Mengapa Model Pilkada Tak Bisa Diseragamkan? Peneliti BRIN Ungkap Alasannya
Peneliti BRIN, Siti Zuhro, menegaskan bahwa model Pilkada tidak bisa diseragamkan di seluruh Indonesia. Apa alasannya dan bagaimana dampaknya bagi demokrasi?

Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro, menyampaikan pandangannya terkait sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia. Ia menilai bahwa model Pilkada tidak bisa diseragamkan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Pernyataan ini disampaikan oleh Siti Zuhro di Jakarta pada Kamis (31/7), menyoroti kompleksitas karakteristik wilayah di Tanah Air.
Menurut Siti Zuhro, keragaman karakteristik sosial, ekonomi, hingga budaya antar-wilayah menuntut adanya pendekatan yang berbeda dalam pelaksanaan Pilkada. Menyeragamkan sistem Pilkada di seluruh daerah, tanpa mempertimbangkan kekhasan masing-masing, justru berpotensi besar menimbulkan kegagalan. Ini menjadi poin krusial dalam upaya membangun demokrasi yang adaptif dan berkelanjutan.
Meskipun sistem Pilkada langsung menawarkan keunggulan partisipasi rakyat, praktik di lapangan kerap disalahgunakan oleh elite politik. Fenomena seperti politik uang dan mobilisasi massa, yang sering terjadi, dinilai merusak esensi demokrasi. Oleh karena itu, perlu ada evaluasi mendalam terhadap efektivitas dan dampak Pilkada langsung di berbagai konteks daerah.
Keragaman Daerah dan Tantangan Pilkada Langsung
Indonesia dikenal dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang mencerminkan kekayaan dan keunikan setiap daerah. Mulai dari provinsi, kabupaten, hingga kota, masing-masing memiliki karakteristik, kekhasan, dan potensi yang berbeda-beda. Siti Zuhro menegaskan bahwa upaya menyeragamkan model Pilkada di tengah keragaman ini adalah suatu kekeliruan yang akan berujung pada kegagalan sistematis.
Pilkada langsung, meskipun memberikan hak suara langsung kepada rakyat, seringkali disalahgunakan. Konsep 'one man one vote' seharusnya tidak hanya mengandalkan mobilisasi massa atau praktik 'vote buying'. Praktik semacam ini tidak membangun peradaban demokrasi yang ideal, melainkan justru menciptakan ketidakberadaban dalam sistem politik. Hal ini menjadi perhatian serius bagi keberlangsungan demokrasi yang sehat.
Lebih lanjut, Siti Zuhro menyoroti penyelenggaraan Pilkada langsung di wilayah dengan tingkat pendidikan rendah dan kondisi fiskal yang lemah. Menurutnya, kondisi ini hanya akan memperburuk keadaan dan menistakan masyarakat. Memberikan uang secara terus-menerus setiap Pilkada, dalam kondisi ekonomi dan sumber daya manusia yang belum memadai, adalah tindakan yang tidak mendidik dan merugikan masyarakat.
Mekanisme Pilkada Melalui DPRD Sebagai Alternatif
Melihat tantangan yang ada, Siti Zuhro mengemukakan bahwa mekanisme Pilkada melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapat dipertimbangkan ulang untuk daerah-daerah tertentu. Khususnya bagi wilayah yang belum siap secara ekonomi dan sumber daya manusia (SDM), opsi ini bisa menjadi solusi yang lebih relevan dan efektif. Jakarta, misalnya, dinilai mumpuni untuk Pilkada langsung, namun tidak demikian halnya dengan daerah lain yang fiskalnya rendah, potensi ekonominya minim, serta SDM-nya belum eligible.
Pilkada yang dipilih melalui DPRD memiliki potensi untuk mengurangi berbagai permasalahan yang kerap muncul di tengah masyarakat. Selain itu, mekanisme ini juga dapat menekan biaya pelaksanaan pesta demokrasi yang seringkali sangat besar. Dengan demikian, sumber daya yang ada bisa dialokasikan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Keunggulan Pilkada melalui DPRD adalah kemampuannya untuk menonjolkan seleksi calon kepala daerah yang lebih berkualitas. Calon kepala daerah dan wakilnya dapat diseleksi secara ketat berdasarkan kriteria yang mumpuni. DPRD diharapkan dapat memilih 'the best among the best', bukan sekadar 'the best among the worst'. Ini berarti DPRD harus mampu memilih pemimpin yang benar-benar kompeten dan berintegritas, bukan hanya yang terbaik di antara pilihan yang kurang baik.