Menguak Sifat Asli Bangsa: Refleksi 'Manusia Indonesia' Mochtar Lubis yang Masih Relevan di Usia 80 Tahun Kemerdekaan
Pandangan kritis Mochtar Lubis dalam 'Manusia Indonesia' tahun 1977 masih relevan. Mengapa sifat-sifat bangsa Indonesia yang diungkapnya tetap menjadi sorotan hingga kini?

Pada 6 April 1977, sastrawan sekaligus wartawan LKBN ANTARA, Mochtar Lubis, menyampaikan pidato kebudayaan yang mengguncang. Pidato tersebut, yang kemudian dibukukan, berjudul "Manusia Indonesia".
Pidato ini berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, menjadi refleksi mendalam mengenai identitas bangsa. Saat itu, Indonesia baru berusia 32 tahun dan tengah mencari jati diri sebagai negara-bangsa.
"Manusia Indonesia" merupakan analisis tajam Mochtar Lubis tentang kompleksitas identitas bangsa. Ia berpendapat, meskipun mayoritas masyarakat beradab, ada sifat yang perlu perbaikan. Mochtar mengibaratkan Indonesia seperti sebuah mobil yang memerlukan pemeliharaan.
Sifat-sifat Manusia Indonesia Menurut Mochtar Lubis
Mochtar Lubis mengidentifikasi dua belas sifat dasar manusia Indonesia yang memerlukan perbaikan mendalam. Sifat-sifat tersebut meliputi hipokritis, segan bertanggung jawab, bersikap feodal, percaya takhayul, artistik, lemah watak dan karakter, boros, cenderung malas bekerja keras, tukang menggerutu, dengki, serta mudah meniru. Pandangan ini, meskipun disampaikan hampir lima dekade silam, tetap terasa relevan dalam konteks kekinian.
Analisis kritis Mochtar Lubis mengenai watak asli manusia Indonesia masih sering kita temui dalam keseharian. Fenomena ini terlihat jelas di lini masa media sosial yang penuh dengan hiruk pikuk saling menghujat satu sama lain tanpa henti. Hal ini menunjukkan bahwa akar persoalan kebangsaan belum tersentuh sepenuhnya, meskipun berbagai upaya telah dilakukan.
Gaung "Revolusi Mental" atau "Bangsa Besar" seolah menjadi siklus yang terus didaur ulang untuk membangkitkan semangat kebangsaan. Namun, upaya tersebut nampaknya belum mampu menyentuh inti permasalahan yang sebenarnya. Solusi harus dicari pada pangkal masalah yang belum terurai, bukan hanya pada permukaan.
Akar Permasalahan dan Solusi Menurut Mochtar Lubis
Mochtar Lubis berpandangan bahwa pendidikan, sistem sosial politik, serta struktur sosial merupakan latar belakang utama penyebab munculnya dua belas sifat dasar negatif tersebut. Oleh karena itu, pangkal masalah yang belum terurai ini harus dicarikan solusi yang komprehensif. Pemerataan pendidikan yang berkualitas menjadi kunci utama untuk perubahan.
Pendidikan, menurut Mochtar Lubis, harus mampu menghasilkan sikap masyarakat yang reflektif dan kritis terhadap lingkungannya. Selain itu, sistem politik harus mengedepankan demokrasi sejati dan terhindar dari praktik politik praktis yang merusak. Ini penting untuk membangun karakter bangsa yang kuat dan mandiri.
Struktur sosial juga memiliki peran krusial dalam pembentukan masyarakat yang ideal. Ini mencakup pengembangan sistem sosial ekonomi yang sehat dan berkeadilan. Dengan demikian, permasalahan mendasar yang menghambat kemajuan bangsa dapat diatasi secara sistematis dan berkelanjutan.
Refleksi Nalar Kebangsaan di Usia 80 Tahun Kemerdekaan
Puisi Soekarno berjudul "Aku Melihat Indonesia" mengobarkan semangat dan membangkitkan cinta tanah air yang mendalam. Secara implisit, Soekarno berpesan bahwa masa depan bangsa ini terletak pada wajah anak-anak di desa-desa. Ini dapat diartikan sebagai harapan besar yang diletakkan pada generasi setelahnya untuk melanjutkan perjuangan.
Kini, bangsa Indonesia telah berdiri selama delapan dekade, melewati generasi demi generasi dengan arus persoalan dunia yang semakin kompleks. Masalah seperti kesenjangan ekonomi dan sosial, perubahan iklim, keterbukaan akses pendidikan, hingga kurangnya lapangan kerja masih menjadi tantangan. Presiden Prabowo Subianto bahkan menyoroti praktik "serakahnomics" yang disebutnya merugikan rakyat.
Dengan segudang masalah yang mengiringi usia 80 tahun kemerdekaan ini, apakah kita telah meninggalkan watak asli manusia Indonesia seperti dalam pandangan Mochtar Lubis? Refleksi nilai-nilai kebangsaan harus lebih dari sekadar seremonial tahunan yang berubah menjadi dekorasi sejarah. Kita masih dihadapkan pada cermin korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merajalela.
Nalar kebangsaan yang membingungkan dan belum bisa menjadi terjemahan konkret bagi generasi masa kini adalah pangkal persoalan yang harus diurai. Kondisi miris di mana kita lambat laun kehilangan jati diri sebagai bangsa berkebudayaan luhur, cenderung mengunggulkan budaya asing, perlu segera diatasi. Kebijakan publik harus berakar pada pemahaman utuh terhadap kondisi sosial dan realitas masyarakat saat ini, bukan hanya teknokratis. Sejarah telah terukir bahwa bangsa ini pernah menjadi pusat peradaban dunia. Kini kita butuh kompas dan peta yang jelas dalam bentuk nalar kebangsaan untuk bisa mengembalikan masa kejayaan tersebut.