Masjid Teungku Di Anjong: Warisan Ulama Aceh yang Tetap Kokoh
Masjid Teungku Di Anjong di Banda Aceh, berdiri sejak abad ke-18, menjadi saksi bisu perjalanan Islam di Aceh, dari pusat pendidikan hingga basis pertahanan, tetap kokoh meski pernah hancur akibat tsunami.

Masjid Teungku Di Anjong, yang terletak di Gampong Peulanggahan, Banda Aceh, berdiri megah sebagai bukti sejarah Islam di Aceh. Didirikan pada abad ke-18, masjid ini telah menyaksikan berbagai peristiwa penting, termasuk tsunami dahsyat tahun 2004 yang hampir meruntuhkannya. Siapa pendirinya? Habib Abubakar bin Husen Bilfaqih, seorang ulama dari Hadramaut, Yaman, yang lebih dikenal sebagai Teungku Di Anjong. Kapan ia tiba di Aceh? Tahun 1642 Masehi, menyebarkan Islam atas isyarah mimpi dari Rasulullah SAW. Bagaimana masjid ini bertahan hingga kini? Meskipun mengalami kerusakan parah akibat tsunami, masjid ini dibangun kembali dengan mempertahankan arsitektur aslinya.
Kehadiran Teungku Di Anjong di Aceh merupakan bagian penting dari penyebaran agama Islam di Nusantara. Gelar "Di Anjong", yang berarti orang yang dimuliakan atau anjungan rumah, mencerminkan kedudukan dan pengaruhnya yang besar di masyarakat Aceh. Ia datang bersama dua sahabatnya, namun hanya ia yang menetap di Aceh, membangun sebuah dayah (pesantren) yang kemudian berkembang menjadi masjid yang kita kenal sekarang. Dayah ini menjadi pusat pendidikan agama Islam yang terkenal, menarik murid dari berbagai penjuru Nusantara dan Semenanjung Malaya, menunjukkan peran penting Teungku Di Anjong dalam perkembangan Islam di Aceh.
Masjid Teungku Di Anjong bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga memiliki peran strategis dalam sejarah Aceh. Selain sebagai pusat pendidikan agama, masjid ini juga pernah berfungsi sebagai pusat manasik haji, tempat para calon jamaah haji dari berbagai daerah belajar tata cara ibadah haji sebelum berangkat ke Mekkah. Hal ini turut memperkuat julukan Aceh sebagai 'Serambi Mekkah'. Setelah wafatnya Teungku Di Anjong sekitar tahun 1782 Masehi, masjid ini bahkan menjadi basis pertahanan militer melawan penjajah Belanda. Perannya yang multifungsi ini menunjukkan betapa pentingnya masjid ini dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Sejarah dan Perkembangan Masjid Teungku Di Anjong
Berdirinya Masjid Teungku Di Anjong tak lepas dari kedatangan Habib Abubakar bin Husen Bilfaqih ke Aceh pada tahun 1642 M. Beliau, yang dikenal sebagai Teungku Di Anjong, mendirikan dayah yang kemudian berkembang menjadi masjid. Dayah ini menjadi pusat pembelajaran agama Islam yang sangat berpengaruh, menarik santri dari berbagai wilayah. "Kedatangan beliau ini ke Aceh merupakan perintah langsung dari Rasulullah yang disampaikan lewat isyarah," ungkap Fahmi, penjaga makam Teungku Di Anjong.
Pada masa kejayaannya, dayah ini juga berfungsi sebagai pusat manasik haji, membimbing calon jamaah haji sebelum berangkat ke Mekkah. "Dahulu, calon jamaah haji dari berbagai daerah Nusantara dan Semenanjung Malaya singgah di sini untuk belajar tata cara pelaksanaan ibadah haji sebelum berangkat ke Makkah," tambah Fahmi. Peran ini mendukung julukan Aceh sebagai 'Serambi Mekkah'. Setelah wafat pada 14 Ramadhan 1100 H (sekitar 1782 M), Teungku Di Anjong dimakamkan di kompleks masjid, bersama istrinya, Syarifah Fatimah.
Masjid ini juga memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan Aceh melawan penjajah Belanda. Setelah wafatnya Teungku Di Anjong, masjid ini sempat menjadi basis pertahanan militer. Sayangnya, dayah ini pernah dibakar oleh tentara Belanda pada tahun 1873. Kemudian, pada tahun 2004, bencana tsunami kembali menghancurkan masjid. "Saat tsunami melanda Aceh, masjidnya hancur, yang tinggal cuma makam, makam tetap utuh masih dilengkapi kelambu," kenang Fahmi.
Meskipun mengalami kerusakan yang cukup parah, Masjid Teungku Di Anjong dibangun kembali pada tahun 2008 dengan bantuan BRR Aceh-Nias. Struktur bangunan yang awalnya kayu diganti dengan beton, namun arsitektur aslinya tetap dipertahankan. Gaya bangunan Melayu-China dengan tiga lantai yang melambangkan Hakikat, Tarikat, dan Makrifat, tetap menjadi ciri khas masjid ini.
Tradisi Keagamaan yang Lestari
Hingga kini, Masjid Teungku Di Anjong tetap menjadi pusat kegiatan keagamaan yang aktif. Berbagai tradisi keagamaan masih dilestarikan, seperti peringatan haul Teungku Di Anjong yang diadakan dua kali setahun, pada 14 Ramadhan dan bulan Zulqaedah. "Haul ini kami adakan dua kali, di 14 Ramadhan dan sekali lagi di bulan Zulqaedah. Peringatan di bulan Zulqaedah lebih besar karena kalau di bulan Ramadhan waktunya lebih sempit," jelas Fahmi.
Selain haul, kegiatan keagamaan lainnya seperti Hadrah Bausadan (doa tolak bala), pembacaan Dhiyaul Lami (syair pujian kepada Rasulullah), dan Qiyamul Lail, masih rutin dilaksanakan. Hal ini menunjukkan bahwa Masjid Teungku Di Anjong bukan hanya sebagai situs bersejarah, tetapi juga sebagai tempat pelestarian tradisi keagamaan di Aceh. Keberlangsungan tradisi-tradisi ini menjadi bukti nyata warisan Teungku Di Anjong yang terus dijaga dan dihidupkan oleh masyarakat Aceh.
Masjid Teungku Di Anjong, dengan sejarahnya yang panjang dan perannya yang penting dalam perjalanan Islam di Aceh, tetap berdiri kokoh sebagai simbol keagungan Islam dan semangat juang masyarakat Aceh. Meskipun telah mengalami berbagai cobaan, masjid ini tetap menjadi tempat ibadah dan pusat kegiatan keagamaan yang lestari hingga kini, menunjukkan ketahanan dan keuletan masyarakat Aceh dalam menjaga warisan leluhurnya.