Makna "Endhasmu" dalam Pidato Prabowo: Lebih dari Sekadar Umpatan?
Analisis mendalam mengenai penggunaan kata "endhasmu" oleh Presiden Prabowo, memahami konteks budaya Jawa dan implikasinya dalam komunikasi politik.

Presiden Prabowo Subianto kembali menggunakan kata "endhasmu" dalam pidato politiknya, memicu perdebatan publik. Ungkapan dalam bahasa Jawa ini ditujukan kepada para kritikus pemerintahannya terkait pembentukan kabinet dan program MBG. Peristiwa ini terjadi pada 15 Februari 2025 di Sentul, Bogor, dan sebelumnya juga terlontar pada Desember 2023 di Jakarta.
Kata "endhasmu", yang berarti "kepalamu" dalam bahasa Jawa ngoko, menunjukkan tingkat kemarahan dan kekecewaan Prabowo terhadap kritik yang diterimanya. Penggunaan bahasa Jawa ngoko, yang lazim digunakan untuk komunikan yang lebih rendah, menunjukkan tingkat informalitas dan bahkan agresivitas dalam penyampaian pesan.
Pemahaman makna "endhasmu" tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya Jawa dan sistem unggah-ungguh yang terdiri dari ngoko, krama madya, dan krama inggil. Penggunaan ngoko dalam konteks ini, berbeda dengan penggunaan krama inggil yang lebih hormat, menunjukkan tujuan untuk mengungkapkan emosi dan kekecewaan secara langsung dan tanpa basa-basi.
"Endhasmu" dalam Perspektif Linguistik dan Semiotika
Penggunaan kata "endhasmu" sebagai makian memenuhi kriteria yang dikemukakan Andersson dan Hirsch (1985), yaitu merujuk pada tabu sosial, tidak dapat ditafsirkan secara harfiah, dan digunakan untuk mengekspresikan emosi kuat. Kata ini, bersama dengan kata-kata makian lain seperti "cangkemmu" (mulutmu) dan "matamu", menggunakan tingkatan bahasa ngoko untuk menunjukkan ketidakhormatan terhadap komunikan.
Perbedaan dengan kata "sirahmu" (madya) atau "mustakanipun panjenengan" (krama inggil) yang bermakna sama, menunjukkan perbedaan tingkat hormat dalam komunikasi. Penggunaan kata makian yang singkat dan kasar lebih efektif untuk mengekspresikan kemarahan daripada ungkapan yang lebih panjang dan formal.
Penting untuk memahami bahwa penggunaan bahasa ngoko untuk orang yang lebih tua atau berstatus lebih tinggi dianggap tidak sopan dan dapat memicu konflik, seperti yang diilustrasikan oleh contoh penggunaan frasa "Ora usah kakehan cangkem". Hal ini menunjukkan pentingnya pemahaman konteks sosial dan budaya dalam penggunaan bahasa.
Makna Simbolik dan Implikasi Sosial
Penggunaan anggota tubuh seperti kepala, mulut, dan mata dalam ungkapan makian menarik karena ketiganya terletak di bagian atas tubuh, tempat otak berada. Namun, penggunaan kata-kata ini untuk memaki justru merendahkan posisi komunikan. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa tidak hanya berfungsi untuk mengungkapkan informasi, tetapi juga untuk menciptakan makna dan menunjukkan sikap komunikator.
Menurut semiotika Roland Barthes, bahasa mewakili asumsi-asumsi masyarakat tertentu. Oleh karena itu, memahami makna "endhasmu" memerlukan pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma dalam masyarakat Jawa. Penggunaan kata ini dalam pidato politik memiliki implikasi sosial yang luas dan memerlukan analisis lebih lanjut.
Kesimpulannya, penggunaan "endhasmu" oleh Presiden Prabowo bukan hanya sekedar ungkapan marah, tetapi juga menunjukkan aspek budaya dan linguistik yang kompleks. Pemahaman yang utuh memerlukan analisis terhadap konteks budaya Jawa, sistem unggah-ungguh, dan makna simbolik yang terkandung di dalamnya. Peristiwa ini juga mengingatkan kita akan pentingnya berhati-hati dalam berkomunikasi, terutama dalam konteks publik dan politik.
*) Dr. Sardi Duryatmo, MSi adalah dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Pakuan