Komjak Usul Jaksa Terlibat Awal Proses Hukum: Cegah Kesalahan Putusan
Komisi Kejaksaan (Komjak) mengusulkan keterlibatan jaksa sejak tahap awal proses hukum untuk memastikan keadilan dan mencegah kesalahan putusan, seperti terungkap dalam Seminar Nasional di UNS Solo.

Solo, 14 Maret 2024 - Komisi Kejaksaan (Komjak) RI mengusulkan agar jaksa dilibatkan sejak tahap awal proses hukum suatu kasus. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa hanya orang yang benar-benar bersalah yang dihukum. Usulan ini disampaikan Ketua Komjak RI, Pujiyono Suwadi, dalam Seminar Nasional Penyelarasan KUHAP dengan KUHP dalam Integrated Criminal Justice System di Kampus UNS Solo, Jawa Tengah.
Suwadi menekankan pentingnya penetapan pengadilan sebelum penahanan seseorang. "Jadi harus ada izin pengadilan karena due process of law-nya harus jalan. Apa penghormatan terhadap HAM, iya kalau betul, kalau salah tangkap seperti apa?" tegasnya. Ia juga menyoroti kasus-kasus di mana terdakwa dinyatakan bebas di pengadilan, padahal telah melalui proses penahanan dan bahkan penganiayaan. Sistem hukum yang terintegrasi, menurutnya, perlu mengakomodasi situasi seperti ini.
Lebih lanjut, Suwadi menjelaskan bahwa KUHAP ke depan harus benar-benar menganut prinsip due process of law. Menurutnya, saat ini, jika terdakwa dinyatakan bebas, penuntut umum seringkali yang disalahkan. "Bahkan kalau ada tuntutan jaksa tapi kemudian dihukum bebas kami lakukan eksaminasi, Komisi Kejaksaan melakukan eksaminasi, ini penting karena artinya ada masalah. Apakah di penyidik atau jaksa dalam melakukan penuntutan," jelasnya. Ia menyoroti fakta bahwa jaksa, yang tidak terlibat dalam pengumpulan alat bukti, justru harus membuktikannya di persidangan.
Peran Jaksa yang Lebih Proaktif
Suwadi mengungkapkan data dari Mahkamah Agung yang menunjukkan angka pembebasan terdakwa cukup tinggi. "Dari angka yang saya dapat di Mahkamah Agung, di website tahun 2024 angkanya hampir 3 persen yang bebas, artinya kalau ada 100 orang maka tiga orang bebas. Bisa karena tidak bersalah atau karena minimnya alat bukti. Ini kan persoalan," katanya. Ia juga menyoroti disparitas antara tuntutan jaksa dan putusan hakim, yang mengindikasikan adanya masalah dalam proses hukum. "Misalnya dituntut 20 tahun tapi diputus enam bulan atau satu tahun, artinya ada masalah," tambahnya.
Sebagai solusi, Suwadi mengusulkan keterlibatan jaksa sejak tahap penyidikan. "Penyidik tugasnya mengkonstruksikan alat bukti, mengkonstruksikan peristiwa hukum. Jaksa akan mengkonstruksi deliknya. Dengan begitu sejak awal ada koordinasi. Kalau terlibat sejak awal, dalam jangka waktu tertentu tidak diperoleh alat bukti yang cukup ya sudah selesai," jelasnya. Dengan demikian, jaksa penuntut umum dapat menjalankan fungsinya secara maksimal, sehingga tujuan hukum, yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan, dapat tercapai.
Suwadi menegaskan, "Kepastian ya memberikan kepastian kepada pelaku atau korban. Kepastian, keadilan, kemanfaatan akan memastikan orang yang dihukum adalah orang-orang yang bersalah, bukan orang yang tidak bersalah dihukum." Ia berharap dengan keterlibatan jaksa sejak awal, kesalahan-kesalahan dalam proses hukum dapat diminimalisir dan keadilan dapat ditegakkan.
Seminar Nasional di UNS: Mencari Solusi Hukum yang Lebih Baik
Seminar Nasional di UNS ini juga menghadirkan beberapa pakar hukum pidana dan acara pidana, seperti Prof. Topo Santosa (FH UI), Prof. Hartiwiningsih (FH UNS), Bambang Santoso (FH UNS), dan Muhammad Rustamaji (Dekan FH UNS). Ketua panitia, Andina Elok Puri Maharani, menjelaskan bahwa acara ini bertujuan untuk menguatkan iklim akademik dan menumbuhkan jiwa kritis mahasiswa terhadap isu-isu hukum aktual.
Kesimpulannya, usulan Komjak ini diharapkan dapat menjadi langkah penting dalam memperbaiki sistem peradilan pidana di Indonesia, memastikan penegakan hukum yang lebih adil dan efektif, serta melindungi hak-hak asasi manusia.