Memudarnya Soft Power AS: Peran Elon Musk dan Dampaknya
Penutupan USAID dan pembatalan program DEI oleh Elon Musk memicu kekhawatiran atas penurunan kekuatan daya halus Amerika Serikat, membuka peluang bagi negara lain untuk mengisi kekosongan tersebut.
![Memudarnya Soft Power AS: Peran Elon Musk dan Dampaknya](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/10/070039.654-memudarnya-soft-power-as-peran-elon-musk-dan-dampaknya-1.jpg)
Jakarta, 10 Februari 2024 - Direktur Badan Intelijen Luar Negeri Rusia, Sergei Naryshkin, baru-baru ini menyatakan bahwa Amerika Serikat (AS) kehilangan kendali atas situasi global. Pernyataan kontroversial ini, yang disampaikan kepada kantor berita RIA Novosti, mengarah pada sorotan terhadap beberapa peristiwa di AS yang tampaknya mendukung penilaian tersebut. Salah satu yang paling menonjol adalah kontroversi seputar penutupan USAID (Badan Pembangunan Internasional AS) oleh Elon Musk, kini kepala Departemen Efisiensi Pemerintah AS (DOGE).
Kontroversi Penutupan USAID dan Dampaknya terhadap Soft Power AS
Dalam sebuah cuitan di X (sebelumnya Twitter), Musk menyebut USAID sebagai 'organisasi kriminal' yang harus 'mati'. USAID selama ini berperan penting dalam kebijakan luar negeri AS, menyalurkan bantuan kemanusiaan, mendorong demokrasi, dan mendukung pembangunan ekonomi di berbagai negara. Dengan demikian, bantuan USAID berkontribusi pada peningkatan citra global AS dan memperkuat hubungan internasional.
DOGE, dibentuk oleh Presiden Donald Trump untuk memangkas pengeluaran federal, menjadikan USAID—yang mengelola dana lebih dari 40 miliar dolar AS pada tahun fiskal 2023—sebagai target utama. Musk mengklaim penutupan USAID telah disetujui Trump, dengan tujuan menghentikan 'pencurian uang pajak warga AS karena sampah dan penipuan'.
Jika bantuan USAID dikategorikan sebagai 'sampah dan penipuan', maka kekuatan soft power AS—kemampuan memengaruhi pihak lain melalui cara non-koersif—tergerus. Berhentinya bantuan USAID mengurangi pengaruh AS dan membuka jalan bagi negara pesaing, seperti China, untuk meningkatkan bantuan dan memperluas pengaruhnya.
Pembatalan Program DEI dan Dampaknya terhadap Citra Global AS
Musk juga membatalkan kontrak senilai lebih dari 1 miliar dolar AS terkait program Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusi (DEI). Program DEI bertujuan mendorong keadilan dan kesempatan bagi semua kalangan. Namun, langkah Musk ini menuai kritik, karena DEI sejalan dengan promosi nilai-nilai demokrasi dan kesetaraan yang selama ini diusung AS di kancah internasional.
Pembatalan program DEI berpotensi merusak citra AS sebagai negara yang progresif dan inklusif. Hal ini dapat melemahkan otoritas moral AS dalam isu HAM dan demokrasi, terutama di kalangan sekutu AS di Eropa yang mendukung inisiatif DEI.
Akses Musk terhadap Sistem Pembayaran Pemerintah dan Kekhawatiran Konflik Kepentingan
Selain USAID dan DEI, Musk juga menuai kritik karena aksesnya terhadap sistem pembayaran pemerintah federal AS. Senator Elizabeth Warren memperingatkan bahwa Musk memiliki kendali atas sistem yang mengelola pembayaran Jaminan Sosial dan Medicare, berpotensi menyalahgunakan informasi pribadi jutaan warga AS.
Kekhawatiran juga muncul terkait konflik kepentingan antara peran Musk di DOGE dan bisnis pribadinya, seperti SpaceX, yang menerima kontrak miliaran dolar dari pemerintah AS. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan pemerintah.
Analisis Motivasi dan Dampak Jangka Panjang
Allison Stanger, Profesor Politik dan Ekonomi Internasional di Middlebury College, berpendapat bahwa motivasi Musk dalam pemerintahan AS mungkin bukan sepenuhnya altruistik, tetapi terkait dengan keuntungan finansial dan strategis bagi bisnisnya. Stanger menekankan akses Musk terhadap data sensitif pemerintah AS sebagai potensi ancaman serius.
Kritik terhadap tindakan Musk menyebutnya sebagai 'kudeta korporasi'. Dampak jangka panjang dari kebijakan 'efisiensi' Musk masih belum jelas, tetapi potensi penurunan soft power AS, dan peningkatan pengaruh negara lain seperti China, Uni Eropa, dan Rusia, adalah skenario yang mungkin terjadi.
Hilangnya soft power AS berpotensi menciptakan dunia multipolar, di mana tidak ada satu negara yang dominan. Berbagai kekuatan akan bersaing untuk membentuk norma dan institusi global. Ini akan mengubah lanskap geopolitik secara signifikan.