenya.
Peran Pemerintah dalam Mendukung Kelas Menengah
Wakil Menteri Keuangan, Thomas Dijiwandono, turut memberikan pandangannya. Ia menekankan bahwa kelas menengah masih menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia, karena lebih dari 70 persen konsumsi berasal dari segmen ini. Pemerintah, melalui APBN, berperan sebagai shock absorber dan melindungi kesejahteraan sosial, termasuk kelas menengah, melalui berbagai program subsidi dan kompensasi. Pada tahun 2025, pemerintah mengalokasikan Rp827 triliun untuk berbagai program, termasuk subsidi, insentif PPN, bantuan sosial, dan kredit usaha, dengan sebagian besar insentif PPN difokuskan untuk menjaga konsumsi rumah tangga.
Kesimpulannya, survei KIC memberikan gambaran yang komprehensif tentang perilaku keuangan kelas menengah Indonesia. Meskipun menunjukkan pengelolaan keuangan yang relatif baik, masih ada ruang untuk meningkatkan perencanaan keuangan jangka panjang. Peran pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan menyediakan program-program pendukung juga sangat krusial untuk pertumbuhan dan kesejahteraan kelas menengah Indonesia.