Moeldoko: 'Old Soldier Never Dies', Expo Osaka 2025 Jadi Kunci Diplomasi Budaya RI-Jepang
Kepala Staf Kepresidenan RI 2018–2024 Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menegaskan Expo Osaka 2025 berperan penting dalam memperkuat diplomasi budaya Indonesia-Jepang, bahkan setelah purna tugas.

Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, yang menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan RI periode 2018–2024, menyatakan bahwa pagelaran Expo Osaka–Kansai 2025 memiliki potensi besar dalam memperkuat diplomasi budaya antara Indonesia dan Jepang. Pernyataan ini disampaikannya dalam dialog bertajuk “Friend-Ship: Japan–Indonesia Cultural Dialogue” yang berlangsung di Paviliun Indonesia. Acara ini menjadi wadah penting bagi kedua negara untuk bertukar pandangan dan mempererat hubungan melalui jalur kebudayaan.
Dalam dialog tersebut, Moeldoko tampil bersama Iehiro Tokugawa, pewaris klan Tokugawa yang berpengaruh dalam sejarah Jepang, menegaskan komitmennya terhadap diplomasi budaya. Ia menekankan bahwa diplomasi budaya merupakan bentuk resolusi konflik yang paling bermartabat dan berkelanjutan. Acara yang diinisiasi oleh Yayasan Sakuranesia ini mengusung tema “Peace, Human Security & Dignity”, serta dihadiri oleh sekitar 100 peserta dari berbagai kalangan, termasuk diplomatik, bisnis, akademisi, dan pelaku seni.
Meskipun telah purna tugas sebagai pejabat negara, Moeldoko menegaskan semangat pengabdiannya terhadap kebudayaan tetap hidup, dengan mengutip frasa “Old soldier never die”. Ia memilih jalur budaya sebagai arena perjuangan barunya, sembari menyampaikan pentingnya “politik kasih sayang” sebagai nilai universal yang harus diwujudkan melalui keputusan kecil yang adil. Perdamaian, menurutnya, bukan hanya tugas negara-negara kuat, melainkan juga mereka yang memiliki hati dan kesadaran budaya.
Diplomasi Budaya sebagai Resolusi Konflik
Moeldoko secara tegas menyatakan bahwa diplomasi budaya adalah instrumen yang sangat efektif untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang bermartabat dan berkelanjutan. Pendekatan ini memungkinkan dialog dan pemahaman lintas batas, membangun jembatan antara berbagai pihak. Ia melihat bahwa melalui pertukaran budaya, perbedaan dapat dijembatani dan kesamaan dapat ditemukan, yang pada akhirnya mengarah pada perdamaian abadi.
Senada dengan pandangan tersebut, Iehiro Tokugawa, salah satu penerus klan paling berpengaruh dalam sejarah Jepang, turut menekankan nilai-nilai leluhur. Ia meyakini bahwa moralitas dan budaya dapat berfungsi sebagai soft power yang krusial dalam menjaga stabilitas global. Penggunaan kekuatan lunak ini memungkinkan suatu negara untuk memengaruhi negara lain melalui daya tarik budaya dan nilai-nilai, bukan melalui paksaan.
Konsep “politik kasih sayang” yang diusung Moeldoko menjadi inti dari filosofi ini, di mana keputusan-keputusan kecil yang adil dapat menciptakan dampak besar. Hal ini menunjukkan bahwa upaya perdamaian tidak hanya menjadi tanggung jawab negara-negara besar, melainkan juga setiap individu dan kelompok yang memiliki kesadaran budaya. Dengan demikian, setiap tindakan kecil yang didasari oleh kasih sayang dapat berkontribusi pada harmonisasi global.
Simbol Persahabatan dan Pertukaran Budaya
Sebagai wujud nyata persahabatan antara Indonesia dan Jepang, Wakil Wali Kota Nanto, Muneto Saito, menyerahkan sebuah hokora—kuil kecil khas Jepang—kepada delegasi Indonesia. Simbol persahabatan ini direncanakan akan ditempatkan di Kuil Shin’yū di Indonesia, menandakan ikatan spiritual dan budaya yang mendalam. Penyerahan hokora ini menjadi momen penting yang menunjukkan komitmen kedua belah pihak dalam mempererat hubungan.
Pada kesempatan yang sama, Pendiri Yayasan Sakuranesia, Tovic Rustam, juga menyerahkan selendang rancangan desainer Indonesia, Didit Prabowo. Selendang ini dibuat khusus untuk acara tersebut, menambah nilai artistik dan representasi budaya Indonesia dalam dialog. Pertukaran simbol ini tidak hanya memperkaya acara, tetapi juga menjadi pengingat visual akan hubungan yang terjalin erat.
Acara budaya lintas negara ini turut dimeriahkan dengan penampilan seni yang memukau. Kiyari Dance Group dengan 31 penari, serta Sukiyaki Steel Orchestra dari Jepang, menampilkan keindahan seni tradisional mereka. Dari Indonesia, kelompok seni muda Duta Melati turut berpartisipasi, menunjukkan bakat dan kekayaan budaya nusantara. Puncak dari pertunjukan ini adalah kolaborasi bertajuk “Kyōen” (kebersamaan suara), di mana para seniman tampil bersama, menampilkan harmoni seni sebagai bahasa universal yang mampu menyatukan perbedaan.
Program Lanjutan dan Visi Sakuranesia
Sebagai kelanjutan dari dialog budaya yang sukses, rombongan Moeldoko dan Tokugawa melanjutkan program “Friend-Ship Experience” ke Kota Nanto, Prefektur Toyama. Kunjungan ini dirancang untuk memberikan pengalaman budaya yang lebih mendalam dan langsung kepada delegasi Indonesia. Ini menunjukkan komitmen untuk tidak hanya berdialog, tetapi juga merasakan langsung kekayaan budaya Jepang.
Rangkaian kunjungan di Nanto meliputi berbagai aktivitas menarik, seperti pertunjukan Kokiriko dan alat musik sasara di Desa Ainokura, yang merupakan situs Warisan Dunia UNESCO. Delegasi juga berkesempatan merasakan pengalaman menumbuk mochi di Kuil Zentokuji, menikmati santap siang khas daerah, serta mengunjungi bengkel ukiran kayu di Inami dan Kuil Zuisenji. Kegiatan-kegiatan ini memberikan wawasan mendalam tentang tradisi dan kehidupan lokal Jepang.
Seluruh kegiatan ini merupakan bagian integral dari proyek “Inochi, Chikyuu, Mirai” (Kehidupan, Bumi, dan Masa Depan) yang diusung oleh Sakuranesia. Proyek ini berfungsi sebagai platform diplomasi budaya yang inklusif, spiritual, dan berkelanjutan, dengan tujuan untuk terus memperkuat hubungan antara Indonesia dan Jepang melalui pemahaman dan apresiasi budaya bersama. Inisiatif ini diharapkan dapat terus berlanjut dan memberikan dampak positif jangka panjang.