Komisi VII DPR Minta Pemerintah Sigap Atasi Penurunan PMI Manufaktur, Ini Alasannya!
Komisi VII DPR RI mendesak pemerintah dan sektor industri untuk segera mengatasi penurunan PMI manufaktur yang telah memasuki zona kontraksi.

Jakarta - Komisi VII DPR RI mendesak pemerintah dan sektor industri untuk segera mengambil langkah konkret dalam mengatasi penurunan Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur. Penurunan PMI ini menjadi perhatian serius karena telah memasuki zona kontraksi sejak April 2024, dengan angka 46,7 atau di bawah 50.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty, menyampaikan bahwa penurunan PMI manufaktur menjadi sinyal kuat adanya tekanan serius pada sektor industri manufaktur nasional. Kondisi ini memerlukan tindakan cepat dan tepat untuk menjaga ketahanan industri nasional serta melindungi tenaga kerja Indonesia.
"Pelemahan aktivitas manufaktur ini sudah terlalu dalam, mencapai level terendah sejak COVID-19 harus dijadikan peringatan untuk segera bertindak demi menjaga ketahanan industri nasional dan melindungi tenaga kerja Indonesia," tegas Evita dalam keterangan tertulisnya.
Dampak Penurunan PMI Manufaktur
Penurunan PMI manufaktur tidak hanya berdampak pada penurunan produksi, tetapi juga berpotensi mendorong terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat perusahaan yang melakukan efisiensi. Hal ini, menurut Evita, dapat menurunkan daya beli masyarakat dan meningkatkan angka kemiskinan.
“Jika ini terus berlanjut maka akan berdampak pada masalah-masalah sosial. Kita tidak ingin ini terjadi," ujar Evita.
PMI yang rendah juga mengindikasikan iklim bisnis yang lesu, di mana investor cenderung menahan ekspansi atau bahkan menarik investasi. Kondisi ini dapat memicu sentimen negatif di pasar keuangan dan membuat dunia usaha menjadi lebih pesimis.
Solusi dari Komisi VII DPR RI
Evita Nursanty menyampaikan beberapa solusi yang dapat dijalankan pemerintah untuk mengatasi penurunan PMI manufaktur. Salah satunya adalah dengan memperluas pasar ekspor melalui optimalisasi perjanjian perdagangan internasional dan peningkatan daya saing produk dalam negeri.
Selain itu, iklim investasi asing juga perlu ditata agar lebih banyak investasi masuk ke Indonesia. Pemerintah juga perlu memberikan stimulus fiskal yang tepat sasaran bagi sektor manufaktur, seperti insentif pajak, subsidi energi, keringanan logistik, dan fasilitasi pembiayaan.
Pasar dalam negeri juga perlu diperluas karena permintaan yang kuat dapat menjadi penyangga saat ekspor melemah atau ketidakpastian global meningkat. Perluasan pasar dalam negeri dapat didorong dengan substitusi produk impor, yang bertujuan mengurangi ketergantungan pada produk luar negeri dengan memaksimalkan konsumsi produk dalam negeri.
Dukungan Komisi VII DPR RI
Evita menambahkan bahwa Komisi VII DPR RI sebagai mitra Kementerian Perindustrian akan terus mengawal dan mendukung pemerintah dalam mencari solusi terbaik untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi sektor manufaktur.
Termasuk, kata dia, penyerapan produk lokal oleh pemerintah, serta mendorong integrasi industri hulu-hilir dengan membangun ekosistem industri lokal dari bahan baku, pengolahan, hingga distribusi.
Dengan langkah-langkah strategis dan dukungan dari berbagai pihak, diharapkan sektor manufaktur Indonesia dapat kembali bergairah dan memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional.
Pemerintah dan seluruh stakeholder terkait diharapkan dapat bersinergi untuk mengatasi tantangan ini dan menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia.