KSAL Akui Indonesia Belum Punya Sensor Keamanan Bawah Laut, Rawan Serangan?
Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) mengakui Indonesia belum memiliki sensor keamanan bawah laut, sehingga rawan serangan dan pengawasan kapal selam asing di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) masih 0 persen.

Jakarta, 28 April 2024 - Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL), Laksamana TNI Muhammad Ali, mengungkapkan fakta mengejutkan terkait sistem pertahanan maritim Indonesia. Dalam rapat dengan Komisi I DPR RI di Jakarta, Senin lalu, KSAL mengakui bahwa Indonesia hingga saat ini belum memiliki sensor keamanan bawah laut. Pengadaan alat penting ini baru diajukan ke Kementerian Pertahanan (Kemenhan).
"Jadi harusnya ada fixed sonar yang dipasang di bawah laut, tapi kita belum memiliki," ungkap KSAL Ali. Ketiadaan sensor ini, menurutnya, menjadi kelemahan signifikan dalam mendeteksi aktivitas kapal selam asing yang melewati Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi ancaman terhadap kedaulatan Indonesia. Kapal selam asing yang melintas di ALKI, jalur lalu lintas laut vital bagi Indonesia, nyatanya tidak terpantau. Hal ini menjadi sorotan penting yang perlu segera diatasi.
Sistem Pengawasan Laut Indonesia: Tantangan dan Kerja Sama Internasional
TNI AL tengah berupaya meningkatkan kemampuan pengawasan maritim melalui pengembangan Sistem Pusat Komando Pengendalian (Sispuskodal) tahap satu. Sistem ini dirancang untuk mendukung konsep pemantauan keamanan laut yang komprehensif, berkelanjutan, adaptif, responsif, dan inklusif. Namun, progresnya masih belum optimal.
KSAL melaporkan bahwa pengawasan jarak jauh melalui Sispuskodal baru mencapai 50 persen, sementara pengawasan pesisir dan perairan teritorial baru mencapai 30 persen. Yang paling mengkhawatirkan, pengawasan bawah laut masih nihil, atau 0 persen.
Dalam pengembangan Sispuskodal, TNI AL menjalin kerja sama dengan Singapura, negara yang memiliki teknologi Information Fusion Center (IFC) yang sangat canggih. Indonesia menempatkan International Liaison Officer (ILO) di Singapura untuk memantau dan mendapatkan data anomali aktivitas ilegal di wilayah tersebut.
Kerja sama internasional ini menunjukkan upaya Indonesia untuk meningkatkan kemampuan pengawasan maritim, namun tetap diperlukan langkah konkret untuk mengatasi kekurangan sensor bawah laut.
Kekhawatiran DPR dan Urgensi Pengadaan Sensor Bawah Laut
Anggota Komisi I DPR RI, Elita Budiati, turut menyoroti masalah ini dan mengungkapkan kekhawatirannya. Indonesia, dengan luas perairan mencapai 65 persen dari total luas wilayah negara, sangat rentan terhadap ancaman bawah laut.
Elita menekankan urgensi pengadaan sensor bawah laut, meskipun biayanya tinggi. "Katanya alasannya alatnya itu sangat mahal. Semahal apapun kalau itu penting, apalagi ikut menjaga kedaulatan laut kita, itu wajib Pak," tegas Elita kepada KSAL.
Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya alokasi anggaran yang memadai untuk pengadaan sensor bawah laut guna melindungi kedaulatan dan keamanan maritim Indonesia. Ancaman bawah laut dinilai sangat luar biasa dan membutuhkan kesiapan teknologi yang memadai.
Ketiadaan sensor bawah laut menjadi celah keamanan yang signifikan. Pemerintah perlu segera memprioritaskan pengadaan alat tersebut untuk memastikan keamanan dan kedaulatan wilayah perairan Indonesia.